Jakarta (ANTARA) - "Jangan harap bisa meninggalkan China kalau suhu badan 38 derajat Celcius."

Meskipun tidak eksplisit, pesan yang secara rutin disampaikan oleh otoritas di Beijing melalui layanan pesan singkat (SMS) bisalah  disimpulkan bermakna seperti kutipan di atas.

"Jangan bepergian ketika dalam kondisi flu, batuk, sesak napas, dan suhu badan tinggi. Bagi Anda yang melakukan perjalanan ke Wuhan dalam 14 hari terakhir, harap lapor," demikian SMS yang dikirimkan hampir setiap hari oleh Pemerintah Kota Beijing sejak meluasnya wabah virus corona

Saya yang hampir tiga tahun bertugas di Beijing bersama keluarga tentu cemas dengan pemberitahuan rutin itu.

Tiga aggota keluarga saling bergantian menggunakan termometer saku untuk mengecek suhu tubuh masing-masing.

Satu saja di antara anggota keluarga ini ada yang suhunya 38 derajat, maka pupuslah harapan pulang ke Tanah Air.

Informasi mengenai tiga mahasiswa Indonesia batal dievakuasi dari Wuhan, Provinsi Hubei, yang dikenal sebagai episentrum wabah virus mematikan 2019-nCoV, akibat suhu tubuh tiba-tiba naik cukup membuat saya dan keluarga was-was.

Apalagi setelah mendapat kabar bahwa tidak lama setelah pesawat Batik Air yang membawa pulang 238 warga negara Indonesia lepas landas dari Bandar Udara Internasional Tianhe, Wuhan, pada 1 Februari 2020 menjelang subuh, suhu badan ketiga mahasiswa tersebut mulai stabil dan langsung diantar ke asrama kampus masing-masing tanpa harus melalui perawatan khusus.

Sangat mungkin, naiknya suhu badan ketiga mahasiswa itu dipengaruhi faktor psikologis, sebut saja nervous, karena terlalu lama menunggu di Bandara Tianhe sejak sore.

"Bisa saja kita seperti mereka dan tentu ga bisa pulang dong," ucap anak saya yang sulung sambil terus memeriksa suhu tubuh ibunya yang masih stabil di kisaran 36 derajat Celcius.

Sebelumnya kami sekeluarga juga sempat "sport jantung" manakala sejumlah penerbangan dari dan ke China, tidak hanya Wuhan, distop menyusul pengumuman Badan Organisasi Dunia (WHO) bahwa wabah virus corona berstatus darurat global per 31 Januari 2020.

Bagaimana tidak kaget, saya sudah bersusah payah mendapatkan tiket pulang ke Indonesia sejak sepekan sebelumnya. Itu pun dapatnya Malaysia Airlines untuk keberangkatan dari Beijing tanggal 2 Februari 2020.

Pada tanggal 31 Januari 2020 pagi pihak maskapai tidak memberikan respons mengenai kemungkinan pembatalan penerbangan bernomor MH-365.

Kabar dari rekan di Kedutaan Besar Malaysia di Beijing dan wartawati The Star agak melegakan. Belum ada kabar penutupan rute penerbangan Malaysia Airlines ke China selain Wuhan.

Namun suasana mencekam sempat terlihat saat semua pintu kompleks apartemen di kawasan Dongzhimennei Bei Xiao Jie ditutup untuk umum mulai 2 Februari 2020.

Hanya tersisa satu pintu, itu pun dijaga dua petugas keamanan berseragam hitam-hitam.

Dari lantai tiga apartemen yang saya tempati terdengar nyaring suara petugas keamanan memarahi seorang kurir yang hendak memaksa masuk lewat pintu gerbang.

"Tidak boleh seorang pun yang bukan penghuni masuk sini. Perhatikan itu!" bentak petugas keamanan yang usianya kira-kira hampir 60 tahun.

Kalau begini, berarti taksi daring yang sudah saya pesan untuk mengantar ke Bandara pada sore hari jelas tidak bisa masuk kompleks apartemen.

"Waduh, kita mesti turun 'nanya' petugas itu," ajak Si Sulung yang bergegas mengambil yurongfu  atau jaket tebal pelindung udara dingin untuk menemui petugas penjaga pintu gerbang.

"Tidak bisa. Kamu harus nunggu di depan sini," kata si petugas menjawab pertanyaan Si Sulung.

"Kalau begitu, bolehkah titip koper-koperku di sini," timpal Si Sulung yang langsung mendapat persetujuan dari kedua petugas.

Dua puluh menit menjelang pukul 4 sore, telepon seluler berdering, sopir taksi daring mengabarkan ketibaanya, namun dihadang petugas keamanan.

Kami berempat turun dengan koper kabin masing-masing. Dua petugas keamanan berwajah bengis berubah ramah, malah membantu mengangkat koper ke dalam mobil jemputan.

