Jayapura (Antara Papua) - Puluhan masyarakat adat dan warga lainnya dari Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua, mendatangi Pengadilan Negeri Jayapura guna mempertanyakan terdakwa kasus korupsi dana bantuan sosial tahun anggaran 2012/2013 Bartholemeus Sato yang ditangguhkan penahanannya oleh hakim tipikor.
Sekitar 30 orang warga itu menggelar unjuk rasa di halaman Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura, Selasa.
Mereka mengusung sejumlah spanduk yang bertuliskan berbagai hal soal ketidakadilan hukum, diantaranya bertuliskan `Pengadilan Negeri Jayapura jangan tegakkan hukum tumpul keatas dan tajam kebawa sehingga rakyat menderita`, dan `Nilai 54 miliar bukan uang pribadi Mesak Manibor dan Bartolomeus Sato tapi uang rakyat`.
Spanduk lainnya bertuliskan `APBD Sarmi dipakai untuk biaya artis, bola dan hura-hura, mabuk, selingkuh, bupati pembunuh rakyat,` dan `SDM Kabupaten Sarmi, bupati tidak pernah perhatikan mahasiswa dan pelajar, Kabupaten Sarmi menjadi hancur karena ulah bupati,` serta `Bupati Sarmi pencuri uang masyarakat.`
Adolof Andarias Dimomonmau, Wakil Ketua I Masyarakat Adat Sarmi yang berorasi dalam aksi tersebut mengaku heran dengan terdakwa kasus korupsi dana Bansos yang melibatkan Kepala BPKAD atau bendahara Sarmi, Bartholomeus Sato yang ditangguhkan penahanannya oleh hakim tipikor Jayapura.
"Kami hanya ingin tahu, tanya mengapa Bartholomeus Sato ditangguhkan penanahannya? Kenapa hakim bisa bebaskan seorang terdakwa yang barus jalani sidang perdana. Padahal negara telah dirugikan, uang rakyat telah diselewengkan senilai Rp54 miliar. Kemana semua uang itu pergi?," katanya dengan nada marah.
Dalam orasinya, Dimomonmau meminta hakim Tipikor Jayapura yang memimpin persidangan kasus dana Bansos Kabupaten Sarmi agar menemui mereka dan memberikan penjelasan soal penangguhan penanahan yang diberikan kepada Bartholomeus Sato.
Karena menurut Dimomonmau, alasan penangguhan penahanan hanya bisa diberikan kepada terdakwa yang sedang sakit.
"Tapi ini kan tidak. Malah Bartholomeus Sato diberikan penangguhan dan ini berpotensi terjadi tindakan yang sama untuk mengulangi kejahatan yang dilakukannya," kata Dimomonmau.
Sementara itu, Pdt Marthen Insyaf, rekan Dimomonmau mengatakan akibat uang rakyat dikorupsi, perputaran uang di kabupaten yang dijuluki Kota Ombak itu lambat.
"Mama-mama penjual sayur di Pasar Sarmi mengeluh, tidak ada yang beli hasil kebun mereka. Padahal sebelum semua itu terjadi, aktivitas ekonomi di Sarmi berjalan baik, banyak uang berputar," katanya.
Bahkan, bukan itu saja, kata Insyaf, pembangunan di Sarmi juga tidak ada kemajuan karena sejumlah proyek tidak berjalan dengan baik.
"Kami menduga ada penyelewengan dana pembangunan, ini seharusnya dipantau oleh aparat kepolisian dan kejaksaan. Sejumlah bangunan dan jalan di Sarmi semua peninggalan bupati sebelumnya, Eduard Fonataba, bukan hasil kerja bupati saat ini," kata Insyaf.
Sedangkan, Ny Ketsya, salah satu pendemo yang berorofesi sebagai bidan yang sedang tugas belajar di Kota Jayapura mengemukakan sejak menuntut ilmu pada 2012 lalu hingga kini, tidak sepeserpun Pemerintah Kabupaten Sarmi membiayainya, padahal ada dana tugas belajar untuk PNS yang menajutkan kuliah.
"Kami ingin perhatian, kami ingin keadilan. Yang salah harus dihukum, uang rakyat dihabiskan untuk kepentingan pribadi, pengadilan harus berikan hukuman yang setimpal," katanya.
Bartholomeus Sato adalah Kepala Badan Keuangan Kabupaten Sarmi, yang diduga terlibat penyelewengan dana bansos puluhan miliar rupiah bersama Bupati Mesak Manibor.
Rumahnya di Dok V Bawah, Distrik Jayapura Utara, Kota Jayapura, Papua, disegel oleh Kejaksaan Agung pada tahun lalu, karena diduga dibeli dari hasil dana tersebut.
Pada 3 September 2014, Bartholomeus Sato akhirnya ditahan oleh penyidik dari Kejagung dan sempat diperpajang hingga 17 Februari 2015. Namun, pada sidang perdana Februari lalu ditangguhkan penahanannya oleh hakim Tipikor Jayapura. (*)