Jayapura (Antara Papua) - Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Kota Jayapura, Provinsi Papua, memotivasi masyarakat untuk memiliki dokumen pernikahan agar perkawinannya diakui negara dan agama.
Kepala Dispendukcapil Kota Jayapura Merlan S. Uloli, mengemukakan hal itu di Jayapura, Minggu, setelah pelaksanaan "Nikah Pencatatan Sipil Massal" tidak memenuhi target kuantitatif.
"Untuk warga Kristen yang ditargetkan 200 pasangan yang mendaftar hanya 141 pasangan, sementara pendaftaran sudah kita buka sejak Desember 2016. Ini artinya tingkat kesadaran masyarakat untuk melakukan pencatatan sipil cukup baik tapi masih kurang," ujarnya.
Merlan mengakui upaya menyadarkan masyarakat, khususnya kaum perempuan bahwa tanpa ikatan pernikahan yang diakui negara, itu melemahkan dirinya secara hukum, perlu dilakukan secara berkesinambungan.
"Contohnya ketika pasangan hidup bersama dan telah menikah agama tapi tidak pernah dicatatkan di hukum negara, setelah mereka berpisah sang suami menikah lagi dan melakukan pencatatan sipil, dis itu istri yang lama tidak bisa protes karena dia tidak pernah melakukan pencatatan sipil," ujarnya.
Merlan juga menekankan bahwa status anak dari hasil hubungan pasangan yang tidak mendaftarkan pernikahannya ke catatan sipil, dianggap oleh negara tidak memiliki ayah.
"Anak yang lahir dari pasangan yang tidak mendaftarkan pernikahannya ke catatan sipil, saat mengurus akte kelahiran anak itu hanya tercatat sebagai anak ibu, di sini kesadaran atas kasus yang timbul harus disadari sepenuhnya," ujarnya lagi.
Oleh karena itu, Merla mengimbau masyarakat, khususnya mereka yang sudah menikah secara agama namun belum melakukan pencatatan sipil, untuk segera memenuhi ketentuan hukum negara agar dikemudian hari tidak ada pihak yang dirugikan. (*)
Kepala Dispendukcapil Kota Jayapura Merlan S. Uloli, mengemukakan hal itu di Jayapura, Minggu, setelah pelaksanaan "Nikah Pencatatan Sipil Massal" tidak memenuhi target kuantitatif.
"Untuk warga Kristen yang ditargetkan 200 pasangan yang mendaftar hanya 141 pasangan, sementara pendaftaran sudah kita buka sejak Desember 2016. Ini artinya tingkat kesadaran masyarakat untuk melakukan pencatatan sipil cukup baik tapi masih kurang," ujarnya.
Merlan mengakui upaya menyadarkan masyarakat, khususnya kaum perempuan bahwa tanpa ikatan pernikahan yang diakui negara, itu melemahkan dirinya secara hukum, perlu dilakukan secara berkesinambungan.
"Contohnya ketika pasangan hidup bersama dan telah menikah agama tapi tidak pernah dicatatkan di hukum negara, setelah mereka berpisah sang suami menikah lagi dan melakukan pencatatan sipil, dis itu istri yang lama tidak bisa protes karena dia tidak pernah melakukan pencatatan sipil," ujarnya.
Merlan juga menekankan bahwa status anak dari hasil hubungan pasangan yang tidak mendaftarkan pernikahannya ke catatan sipil, dianggap oleh negara tidak memiliki ayah.
"Anak yang lahir dari pasangan yang tidak mendaftarkan pernikahannya ke catatan sipil, saat mengurus akte kelahiran anak itu hanya tercatat sebagai anak ibu, di sini kesadaran atas kasus yang timbul harus disadari sepenuhnya," ujarnya lagi.
Oleh karena itu, Merla mengimbau masyarakat, khususnya mereka yang sudah menikah secara agama namun belum melakukan pencatatan sipil, untuk segera memenuhi ketentuan hukum negara agar dikemudian hari tidak ada pihak yang dirugikan. (*)