"Yah, situasi seperti ini memang lebih baik kalian pulang. Zaijian (sampai jumpa)," ucapnya sambil melambaikan tangan melepas kepergian kami ke Bandara di bawah guyuran hujan salju. Lalu lintas di Jalan lingkar 2 Beijing seksi Dongzhimen, sepi, pada 2 Februari 2020. (ANTARA/M. Irfan Ilmie)
Pemeriksaan Ketat
Bandar Udara Internasional Daxing yang berjarak sekitar 60 kilometer dari pusat Kota Beijing sore itu sangatlah sepi.

Tidak ada lagi pesawat yang antre mendarat di bandar udara termegah dan terluas yang baru beroperasi pada 25 September 2019 itu.

Kesibukan di dalam terminal pun tidak tampak seperti hari-hari biasa. Bandara yang bentuk bangunan terminalnya mirip burung Phoenix dan pelayanannya berbasis teknologi kecerdasan artifisial (AI) itu bagaikan kota mati.

Jalan raya sepuluh lajur menuju bandara yang berada di perbatasan Beijing dengan Langfang, Provinsi Hebei, juga tampak lengang.

Memang tidak seperti Wuhan yang benar-benar lumpuh sejak diisolasi pada 23 Januari 2020.

Bandara dan stasiun kereta api di kota-kota lain di China masih beroperasi, meskipun suasananya tidak seramai biasanya.

Walau begitu, pintu masuk terminal keberangkatan Bandara Daxing telah bersiaga empat petugas gabungan dari kesehatan dan kepolisian.

Pemindai suhu tubuh yang terpasang di pintu masuk dianggapnya belum cukup karena mereka juga ingin memastikannya dengan alat kecil mirip pistol yang diarahkan ke kening setiap orang yang lalu-lalang di pintu kaca putar itu.

Di antara calon penumpang bahkan ada yang harus membuka masker, kalau-kalau ditemukan gejala flu yang mirip dengan infeksi virus corona.

Pengujian kesehatan belumlah selesai karena calon penumpang yang sudah mendapatkan pas keberangkatan (boarding pass) harus melalui pintu masuk karantina.

Sebelum melewati pintu itu setiap penumpang harus mengisi formulir warna putih yang di dalamnya terdapat pernyataan bahwa tidak pernah ke Wuhan dalam 14 hari terakhir.

Formulir diserahkan kepada petugas yang kemudian akan dicocokkan dengan paspor dan pas keberangkatan calon penumpang.

Petugas bagian karantina yang merupakan personel kepolisian itu sangat teliti karena paspor atau kartu identitas penduduk setempat akan dicocokkan dengan nomor-nomor transportasi umum, seperti pesawat, kereta api, dan bus yang sudah terlacak pernah dinaiki oleh pengidap 2019-nCoV.

Apalagi pemerintah China telah merilis sejumlah nomor penerbangan, nomor perjalanan kereta api, dan nomor pelat bus yang pernah ditumpangi penderita wabah tersebut berikut imbauan untuk segera melapor.

Bahkan nomor taksi yang pernah mengangkut penumpang dengan terpapar 2019-CoV pun sudah teridentifikasi.

Kalau petugas karantina di Bandara Daxing sudah memencet tombol dua pintu yang terbuka secara otomatis, maka calon penumpang sudah bisa berjalan menuju pintu (gate) keberangkatan pesawat.

Namun ini bukan tahap akhir dari rangkaian pemeriksaan kesehatan, karena masih ada petugas kedokteran berpakaian putih-putih menutup seluruh anggota tubuh, termasuk kacamata dan masker, yang setiap saat memeriksa calon penumpang sebelum menaiki pesawat.

Kalau saja ditemukan suhu badan 38 derajat, maka sudah pasti dilarang naik pesawat, ke mana pun tujuannya.

Lolos tahapan pemeriksaan di bandara di China juga bukan jaminan dapat dengan mudah kembali ke Tanah Air.

Bandara transit seperti Kuala Lumpur International Airport yang didarati MH-365 juga menerapkan hal yang sama.

Demikian pula saat tiba di Indonesia, semua penumpang dari China harus lolos tes pemindaian suhu tubuh yang dibuktikan dengan kartu kewaspadaan dari Kementerian Kesehatan RI.

Potongan kartu berwarna kuning yang berisikan keterangan tidak mengalami gejala-gejala seperti di atas diserahkan kepada petugas kesehatan Bandara Juanda Surabaya yang bersiaga di depan pos pemeriksan imigrasi.

"Terima kasih atas kerja samanya, semoga perjalanan Bapak lancar sampai di tujuan," ujar salah satu petugas kesehatan setelah menerima empat lembar Kartu Kewaspadaan Kesehatan Kemenkes RI yang disodorkan ANTARA. 





 

Pewarta : M. Irfan Ilmie
Editor : Muhsidin
Copyright © ANTARA 2024