Jakarta (ANTARA) - Facebook bersama dengan Bain & Company melakukan studi terbaru pada tren terkini konsumen digital di Asia Tenggara salah satunya di Indonesia dan menunjukan Indonesia diperkirakan akan memiliki konsumen digital sebanyak 165 juta di akhir 2021.
Laporan studi itu bertajuk "SYNC Southeast Asia" dengan para peserta penelitian berjumlah 16.700 orang dilengkapi wawancara 20 praktisi Chief Experience Officer (CXO) dari enam negara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Dari Indonesia didapatkan hasil konsumen digital meningkat dari tahun lalu yang awalnya berjumlah 144 juta diperkirakan akan mencapai 165 juta di akhir 2021.
Sebanyak 48 persen responden di Indonesia mengaku saat ini berbelanja daring sudah menjadi sarana utama untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya.
Konsumen digital Indonesia pun terbuka untuk mendapatkan produk hingga layanan yang baru dengan hasil 56 persen responden mengaku seringkali tidak tahu apa yang mereka ingin beli ketika masuk platform daring sedangkan 44 persen lainnya mengaku mencoba toko online baru untuk mendapatkan pengalaman lainnya.
Studi itu pun menemukan bahwa semakin banyak kategori barang yang dibeli secara daring oleh konsumen digital Indonesia.
Hal itu dibuktikan dengan temuan peningkatan jumlah rata- rata kategori, di 2021 didapatkan ada 8,8 kategori. Angka tersebut naik dibanding tahun 2020 yang hanya sekitar 5,1 kategori.
“Melihat perjalanan belanja online konsumen Indonesia dan gaya hidup digital yang semakin berkembang, sangatlah penting bagi kita untuk mengatur kembali strategi untuk berinteraksi dengan konsumen. Langkah ini menghadirkan peluang bagi bisnis untuk membangun merek mereka dan terhubung dengan konsumen dalam hal yang paling penting bagi mereka. Di Facebook, kami menghadirkan solusi bagi bisnis untuk membantu orang dengan mudah menemukan dan membeli hal-hal yang mereka sukai,” ujar Country Director untuk Facebook di Indonesia Pieter Lydian dalam keterangannya, Kamis.
Studi ini menunjukkan potensi besar untuk membangun loyalitas dan pertumbuhan merek lantaran pasar e- commerce masih terpecah.
Pada 2021, konsumen yang cakap melihat-lihat di 8,2 situs web berbeda sebelum membuat keputusan pembelian itu merupakan peningkatan yang drastis jika dibandingkan dengan rata-rata 5,1 situs pada 2020.
Konsumen kini menjadi lebih sadar lingkungan dengan 93 persen dari mereka yang disurvei mengatakan mereka bersedia membayar lebih untuk produk berkelanjutan dan bertanggung jawab secara sosial, dan 82 persen konsumen bersedia membayar lebih hingga 10 persen untuk produk tersebut.
Faktanya, dampak lingkungan disebut sebagai salah satu dari tiga alasan utama konsumen Asia Tenggara untuk beralih ke merek lain.
Gaya hidup yang berpusat pada rumah pun sudah semakin mengakar di Indonesia.
Laporan ini memprediksi bahwa sekitar 85 persen waktu yang dihabiskan untuk makan di rumah dari jasa antar makanan diperkirakan akan tetap ada pascapandemi.
Sekitar 74 persen waktu yang dihabiskan di rumah akan tetap berlanjut, demikian pula dengan 76 persen waktu yang dihabiskan untuk berbelanja online di rumah.
Selain itu didapatkan fakta juga bahwa sebanyak 66 persen responden mengatakan mereka berharap untuk bekerja dari rumah bahkan setelah situasi membaik.
Fase pencarian menjadi tahapan yang sangat penting karena 83 persen sarana pembelian yang digunakan orang untuk menemukan apa yang harus mereka beli adalah online dan hanya 17 persen sarana offline yang digunakan.
