Jakarta (ANTARA) - Pemilik sekaligus Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito mengakui dimintai uang komitmen senilai Rp5 miliar oleh staf khusus (stafsus) mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
"Saudara Agus bertanya ke anak buah Dirjen Budi Daya, lalu Agus diminta bertanya ke stafsus dan di situ letak komitmen yang diminta, kemudian disampaikan ke saya, 'Tolong sampaikan ke Harto ini ada komitmen yang lainnya juga begitu, nilainya Rp5 miliar dan bisa dicicil'," kata Suharjito dalam sidang, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Suharjito mengikuti persidangan melalui sambungan "video conference" dari Gedung KPK.
Dalam perkara ini, Suharjito yang didakwa memberikan suap senilai total Rp2,146 miliar yang terdiri dari 103 ribu dolar AS (sekitar Rp1,44 miliar) dan Rp706.055.440 kepada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Dalam surat dakwaan disebutkan pada Juni 2020, Manager Operasional Kapal PT DPPP Agus Kurniyawanto menemui dua orang staf khusus Menteri KKP sekaligus menjadi ketua dan wakil ketua tim uji tuntas ekspor dan budi daya benih lobster Andreau Misanta Pribadi dan Safri.
Dalam pertemuan itu, Andreau dan Safri menyebutkan untuk mendapatkan izin yang dimaksud, PT DPPP harus memberikan uang komitmen kepada Edhy Prabowo melalui Safri sebesar Rp5 miliar yang dapat diberikan secara bertahap sesuai kemampuan perusahaan.
"Habis itu Agus lapor ke saya, katanya 'Pak sudah ketemu benang merahnya', kata saya 'Apa benang merah apa Gus?' kemudian dijawab 'Komitmen Pak', saya tanya 'Loh kok komitmen?' tapi dijawab lagi 'Yang lainnya juga begitu', ya sudah," ujar Suharjito.
Suharjito akhirnya mencicil permintaan "fee" tersebut.
"Akhirnya saya membayar komitmen itu 77 ribu dolar AS yang disampaikan Agus. Saya cicil, 77 ribu dolar AS sama dengan Rp1 miliar," kata Suharjito pula.
Suharjito mengaku perusahaan miliknya sudah 5 tahun memiliki usaha budi daya udang.
Ia pun menyambut gembira peraturan yang diterbitkan Edhy Prabowo pada 4 Mei 2020, yaitu Peraturan Menteri KKP No: 12/PERMEN-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di wilayah NKRI yang isinya antara lain mengizinkan dilakukannya budi daya dan ekspor Benih Bening Lobster (BBL).
"Pada Mei 2020 aturan itu disampaikan untuk izin ekspor dan izin budi daya BBL. Harapan saya ketika mengajukan usaha ini bisa berkembang, maka dari itu saya ajukan izin ke Kementerian Kelautan dan Perikanan mulai 4 Mei sampai 18 Juni 2020," kata Suharjito.
Tapi dalam perjalanannya, menurut Suharjito, proses perizinan itu mengalami hambatan dan berjalan lambat.
"Saya minta ke anak buah saya, Agus, 'Coba Gus tanyakan ke staf Dirjen Budi Daya apa masalahnya? Kalau untuk mendapat izin perusahaan sudah berlomba-lomba dan KKP juga paling paham tentang budi daya tapi malah lama," ujar Suharjito.
Dalam sidang dengan agenda mendengarkan keterangan ahli, yaitu ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mudzakir, Suharjito pun mempertanyakan apakah dirinya selaku penyuap aktif atau pasif.
"Apakah saya dianggap pemberi aktif atau pasif. Karena saya pada dasarnya pengusaha maunya gratis dan cepat untuk melakukan budi daya," tanya Suharjito.
"Dari perusahaan sudah mengurus proses yang dilakukan, cuma karena tidak terbit-terbit. Begitu staf tanya ternyata harus ada komitmen suap, jadi suap itu bersumber stafsus. Kesimpulannya bahwa yang bertanggung jawab atas pemberian adalah stafsus, bukan pengusaha yang mengurus izin," jawab Mudzakir.
Mudzakir menilai Suharjito menjadi korban dari stafsus Edhy Prabowo.
"Pengusaha yang memberikan komitmen ini adalah korban dari stafsus, agar memberi sesuatu. Kalau dalam hukum pidana wajib untuk memberikan perlindungan korban, atas dasar itu menurut ahli, memberikan sesuatu itu bersifat pasif dan yang bertanggung jawab yaitu stafsus, sehingga pengusaha yang ditagih komitmen Rp5 miliar agar terbit izin adalah korban penyalahgunaan stafsus," kata Mudzakir pula.
Dalam dakwaan disebutkan pada 16 Juni 2020, Agus Kurniyawanto di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan menyerahkan uang kepada Safri sejumlah 77 ribu dolar AS sambil mengatakan 'ini titipan buat Menteri'. Selanjutnya Safri menyerahkan uang tersebut kepada sekretaris pribadi Edhy Prabowo bernama Amiril Mukminin untuk disampaikan kepada Edhy Prabowo.
Safri lalu memerintahkan anggota tim uji tuntas Dalendra Kardina untuk melanjutkan proses izin budi daya BBL dari PT DPPP. Kementerian lalu menerbitkan izin ekspor BBL berupa Surat Penetapan Calon Eksportir BBL atas nama PT DPP pada 6 Juli 2020.
