Belakangan ini upaya perlindungan WNI kembali menghadapi tantangan dengan adanya kasus pengantin pesanan.
Praktik pengantin pesanan (mail-order bride) kerap terjadi antara perempuan Indonesia yang menikah dengan laki-laki asing, melalui peran agen perjodohan atau yang lazim disebut “mak comblang”.
Praktik ini kemudian berkembang menjadi kasus yang terindikasi tindak pidana, karena para perempuan yang menikah dengan laki-laki asing, dalam hal ini laki-laki China, justru menjadi korban kekerasan.
Tercatat 13 perempuan asal Kalimantan Barat dan 16 perempuan asal Jawa Berat telah menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus pengantin pesanan.
Sebelum menikah, para perempuan tersebut dijanjikan kehidupan yang nyaman dan terjamin secara finansial. Namun, alih-alih mendapatkan kehidupan tersebut, mereka malah terjebak pada pernikahan fiktif dan eksploitasi.
Mereka juga menjadi korban tindak kekerasan dan dipekerjakan untuk menghasilkan uang bagi keluarga suami asal China.
Akibatnya, sebagian korban pengantin pesanan meminta perlindungan di KBRI Beijing.
Untuk menangani kasus ini, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengadakan rapat koordinasi dengan pemerintah daerah dan kepolisian Kalimantan Barat guna menyusun langkah-langkah pencegahan efektif.
“Kompleksitas kasus pengantin pesanan memerlukan penanganan yang komprehensif. Sangat penting untuk memutus mata rantai kasus pengantin pesanan melalui koordinasi pusat dan daerah, dari hulu dan hilir,” kata Menlu Retno dalam pertemuan dengan jajaran pemerintah provinsi dan kepolisian Kalimantan Barat, yang diselenggarakan di Pontianak, 25 Juli lalu.
Pertemuan itu menyepakati koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam upaya pencegahan, antara lain melalui pengetatan pengeluaran dan legalisasi dokumen persyaratan pernikahan antarnegara.
Langkah pencegahan juga dilakukan antara pemerintah Indonesia dan pemerintah China, dengan melakukan penilaian yang seksama terhadap permohonan pernikahan antara WNI dan warga China.
Selain itu, komitmen penegakan hukum terhadap agen perjodohan baik di sisi Indonesia maupun China yang terlibat perdagangan orang juga perlu ditegakkan, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2007.
Kepolisian Daerah Kalimantan Barat menahan tiga tersangka yang diduga terlibat dalam kasus pengantin pesanan, dengan korbannya lima orang dan dua orang lainnya belum sempat diberangkatkan.
Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji menilai, kelemahan sistem baik pada imigrasi maupun dinas kependudukan dan catatan sipil perlu segera diperbaiki untuk mencegah TPPO yang berkedok pengantin pesanan.
Lemahnya sistem pendataan disebut dapat mengakibatkan kasus pemalsuan (mark up) umur sehingga ada sejumlah perempuan yang masih di bawah umur menjadi korban pengantin pesanan.
“Kasus TPPO dengan modus perkawinan pesanan juga banyak dipengaruhi oleh faktor kemiskinan, malah ada salah satu korban yang tidak mengenyam pendidikan, sehingga tidak bisa membaca dan menulis,” kata Sutarmidji.
Pada praktiknya, banyak “mak comblang” yang menjanjikan uang puluhan juta bahkan pemasukan setiap bulan kepada keluarga calon pengantin perempuan Indonesia jika mengizinkan anaknya menikah dengan laki-laki asal China.
Namun, besaran uang yang diterima pengantin perempuan dan keluarganya terkadang tidak seperti yang dijanjikan pada awal pembicaraan.
Selain faktor ekonomi, kasus pengantin pesanan juga perlu dilihat dari aspek sosial budaya.
Pelaksana harian Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemlu RI Judha Nugraha menyebut kasus ini sebagai dampak dari kebijakan One Child Policy yang diterapkan pemerintah China bagi warga mereka.
Kebijakan demografi ekstrem ini mulai diberlakukan pada 1979 untuk menekan laju populasi China, dengan hanya membolehkan setiap pasangan memiliki satu anak, akibatnya banyak kasus aborsi dan pembunuhan bayi perempuan, karena budaya patriarki yang mereka anut.
Dampak terbesar dari kebijakan tersebut kini semakin dirasakan, selain terlihat pada melambatnya pertumbuhan populasi kategori usia produktif, juga menimbulkan ketidakseimbangan antara penduduk laki-laki dan perempuan atau yang dalam istilah demografi disebut dengan gender imbalance.
