Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam sejarah Republik Indonesia memainkan peranan sangat penting sejak awal berdirinya negara ini.

Perjalanan panjang TNI pernah melakukan fungsi sebagai tentara pejuang bersama rakyat melawan agresi militer penjajahan Belanda yang mengancam kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pada era Orde Lama, TNI mulai mengalami pelebaran fungsi dengan diterapkan Dwi Fungsi ABRI yang dipelopori oleh Jenderal AH. Nasution membawa TNI sebagai kekuatan negara yang menjalankan dua fungsi yaitu; sebagai alat pertahanan negara dan juga menjalankan fungsi sosial-politik.

Pada era Orde Baru, TNI mendominasi pemerintahan Presiden Soeharto dengan dimasukkannya TNI sebagai golongan fungsional, bahkan TNI ikut serta dalam dunia politik di Indonesia. Keterlibatan militer dalam politik Indonesia adalah bagian dari penerapan konsep Dwifungsi ABRI yang kelewat menyimpang dari konsep awalnya.

Pada masa itu, banyak sekali petinggi militer ditempatkan di berbagai perusahaan dan instansi pemerintahan. Di lembaga legislatif, ABRI mempunyai fraksi sendiri di Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang anggota-anggota diangkat dan tidak melalui proses pemilu yang disebut dengan Fraksi ABRI.

Sembilan bulan sebelum berakhirnya rezim Orde Baru, para petinggi TNI telah beberapa kali merumuskan paradigma baru TNI. Paradigma baru TNI tersebut adalah paradigma peran sosial politik TNI yang diterbitkan Markas Besar TNI pada 5 Oktober 1999, dan ditandatangani Panglima TNI saat itu, Jenderal TNI Wiranto.

Paradigma baru peran sosial politik (sospol) TNI menjadi awal dari reformasi TNI dan berakhir pada 20 April 2000 di mana dalam rapat pimpinan TNI yang kala itu Panglima TNI dijabat oleh Laksamana TNI Widodo AS, TNI menyatakan akan memfokuskan diri pada tugas pokok pertahanan bukan sosial politik.

Setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, gerakan demokratis dan sipil tumbuh mengganti peran militer dalam keterlibatan politik di Indonesia. Sebagai hasilnya, TNI pada masa ini telah mengalami reformasi tertentu, seperti penghapusan Dwifungsi ABRI.

Reformasi ini juga melibatkan penegak hukum dalam masyarakat sipil umum, yang mempertanyakan posisi polisi Indonesia di bawah payung angkatan bersenjata. Reformasi ini mengakibatkan pemisahan kepolisian dari militer.

Pada tahun 2000, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara resmi kembali berdiri sendiri dan merupakan sebuah entitas yang terpisah dari militer.

Nama resmi militer Indonesia juga berubah dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menjadi kembali Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Reformasi TNI telah ditetapkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI dan VII Tahun 2000 tentang Paradigma Baru TNI. Ketetapan itu diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Ide dasar reformasi TNI adalah tentara secara bertahap meninggalkan peran sosial dan politik. TNI kemudian berfokus menjalankan tugas pokok dalam bidang pertahanan negara.

Reformasi TNI lebih diartikan pengerahan dan penggunaan TNI baik untuk operasi militer perang dan operasi militer selain perang, harus berdasar keputusan politik, sesuai konstitusi dan dilakukan transparan.

Pembenahan diri kembali di tubuh TNI tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada TNI. Bagaimana pun, sebagai konsekuensi memasuki tatanan demokrasi, kekuatan politik untuk menentukan kebijakan nasional berada di tangan elit politik, pejabat publik yang dipilih oleh rakyat, termasuk untuk menyiapkan infrastruktur yang mendukung reformasi TNI agar berjalan maksimal.

Reformasi TNI diakui telah mengalami beberapa kemajuan, ditandai dengan keberadaan Kementerian Pertahanan (Kemhan) sebagai otoritas sipil yang memiliki kewenangan mengatur dan mengontrol TNI.

