Timika (Antaranews Papua) - Pengurus Cabang Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan SPSI Kabupaten Mimika kembali mendesak manajemen PT Freeport Indonesia dan perusahaan subkontraktornya membayar hak-hak karyawan mogok kerja sebagaimana keputusan Petugas Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Papua belum lama ini.
"Manajemen Freeport, privatisasi, dan kontraktor berkewajiban membayar gaji, tunjangan dan hak-hak karyawan berdasarkan PKB (Perjanjian Kerja Bersama) 2015-2017 sebab status mogok kerja sejak Mei 2017 telah dinyatakan sah oleh pemerintah," kata Ketua PC SP-KEP SPSI Mimika Aser Gobay di Timika, Sabtu.
Lebih lanjut pihaknya meminta manajemen Freeport dan seluruh perusahaan subkontraktornya mengembalikan status karyawan mogok kerja yang sebelumnya diberhentikan secara sepihak, untuk bekerja kembali.
Selain itu, pemerintah diminta memberikan sanksi tegas kepada jajaran manajemen PT Freeport dan perusahaan subkontraktornya yang dinilai telah melakukan kejahatan kemanusiaan dengan menghentikan pelayanan BPJS-Kesehatan karyawan mogok kerja dan keluarganya.
Buntut dari dihentikannya pelayanan atau fasilitas BPJS-Kesehatan tersebut, diketahui 34 karyawan mogok kerja meninggal dunia selama periode mogok kerja berlangsung (Mei 2017 hingga Oktober 2018) lantaran tidak mendapatkan fasilitas kesehatan dari perusahaan.
Aser mengatakan kesepakatan yang dibuat dan ditandatangani oleh Pengurus Pusat SP-KEP SPSI R. Abdullah dengan pimpinan PT Freeport yang diwakili Achmad Didik Ardianto pada 21 Desember 2017, kini sudah tidak berlaku lagi.
"Pengurus Pusat SP-KEP SPSI telah mencabut kesepakatan itu," kata Aser yang juga berstatus anggota DPRD Mimika itu.
Aser menilai hingga kini manajemen PT Freeport dan perusahaan subkontraktornya belum menunjukkan tanda-tanda dan iktikad baik untuk merealisasikan poin-poin keputusan Petugas Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Papua.
Ia berharap, Disnaker Papua dapat mengambil sikap tegas terhadap manajemen Freeport dan perusahaan subkontraktornya jika tidak mau menindaklanjuti keputusan Petugas Pengawas Ketenagakerjaan tersebut.
Belum lama ini Disnaker Papua mengutus Petugas Pengawas Ketenagakerjaan ke Timika untuk memeriksa dokumen administrasi maupun pemeriksaan fisik di lapangan terkait dengan mogok kerja selama 18 bulan yang dilakukan sekitar 8.300 karyawan permanen Freeport dan perusahaan subkontraktornya.
Setelah memeriksa dokumen-dokumen tersebut, Petugas Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Papua memutuskan bahwa mogok kerja yang dilakukan sejak Mei 2017 akibat memprotes kebijakan "furlough" yang diterapkan manajemen Freeport adalah sah secara hukum sesuai ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Petugas Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Papua juga menilai pemutusan hubungan kerja secara sepihak terhadap 8.300 karyawan Freeport dan perusahaan subkontraktornya tanpa penetapan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum, sedangkan "furlough" yang diberlakukan manajemen Freeport tidak dikenal dalam UU No. 13 Tahun 2003.
Atas keputusan Petugas Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Papua itu, manajemen Freeport diwaliki oleh Demy Magai telah membuat surat klarifikasi.
Aser menilai seharusnya surat klarifikasi terhadap masalah ketenagakerjaan di lingkungan PT Freeport ditandatangani oleh Executif Vise President bidang Industrial Relation Achmad Didik Ardianto selaku pihak yang paling bertanggung jawab atas keputusan menyatakan mogok karyawan pada Mei 2017 adalah tidak sah.
"Dari jajaran manajemen Freeport yang diperiksa oleh Petugas Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Papua, yaitu saudara Nikodemus Purba. Tapi yang membuat surat klarifikasi ke Disnaker Papua yaitu saudara Demy Magai. Padahal yang paling bertanggung jawab terhadap permasalahan ini yaitu saudara Achmad Didik Ardianto. Terkesan manajemen Freeport melempar soal kepada anak-anak Papua untuk mengambil tanggung jawab atas keputusan yang dibuat oleh orang lain. Ini sama saja dengan membenturkan orang Papua dengan orang Papua sendiri," kata Aser.
Pengurus Sementara PUK SPKEP SPSI PT Freeport Indonesia, Gaby Kinelak, mengatakan manajemen Freeport harus memberikan tanggapan secara tertulis terhadap hasil pemeriksaan kasus pemogokan dan "furlough" kepada Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Papua.
"Tanggapan tertulis apakah menerima atau menolak keputusan Disnaker Papua. Kalau menolak, harus menyampaikan alasan yang jelas. Kalau menerima, berarti dia harus eksekusi sesuai dengan keputusan tersebut dengan membayar hak-hak mogok kerja selama 18 bulan," katanya.
Gaby memastikan hingga kini ribuan karyawan mogok kerja masih tetap antusias dalam mencari keadilan bagi seluruh pekerja dan keluarganya.
