Jayapura (Antaranews Papua) - Direktur maskapai penerbangan Associated Mission Aviation (AMA) Djarot Soetanto mengatakan ada keluarga pasien yang menggunakan kwitansi ganda untuk mendapatkan keuntungan dari pembiayaan jasa penerbangan orang sakit dari pedalaman ke kota di Papua.
"Jadi kami sebagai operator penerbangan tidak bisa menerima permintaan mereka, tidak bisa menggunakan dua kwitansi yang diajukan keluarga pasien, kami hanya menggunakan satu kwitansi dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua," ujar Djarot, di Jayapura, Senin.
Pada 26 Mei 2015, Dinas Kesehatan Provinsi Papua dan manajemen AMA menandatangani kerja sama di salah satu hotel ternama di Jayapura.
AMA melibatkan maskapainya, dan juga maskapai penerbangan Mission Aviation Felloship, maskapai penerbangan Kajazi, dan heli mission.
Konsekuensi dari kerja sama itu, Dinas Kesehatan Provinsi Papua mengalokasikan anggaran untuk membiaya angkutan pelayanan kesehatan warga dari pedalaman Papua.
Dana bantuan itu didepositokan, kalau sudah ada penggunaannya baru akan laporkan ke Dinas Kesehatan Papua untuk diterbitkan kwitansi biaya penerbangan pasien.
Keluarga pasien yang mengurus kwitansi di Dinas Kesehatan Papua untuk diserahkan ke pihak AMA.
Djarot mengatakan terkadang keluarga pasien memanfatkan kerja sama pembayaran penerbangan orang sakit dari pedalaman ke kota dan sebaliknya itu.
Mereka meminta kwitansi di Dinas Kesehatan Provinsi Papua, dan Dinas Kesehatan Kabupaten tempatnya berdomisili, sehingga muncul kwitansi ganda.
"Namanya bantuan penerbangan itu ada yang memanfaatkan keadaan, jadi ada kwitansi dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua, ada juga dari di kabupaten," ujarnya.
Bahkan, kata Djarot, ada keluarga pasien memaksakan kehendak menggunakan dua kwitansi itu.
"Ini yang kadang-kadang menjadi kesulitan yang kami hadapi, selalu saja terjadi kecurangan," ujarnya.
Kendala lainnya, tambah Djarot, yakni tidak semua pemerintahan distrik di daerah pedalaman Papua memiliki petugas kesehatan yang berwenang memberikan rujukan, sehingga petugas kesehatan yang ada ikut mengantar.
"Karena tidak ada yang mengganti biaya petugas kesehatan yang mengantar pasien, jadi masalah. Kalau di Dinkes Provinsi masih bisa membayar biaya penerbangan pasien berdasarkan rujukan dari pilot yang membawa pasien bahwa pasien yang bersangkutan benar-benar sakit dan dibawa dari pedalaman ke kota untuk berobat," ujarnya. (*0
"Jadi kami sebagai operator penerbangan tidak bisa menerima permintaan mereka, tidak bisa menggunakan dua kwitansi yang diajukan keluarga pasien, kami hanya menggunakan satu kwitansi dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua," ujar Djarot, di Jayapura, Senin.
Pada 26 Mei 2015, Dinas Kesehatan Provinsi Papua dan manajemen AMA menandatangani kerja sama di salah satu hotel ternama di Jayapura.
AMA melibatkan maskapainya, dan juga maskapai penerbangan Mission Aviation Felloship, maskapai penerbangan Kajazi, dan heli mission.
Konsekuensi dari kerja sama itu, Dinas Kesehatan Provinsi Papua mengalokasikan anggaran untuk membiaya angkutan pelayanan kesehatan warga dari pedalaman Papua.
Dana bantuan itu didepositokan, kalau sudah ada penggunaannya baru akan laporkan ke Dinas Kesehatan Papua untuk diterbitkan kwitansi biaya penerbangan pasien.
Keluarga pasien yang mengurus kwitansi di Dinas Kesehatan Papua untuk diserahkan ke pihak AMA.
Djarot mengatakan terkadang keluarga pasien memanfatkan kerja sama pembayaran penerbangan orang sakit dari pedalaman ke kota dan sebaliknya itu.
Mereka meminta kwitansi di Dinas Kesehatan Provinsi Papua, dan Dinas Kesehatan Kabupaten tempatnya berdomisili, sehingga muncul kwitansi ganda.
"Namanya bantuan penerbangan itu ada yang memanfaatkan keadaan, jadi ada kwitansi dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua, ada juga dari di kabupaten," ujarnya.
Bahkan, kata Djarot, ada keluarga pasien memaksakan kehendak menggunakan dua kwitansi itu.
"Ini yang kadang-kadang menjadi kesulitan yang kami hadapi, selalu saja terjadi kecurangan," ujarnya.
Kendala lainnya, tambah Djarot, yakni tidak semua pemerintahan distrik di daerah pedalaman Papua memiliki petugas kesehatan yang berwenang memberikan rujukan, sehingga petugas kesehatan yang ada ikut mengantar.
"Karena tidak ada yang mengganti biaya petugas kesehatan yang mengantar pasien, jadi masalah. Kalau di Dinkes Provinsi masih bisa membayar biaya penerbangan pasien berdasarkan rujukan dari pilot yang membawa pasien bahwa pasien yang bersangkutan benar-benar sakit dan dibawa dari pedalaman ke kota untuk berobat," ujarnya. (*0