Timika (Antaranews Papua) - Tokoh masyarakat Amungme di Kabupaten Mimika, Papua, Yosep Yopi Kilangin menuntut PT Freeport Indonesia bertanggung jawab penuh atas kerusakan lingkungan mulai dari wilayah pegunungan Tembagapura hingga dataran rendah Mimika.

"Kerusakan lingkungan itu sebagai dampak langsung dari kegiatan pertambangannya selama lebih dari 50 tahun. Pemerintah agar memberi perhatian serius terhadap persoalan lingkungan yang sudah sangat rusak dan membahayakan masa depan generasi Suku Amungme dan Kamoro di Kabupaten Mimika," kata Yopi Kilangin di Timika, Rabu.

Ia mengatakan kini kerusakan lingkungan sebagai dampak dari pembuangan limbah tailing Freeport ke wilayah dataran rendah Mimika sangat dirasakan oleh masyarakat seperti pendangkalan alur sungai-sungai bahkan hingga ke wilayah pantai Mimika Timur.

Kondisi itu mengakibatkan masyarakat semakin sulit melintas dengan perahu baik untuk bepergian ke kampung-kampung mereka maupun untuk mencari ikan dan habitat sungai lainnya guna menopang kehidupan mereka.

"Sekarang ini masyarakat susah sekali untuk menyeberang di sungai-sungai itu, seperti di Pasir Hitam yang merupakan jalur utama perhubungan masyarakat ke Timika dari Agimuga, Jita, Manasari, Otakwa dan lainnya. Sungai sudah tidak bisa dilintasi oleh perahu masyarakat karena tumpukan pasir tailing yang semakin tinggi. Kami tidak tahu lagi habitat atau ekosistem yang ada di situ. Yang pasti, dampak tailing ini sangat merusak kehidupan masyarakat, terutama masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup di sungai-sungai itu," kata Yopi, putra almarhum Mozes Kilangin, salah satu tokoh yang menandatangani `Januari Agreement` 1972.

Yopi menuntut pihak Freeport harus memberikan jaminan dan kepastian bahwa alam Mimika yang telah rusak parah itu kelak masih bisa memberi kehidupan kepada masyarakat setempat yang sudah turun-temurun tinggal dan hidup bergantung pada alam.

"Jaminan itu yang kami minta dari Freeport, bukan hanya sekarang ini tapi untuk seterusnya dan bukan sekedar membuat propaganda-propaganda, tapi benar-benar untuk kelangsungan hidup generasi Amungme-Kamoro di masa depan," tuturnya.

Ia juga meminta pihak Freeport harus dapat memastikan apakah kondisi air di Timika dan sekitarnya yang setiap hari dikonsumsi masyarakat benar-benar aman ataukah sudah terkontaminasi dengan unsur-unsur kimia yang terbawa bersama material tailing Freeport.

"Kita semua tidak tahu apakah air yang kita minum setiap hari kualitasnya terjamin atau tidak. Siapa yang bisa menjamin itu. Belum lagi hutan-hutan semua sudah habis, gunung-gunung sudah berlubang. Apakah ada jaminan untuk kami bisa hidup, terutama bagi generasi kami ke depan. Pertanyaan-pertannyaan itu terus-menerus menjadi pergumulan kami orang Amungme-Kamoro di Mimika," ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menjelaskan pemerintah mempermasalahkan pembuangan limbah PT Freeport Indonesia dan dampaknya kepada lingkungan.

 "Jadi ada perubahan-perubahan yang mereka harus lakukan, terutama yang disoroti oleh publik adalah soal pembuangan limbah di laut. Ya saya pasti fokus di ekosistem di lautnya, terutama ke wilayah-wilayah penempatan pembuangan limbah yang sekarang ada," kata Siti di Jakarta beberapa waktu lalu.

Siti menjelaskan kementeriannya membuat kajian lingkungan hidup strategis terkait perubahan ekosistem, lingkungan estuari dan penanganan limbah yang dapat dimanfaatkan.

Menurut dia, terdapat 48 sanksi yang telah dijatuhkan kepada Freeport, di mana 35 sanksi telah selesai.

"Lalu 13 sedang disiapkan. Kemungkinan tujuh sudah bisa diselesaikan, sedang dibahas-bahas lagi, sedikit lagi," ujar Siti.

Beberapa sanksi yang sedang dibenahi oleh Freeport bersama KLHK terkait pencemaran air, udara dan hal-hal teknis upaya perbaikan lingkungan.

Kementerian LHK berupaya untuk menegakkan peraturan tentang pelestarian lingkungan di wilayah Papua, khususnya yang terdampak oleh limbah PTFI.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjelaskan PTFI menimbulkan kerugian negara sebesar Rp185 triliun akibat pembuangan limbah.

Total kerugian itu terbagi dalam tiga wilayah terdampak yakni "Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA) dengan nilai ekosistem yang dikorbankan Rp10,7 triliun, estuari Rp8,2 triliun dan laut Rp166 triliun.

Perhitungan yang dilakukan oleh tenaga ahli Institut Pertanian Bogor (IPB) itu menemukan PTFI telah menimbulkan perubahan ekosistem akibat pembuangan limbah operasional penambanganan di sungai, hutan, estuari, dan bahkan mencapai kawasan laut.

Pewarta : Evarianus Supar
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024