Bahkan, pihaknya tidak mempersoalkan pekerja lain yang tidak tergabung dalam perjuangan itu.
"Manajemen Freeport, privatisasi, dan kontraktor berkewajiban membayar gaji, tunjangan dan hak-hak karyawan berdasarkan PKB (Perjanjian Kerja Bersama) 2015-2017 sebab status mogok kerja sejak Mei 2017 telah dinyatakan sah oleh pemerintah," kata Ketua PC SP-KEP SPSI Mimika Aser Gobay di Timika, Sabtu.
Lebih lanjut pihaknya meminta manajemen Freeport dan seluruh perusahaan subkontraktornya mengembalikan status karyawan mogok kerja yang sebelumnya diberhentikan secara sepihak, untuk bekerja kembali.
Selain itu, pemerintah diminta memberikan sanksi tegas kepada jajaran manajemen PT Freeport dan perusahaan subkontraktornya yang dinilai telah melakukan kejahatan kemanusiaan dengan menghentikan pelayanan BPJS-Kesehatan karyawan mogok kerja dan keluarganya.
Buntut dari dihentikannya pelayanan atau fasilitas BPJS-Kesehatan tersebut, diketahui 34 karyawan mogok kerja meninggal dunia selama periode mogok kerja berlangsung (Mei 2017 hingga Oktober 2018) lantaran tidak mendapatkan fasilitas kesehatan dari perusahaan.
Aser mengatakan kesepakatan yang dibuat dan ditandatangani oleh Pengurus Pusat SP-KEP SPSI R. Abdullah dengan pimpinan PT Freeport yang diwakili Achmad Didik Ardianto pada 21 Desember 2017, kini sudah tidak berlaku lagi.
"Pengurus Pusat SP-KEP SPSI telah mencabut kesepakatan itu," kata Aser yang juga berstatus anggota DPRD Mimika itu.
Aser menilai hingga kini manajemen PT Freeport dan perusahaan subkontraktornya belum menunjukkan tanda-tanda dan iktikad baik untuk merealisasikan poin-poin keputusan Petugas Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Papua.
Ia berharap, Disnaker Papua dapat mengambil sikap tegas terhadap manajemen Freeport dan perusahaan subkontraktornya jika tidak mau menindaklanjuti keputusan Petugas Pengawas Ketenagakerjaan tersebut.
Belum lama ini Disnaker Papua mengutus Petugas Pengawas Ketenagakerjaan ke Timika untuk memeriksa dokumen administrasi maupun pemeriksaan fisik di lapangan terkait dengan mogok kerja selama 18 bulan yang dilakukan sekitar 8.300 karyawan permanen Freeport dan perusahaan subkontraktornya.
Setelah memeriksa dokumen-dokumen tersebut, Petugas Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Papua memutuskan bahwa mogok kerja yang dilakukan sejak Mei 2017 akibat memprotes kebijakan "furlough" yang diterapkan manajemen Freeport adalah sah secara hukum sesuai ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Petugas Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Papua juga menilai pemutusan hubungan kerja secara sepihak terhadap 8.300 karyawan Freeport dan perusahaan subkontraktornya tanpa penetapan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum, sedangkan "furlough" yang diberlakukan manajemen Freeport tidak dikenal dalam UU No. 13 Tahun 2003.
Atas keputusan Petugas Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Papua itu, manajemen Freeport diwaliki oleh Demy Magai telah membuat surat klarifikasi.
Aser menilai seharusnya surat klarifikasi terhadap masalah ketenagakerjaan di lingkungan PT Freeport ditandatangani oleh Executif Vise President bidang Industrial Relation Achmad Didik Ardianto selaku pihak yang paling bertanggung jawab atas keputusan menyatakan mogok karyawan pada Mei 2017 adalah tidak sah.
"Dari jajaran manajemen Freeport yang diperiksa oleh Petugas Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Papua, yaitu saudara Nikodemus Purba. Tapi yang membuat surat klarifikasi ke Disnaker Papua yaitu saudara Demy Magai. Padahal yang paling bertanggung jawab terhadap permasalahan ini yaitu saudara Achmad Didik Ardianto. Terkesan manajemen Freeport melempar soal kepada anak-anak Papua untuk mengambil tanggung jawab atas keputusan yang dibuat oleh orang lain. Ini sama saja dengan membenturkan orang Papua dengan orang Papua sendiri," kata Aser.
Pengurus Sementara PUK SPKEP SPSI PT Freeport Indonesia, Gaby Kinelak, mengatakan manajemen Freeport harus memberikan tanggapan secara tertulis terhadap hasil pemeriksaan kasus pemogokan dan "furlough" kepada Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Papua.
"Tanggapan tertulis apakah menerima atau menolak keputusan Disnaker Papua. Kalau menolak, harus menyampaikan alasan yang jelas. Kalau menerima, berarti dia harus eksekusi sesuai dengan keputusan tersebut dengan membayar hak-hak mogok kerja selama 18 bulan," katanya.
Gaby memastikan hingga kini ribuan karyawan mogok kerja masih tetap antusias dalam mencari keadilan bagi seluruh pekerja dan keluarganya.
Bahkan, pihaknya tidak mempersoalkan pekerja lain yang tidak tergabung dalam perjuangan itu.