"Saudara Agus bertanya ke anak buah Dirjen Budi Daya, lalu Agus diminta bertanya ke stafsus dan di situ letak komitmen yang diminta, kemudian disampaikan ke saya, 'Tolong sampaikan ke Harto ini ada komitmen yang lainnya juga begitu, nilainya Rp5 miliar dan bisa dicicil'," kata Suharjito dalam sidang, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Suharjito mengikuti persidangan melalui sambungan "video conference" dari Gedung KPK.
Dalam perkara ini, Suharjito yang didakwa memberikan suap senilai total Rp2,146 miliar yang terdiri dari 103 ribu dolar AS (sekitar Rp1,44 miliar) dan Rp706.055.440 kepada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Dalam surat dakwaan disebutkan pada Juni 2020, Manager Operasional Kapal PT DPPP Agus Kurniyawanto menemui dua orang staf khusus Menteri KKP sekaligus menjadi ketua dan wakil ketua tim uji tuntas ekspor dan budi daya benih lobster Andreau Misanta Pribadi dan Safri.
Dalam pertemuan itu, Andreau dan Safri menyebutkan untuk mendapatkan izin yang dimaksud, PT DPPP harus memberikan uang komitmen kepada Edhy Prabowo melalui Safri sebesar Rp5 miliar yang dapat diberikan secara bertahap sesuai kemampuan perusahaan.
"Habis itu Agus lapor ke saya, katanya 'Pak sudah ketemu benang merahnya', kata saya 'Apa benang merah apa Gus?' kemudian dijawab 'Komitmen Pak', saya tanya 'Loh kok komitmen?' tapi dijawab lagi 'Yang lainnya juga begitu', ya sudah," ujar Suharjito.
Suharjito akhirnya mencicil permintaan "fee" tersebut.
"Akhirnya saya membayar komitmen itu 77 ribu dolar AS yang disampaikan Agus. Saya cicil, 77 ribu dolar AS sama dengan Rp1 miliar," kata Suharjito pula.
Suharjito mengaku perusahaan miliknya sudah 5 tahun memiliki usaha budi daya udang.
Ia pun menyambut gembira peraturan yang diterbitkan Edhy Prabowo pada 4 Mei 2020, yaitu Peraturan Menteri KKP No: 12/PERMEN-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di wilayah NKRI yang isinya antara lain mengizinkan dilakukannya budi daya dan ekspor Benih Bening Lobster (BBL).
"Pada Mei 2020 aturan itu disampaikan untuk izin ekspor dan izin budi daya BBL. Harapan saya ketika mengajukan usaha ini bisa berkembang, maka dari itu saya ajukan izin ke Kementerian Kelautan dan Perikanan mulai 4 Mei sampai 18 Juni 2020," kata Suharjito.
Tapi dalam perjalanannya, menurut Suharjito, proses perizinan itu mengalami hambatan dan berjalan lambat.
"Saya minta ke anak buah saya, Agus, 'Coba Gus tanyakan ke staf Dirjen Budi Daya apa masalahnya? Kalau untuk mendapat izin perusahaan sudah berlomba-lomba dan KKP juga paling paham tentang budi daya tapi malah lama," ujar Suharjito.
Dalam sidang dengan agenda mendengarkan keterangan ahli, yaitu ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mudzakir, Suharjito pun mempertanyakan apakah dirinya selaku penyuap aktif atau pasif.
"Apakah saya dianggap pemberi aktif atau pasif. Karena saya pada dasarnya pengusaha maunya gratis dan cepat untuk melakukan budi daya," tanya Suharjito.
"Dari perusahaan sudah mengurus proses yang dilakukan, cuma karena tidak terbit-terbit. Begitu staf tanya ternyata harus ada komitmen suap, jadi suap itu bersumber stafsus. Kesimpulannya bahwa yang bertanggung jawab atas pemberian adalah stafsus, bukan pengusaha yang mengurus izin," jawab Mudzakir.
Mudzakir menilai Suharjito menjadi korban dari stafsus Edhy Prabowo.
"Pengusaha yang memberikan komitmen ini adalah korban dari stafsus, agar memberi sesuatu. Kalau dalam hukum pidana wajib untuk memberikan perlindungan korban, atas dasar itu menurut ahli, memberikan sesuatu itu bersifat pasif dan yang bertanggung jawab yaitu stafsus, sehingga pengusaha yang ditagih komitmen Rp5 miliar agar terbit izin adalah korban penyalahgunaan stafsus," kata Mudzakir pula.
Dalam dakwaan disebutkan pada 16 Juni 2020, Agus Kurniyawanto di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan menyerahkan uang kepada Safri sejumlah 77 ribu dolar AS sambil mengatakan 'ini titipan buat Menteri'. Selanjutnya Safri menyerahkan uang tersebut kepada sekretaris pribadi Edhy Prabowo bernama Amiril Mukminin untuk disampaikan kepada Edhy Prabowo.
Safri lalu memerintahkan anggota tim uji tuntas Dalendra Kardina untuk melanjutkan proses izin budi daya BBL dari PT DPPP. Kementerian lalu menerbitkan izin ekspor BBL berupa Surat Penetapan Calon Eksportir BBL atas nama PT DPP pada 6 Juli 2020.