Hal itu dapat dilihat dari kewenangan Kemhan dalam membuat kebijakan tentang penyelenggaran pertahanan negara, kebijakan umum penggunaan TNI dan komponen pertahanan lainnya, termasuk dalam hal penganggaran, pengadaan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional dan lainnya.

Tidak itu saja, TNI telah dilepaskan dari kegiatan politik praktis dan bisnis dan ada upaya untuk menjadikan TNI lebih profesional baik dari aspek doktrin, kultural dan postur TNI di mada depan.

Perubahan substansial
Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi, berpendapat 20 tahun reformasi telah memunculkan sejumlah perubahan yang substansial dalam institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

"Penghapusan Dwi Fungsi telah dilaksanakan dengan baik, setidaknya itu menjadi poin penting," kata Hendardi.

Sejumlah perubahan yang substansial dalam institusi TNI itu dilakukan demi mewujudkan tentara Indonesia yang tangguh dan profesional.

Pegiat hak azasi manusia (HAM) itu mencatat ada beberapa kemajuan TNI pasca-reformasi 1998, yakni reformasi memisahkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang berubah menjadi TNI, dari parlemen sehingga menjadi langkah positif untuk menjauhkan militer dari politik praktis.

Selain itu, zaman Orde Baru banyak jabatan di institusi sipil diberikan atau diduduki oleh militer. Namun,  Presiden RI periode 1999--2001 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kala itu kemudian membuat beberapa kebijakan yang berkaitan dengan pengurangan jabatan-jabatan di pemerintahan sipil untuk kalangan militer.

Sampai akhirnya lahir Undang Undang (UU) Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, di mana pada pasal 47 ayat (1) menjelaskan bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

Pasal 2 huruf d UU TNI secara jelas mengatakan bahwa tentara profesional adalah tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak azasi manusia (HAM), ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.

Militer, menurut Hendardi, tidak lagi menjadi penopang rezim, namun menjadi alat negara yang bergerak sesuai dengan keputusan politik negara, seperti diatur dalam UU TNI pasal 5.

Perubahan kemajuan lainnya, dinilainya, dominasi TNI Angkatan Darat (AD) dalam posisi Panglima TNI telah berubah pasca-reformasi. Posisi Panglima TNI kini dijabat bergantian antar-matra angkatan, seperti halnya dalam pasal 13 ayat (4) UU TNI.

Pekerjaan rumah TNI
Selain kemajuan, TNI juga tetap memiliki catatan yang masih menjadi perkerjaan rumah, yakni persoalan peradilan militer.

"Kasus-kasus yang melibatkan prajurit TNI dengan masyarakat sipil seringkali mendapat perhatian. Lantaran balasan/ punishment terhadap prajurit dijatuhkan di ruang yang tertutup dari publik. Dalam rangka persamaan di depan hukum dan akuntabilitas, harusnya hal ini tidak terjadi," Hendardi.

Persoalan HAM di masa lalu yang melibatkan TNI, dinilainya pula, sampai sekarang tidak kunjung menemukan titik temu, misalnya kasus penculikan aktivis pada 1998.

"Selama kasus ini tidak selesai, selama itu pula kasus HAM ini menyandera institusi TNI maupun prajurit atau purnawirawan secara personal," kata Hendardi.

Ia menyatakan persoalan perbantuan TNI kepada Polri ini harus jelas bagaimana prasyarat dan batasannya, misalnya syarat keadaan, jumlah prajurit, batas waktu dan seterusnya.

"Acapkali kita lihat, justru dalam hal penggusuran, pengamanan demo yang relatif tidak begitu besar, TNI tampak terlibat dalam membantu Polri. Hal ini tentu harus clear," tuturnya.

Reformasi peradilan militer
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga menilai, reformasi peradilan militer melalui revisi UU No 31/1997 tentang peradilan militer perlu segera dilakukan mengingat hal tersebut merupakan mandat TAP MPR No. VII/2000.

Pasal 3 ayat 4 TAP MPR No VII/2000 menyebutkan bahwa prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.