Data pada 2017 menunjukkan terdapat sekitar 711 juta penduduk laki-laki dan 679 juta penduduk perempuan yang tinggal di China.
“Kebijakan itu (One Child Policy) memang dihapus pada 2015, tetapi dampaknya sudah terlanjur terasa. Laki-laki China kini sulit mencari pasangan,” kata Judha.
Oleh sebab itu banyak laki-laki China yang mencari pasangan dari negara lain, diantaranya dari Vietnam, Laos, Myanmar, Kamboja, termasuk Indonesia.
Meskipun demikian, kata Judha, tidak semua pernikahan antara laki-laki China dengan perempuan berkewarganegaraan lain berujung pada kasus pengantin pesanan. Banyak juga pasangan yang setelah menikah, hidup bahagia dan memiliki keturunan.
WNI yang ingin melangsungkan pernikahan dengan warga negara lain perlu berhati-hati agar tidak menjadi korban dari agen perjodohan yang hanya mencari keuntungan.
Perempuan Indonesia harus mengenali calon pasangannya dengan baik, dan memahami berbagai prosedur administrasi pernikahan antarnegara, serta mengikuti segala persyaratan baik di Indonesia maupun di negara asal calon pasangannya.
“Artinya ketika kita berniat menikah maka pertama luruskan niat kita, pastikan kita mengenal calon pasangan yang akan dinikahi, sehingga ketika kita sudah memahami siapa calon pasangan kita, kondisi nyatanya seperti apa, dan kita sudah ikuti prosedurnya, mudah-mudahan dapat mengurangi kasus penipuan bermodus pengantin pesanan ini,” tutur dia.
Pemerintah Indonesia pun telah bekerjasama dengan pemerintah China untuk menangani kasus pengantin pesanan.
Dalam pertemuan bilateral di sela-sela Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN dan Mitra Wicara ASEAN di Bangkok, Thailand, 30 Juli lalu, Menlu Retno Marsudi membahas isu ini bersama Menlu China Wang Yi.
Sebelumnya, Menlu Retno telah memanggil Duta Besar China di Jakarta, selain itu Dubes RI di Beijing telah bertemu dengan Dirjen Konsuler Kemlu China guna menyampaikan isu yang sama.
Sebagai upaya penyelesaian, Menlu Retno mengusulkan tiga hal, yakni pertama, agar 18 korban pengantin pesanan yang sudah berada di KBRI Beijing dapat segera difasilitasi pemulangannya.
Kedua, agar pemrosesan dokumen legalisasi pernikahan campuran di Kedubes China dan juga di China dapat dilakukan dengan pemeriksaan yang lebih teliti. Hal ini juga telah dimintakan oleh Menlu Retno kepada otoritas di Indonesia.
Ketiga, Menlu Retno mengharapkan kerja sama untuk pemberantasan TPPO.
Beberapa tersangka sudah ditangkap di Indonesia dan perlu kerja sama pemerintah China untuk dapat melakukan penegakan hukum guna menangkap para agen yang beroperasi di China.
Namun, upaya pemulangan WNI yang menjadi korban pengantin pesanan di China terkendala keabsahan dokumen pernikahan yang mengharuskan ada izin dari suami untuk dapat menangani kepulangan mereka.
“Ada sisi pandang berbeda antara hukum Indonesia dan apa yang dihadapi di sana karena mereka (WNI) ini terikat perkawinan,” kata Pelaksana tugas Juru Bicara Kemlu RI Teuku Faizasyah.
“Mereka menikah dengan berbagai dokumen yang menyatakan keabsahan pernikahan. Artinya pihak Tiongkok mengesahkan. Ada perspektif legalitas dari segi perkawinan,” ia menambahkan.
Tantangan utama yang tengah dihadapi pemerintah Indonesia untuk memulangkan para korban TPPO adalah meyakinkan pihak suami akan pelanggaran hukum yang terdapat dalam proses pernikahan tersebut.
Fenomena pengantin pesanan melalui "mak comblang"
Oleh : Yashinta Difa Pramudyani
Kompleksitas kasus pengantin pesanan memerlukan penanganan yang komprehensif. Sangat penting untuk memutus mata rantai kasus pengantin pesanan melalui koordinasi pusat dan daerah, dari hulu dan hilir
Jakarta (ANTARA) -