Dalam hal menilai pertimbangan, 85 persen saluran yang digunakan untuk menemukan lebih banyak informasi tentang suatu produk atau layanan adalah online.
Saluran digital kini memperoleh porsi 56 persen dari keseluruhan transaksi, dengan 44 persen sisanya lewat sarana offline.
Media sosial tetap menjadi saluran teratas untuk fase pencarian di Indonesia, terutama untuk video di media sosial mencapai angka persentase 19 persen
“Temuan ini menunjukkan fakta bahwa sekarang adalah saat yang tepat bagi merek untuk berani dan kreatif dalam bereksperimen dengan cara-cara baru untuk bertemu dan ditemukan oleh konsumen digital. Kami berharap dapat berperan secara positif dalam mendukung bisnis di Indonesia untuk bereksperimen dengan fitur jual-beli seperti 'Shops' untuk membantu mereka mendirikan etalase gratis yang dapat diakses oleh konsumen dengan mudah di Facebook dan Instagram, atau dengan fitur 'Reels' yang menawarkan cara baru dalam menciptakan dan menemukan video singkat yang menghibur di Instagram,” tambah Pieter.
Selanjutnya, laporan ini menemukan bahwa lebih dari 80 persen dana perusahaan modal ventura mengalir ke sektor internet dan teknologi, khususnya Fintech, EduTech, dan HealthTech.
Laporan menunjukkan bahwa disrupsi mungkin lebih terlihat pada sektor kesehatan dan pendidikan karena kedua sektor berkembang pesat untuk beradaptasi dengan kebiasaan konsumsi konsumen di rumah, seperti kegiatan belajar mengajar di rumah dan telemedisin.
“Saatnya telah tiba bagi perusahaan produk konsumen untuk memanfaatkan perubahan paradigma perilaku konsumen di Indonesia. Pemilik merek yang paling sukses akan fokus pada strategi untuk memanfaatkan ledakan digital pasca pandemi di kawasan ini dan melindungi diri mereka dari disrupsi digital berikutnya,”ujar Partner dari Bain & Company Edy Widjaja.
Laporan studi itu bertajuk "SYNC Southeast Asia" dengan para peserta penelitian berjumlah 16.700 orang dilengkapi wawancara 20 praktisi Chief Experience Officer (CXO) dari enam negara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Dari Indonesia didapatkan hasil konsumen digital meningkat dari tahun lalu yang awalnya berjumlah 144 juta diperkirakan akan mencapai 165 juta di akhir 2021.
Sebanyak 48 persen responden di Indonesia mengaku saat ini berbelanja daring sudah menjadi sarana utama untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya.
Konsumen digital Indonesia pun terbuka untuk mendapatkan produk hingga layanan yang baru dengan hasil 56 persen responden mengaku seringkali tidak tahu apa yang mereka ingin beli ketika masuk platform daring sedangkan 44 persen lainnya mengaku mencoba toko online baru untuk mendapatkan pengalaman lainnya.
Studi itu pun menemukan bahwa semakin banyak kategori barang yang dibeli secara daring oleh konsumen digital Indonesia.
Hal itu dibuktikan dengan temuan peningkatan jumlah rata- rata kategori, di 2021 didapatkan ada 8,8 kategori. Angka tersebut naik dibanding tahun 2020 yang hanya sekitar 5,1 kategori.
“Melihat perjalanan belanja online konsumen Indonesia dan gaya hidup digital yang semakin berkembang, sangatlah penting bagi kita untuk mengatur kembali strategi untuk berinteraksi dengan konsumen. Langkah ini menghadirkan peluang bagi bisnis untuk membangun merek mereka dan terhubung dengan konsumen dalam hal yang paling penting bagi mereka. Di Facebook, kami menghadirkan solusi bagi bisnis untuk membantu orang dengan mudah menemukan dan membeli hal-hal yang mereka sukai,” ujar Country Director untuk Facebook di Indonesia Pieter Lydian dalam keterangannya, Kamis.