Upaya mewujudkan reformasi peradilan militer merupakan sebuah kewajiban konstitusional yang harus dijalankan pemerintah dan parlemen sebagai pelaksanaan/implementasi dari penerapan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana termaktub dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 Huruf d Ayat (1) UUD 1945.

"Selama ini anggota militer yang melakukan tindak pidana umum masih diadili di peradilan militer. Dalam praktiknya, peradilan militer tak jarang menjadi sarana impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana," kata Direktur Imparsial, Al Araf beberapa waktu lalu.

Ia mengakui kini TNI sudah mengalami kemajuan sejak zaman reformasi, namun masih ada yang perlu diperbaiki, salah satu landasan hukum operasi militer selain perang (OMSP).

Belakangan ini MoU TNI dengan Kementerian dan instansi lainnya semakin marak. Setidaknya terdapat 31 MoU TNI dengan berbagai instansi- lembaga. Dengan dalih melakukan operasi militer selain perang (OMSP), TNI kini mulai masuk dan terlibat dalam ranah sipil dan menjalankan fungsi keamanan dengan pijakan MoU tersebut. Sayangnya, otoritas sipil baik itu pemerintah dan parlemen tidak melakukan koreksi dan evaluasi terhadap semua MoU yang ada.

"Kami menilai pelibatan militer dalam operasi militer selain perang yang di dasarkan pada MoU TNI bertentangan dengan UU TNI no 34/2004. Pasal 7 ayat 3 UU TNI secara tegas menyebutkan bahwa pelaksanaan tugas operasi militer selain perang harus di dasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara dan bukan melalui MoU," paparnya.

Keputusan politik negara yang dimaksud adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama dewan perwakilan rakyat (DPR) yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dengan DPR, seperti rapat konsultasi dan rapat kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Penjelasan Pasal 5 UU TNI). Dengan demikian, beberapa MoU yang sudah dibuat jelas-jelas bertentangan dengan UU TNI no 34/2004.

Dengan dibentuknya berbagai MoU yang berlebihan itu maka kini TNI sudah kembali masuk dalam ranah wilayah sipil dan terlibat langsung dalam menjaga keamanan dalam negeri.

Dalam beberapa kasus, kata Al Araf, TNI sudah kembali terlibat dalam aksi penggusuran, pengamanan stasiun, pengamanan kawasan industri, terlibat dalam konflik agraria dan kasus-kasus lainnya.

Tidak berpolitik praktis
Pada 20 tahun reformasi ini, TNI juga tetap dituntut untuk menjaga tetap menjaga  netralitas dan profesionalitasnya pada tahun politik 2018-2019.

"Jangan sampai tergoda politik praktis, meskipun terdapat calon yang berlatar belakang militer dalam kontestasi politik praktis tersebut," demikian Hendardi.

Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto pun telah menegaskan keikutsertaan sejumlah purnawirawan TNI dalam Pemilu 2019 tidak akan mempengaruhi netralitas prajurit.

"Tugas TNI untuk mengamankan dan menjamin suksesnya pesta demokrasi, tidak boleh dirusak oleh sikap yang tidak netral," kata Panglima TNI.

Menurut Hadi, partisipasi purnawirawan TNI dalam Pilkada menjadi wujud partisipasi aktif dalam politik setelah kembali ke tengah-tengah masyarakat. Namun partisipasi tersebut, tidak boleh menyeret TNI ke kancah politik praktis.

Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) ini mengatakan pesta demokrasi biasanya akan diiringi dengan meningkatnya suhu politik di tanah air. Bahkan, kerawanan akan timbul bila hal itu dibarengi dengan berbagai tindakan kontra produktif seperti kampanye hitam dan provokasi serta pengerahan massa yang anarkis.

"Saya minta kepada seluruh prajurit dan PNS TNI untuk tidak bersikap reaktif terhadap segala isu yang berkembang dan tetap fokus pada tugas yang diembankan kepada kita sekalian," ucapnya. (*)

Pewarta : Syaiful Hakim
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024