Studi ini menunjukkan potensi besar untuk membangun loyalitas dan pertumbuhan merek lantaran pasar e- commerce masih terpecah.
Pada 2021, konsumen yang cakap melihat-lihat di 8,2 situs web berbeda sebelum membuat keputusan pembelian itu merupakan peningkatan yang drastis jika dibandingkan dengan rata-rata 5,1 situs pada 2020.
Konsumen kini menjadi lebih sadar lingkungan dengan 93 persen dari mereka yang disurvei mengatakan mereka bersedia membayar lebih untuk produk berkelanjutan dan bertanggung jawab secara sosial, dan 82 persen konsumen bersedia membayar lebih hingga 10 persen untuk produk tersebut.
Faktanya, dampak lingkungan disebut sebagai salah satu dari tiga alasan utama konsumen Asia Tenggara untuk beralih ke merek lain.
Gaya hidup yang berpusat pada rumah pun sudah semakin mengakar di Indonesia.
Laporan ini memprediksi bahwa sekitar 85 persen waktu yang dihabiskan untuk makan di rumah dari jasa antar makanan diperkirakan akan tetap ada pascapandemi.
Sekitar 74 persen waktu yang dihabiskan di rumah akan tetap berlanjut, demikian pula dengan 76 persen waktu yang dihabiskan untuk berbelanja online di rumah.
Selain itu didapatkan fakta juga bahwa sebanyak 66 persen responden mengatakan mereka berharap untuk bekerja dari rumah bahkan setelah situasi membaik.
Fase pencarian menjadi tahapan yang sangat penting karena 83 persen sarana pembelian yang digunakan orang untuk menemukan apa yang harus mereka beli adalah online dan hanya 17 persen sarana offline yang digunakan.
Dalam hal menilai pertimbangan, 85 persen saluran yang digunakan untuk menemukan lebih banyak informasi tentang suatu produk atau layanan adalah online.
Saluran digital kini memperoleh porsi 56 persen dari keseluruhan transaksi, dengan 44 persen sisanya lewat sarana offline.
Media sosial tetap menjadi saluran teratas untuk fase pencarian di Indonesia, terutama untuk video di media sosial mencapai angka persentase 19 persen
“Temuan ini menunjukkan fakta bahwa sekarang adalah saat yang tepat bagi merek untuk berani dan kreatif dalam bereksperimen dengan cara-cara baru untuk bertemu dan ditemukan oleh konsumen digital. Kami berharap dapat berperan secara positif dalam mendukung bisnis di Indonesia untuk bereksperimen dengan fitur jual-beli seperti 'Shops' untuk membantu mereka mendirikan etalase gratis yang dapat diakses oleh konsumen dengan mudah di Facebook dan Instagram, atau dengan fitur 'Reels' yang menawarkan cara baru dalam menciptakan dan menemukan video singkat yang menghibur di Instagram,” tambah Pieter.
Selanjutnya, laporan ini menemukan bahwa lebih dari 80 persen dana perusahaan modal ventura mengalir ke sektor internet dan teknologi, khususnya Fintech, EduTech, dan HealthTech.
Laporan menunjukkan bahwa disrupsi mungkin lebih terlihat pada sektor kesehatan dan pendidikan karena kedua sektor berkembang pesat untuk beradaptasi dengan kebiasaan konsumsi konsumen di rumah, seperti kegiatan belajar mengajar di rumah dan telemedisin.
“Saatnya telah tiba bagi perusahaan produk konsumen untuk memanfaatkan perubahan paradigma perilaku konsumen di Indonesia. Pemilik merek yang paling sukses akan fokus pada strategi untuk memanfaatkan ledakan digital pasca pandemi di kawasan ini dan melindungi diri mereka dari disrupsi digital berikutnya,”ujar Partner dari Bain & Company Edy Widjaja.