Dilematis adaptasi kehidupan baru
Jakarta (ANTARA) - Alih-alih siap menerapkan adaptasi kehidupan baru, kecemasan justru mulai tereskalasi. Data terkini tentang lonjakan kasus COVID-19 di dalam negeri memaksa semua pihak harus bersabar.
Pasalnya, belum semua elemen masyarakat patuh pada protokol kesehatan. Fakta ini menjadi dilema untuk keinginan bersama beradaptasi dengan pola hidup baru.
Lonjakan kasus selama beberapa pekan terakhir menjadi bukti ketidakpatuhan sebagian masyarakat pada protokol kesehatan.
Pekan ini, jumlah kasus COVID-19 di dalam negeri sudah menembus level 100.000 kasus. Laju penambahannya pun terkesan makin cepat dan terus membesar. Banyak yang mulai cemas karena belum jelas benar kapan kecenderungan seperti sekarang bisa dikendalikan.
Apalagi, klaster baru mulai bermunculan di sejumlah tempat. Di Jakarta, sepanjang pekan ini saja, sudah terdeteksi 613 klaster baru. Bahkan komunitas pekerja kantoran yang sebelumnya diasumsikan lebih prudent, justru juga menjadi klaster yang mencatatkan ratusan kasus baru.
Benar bahwa persentase jumlah pasien yang sembuh juga cukup besar. Tetapi, fakta itu tidak boleh menjadi alasan untuk menganggap remeh urgensi mematuhi protokol kesehatan.
Alasan pertama dan utama adalah virus corona (SARS-CoV-2) ini masih mewabah sehingga masih berpotensi menginfeksi atau menyakiti banyak orang, sekarang dan di kemudian hari.
Para ahli sekali pun tidak bisa menghitung durasi pandemi ini. Jika jumlah kasus terus bertambah, potensi kematian juga meningkat sebagaimana terjadi Amerika Serikat (AS) maupun Brasil. Kedua, klaim tentang vaksin penangkal virus ini oleh beberapa negara masih dalam tahap uji coba, sehingga belum akan tersedia untuk umum dalam jangka dekat.
Ketiga, karantina mandiri hingga penerapan protokol kesehatan menjadi cara yang cukup efektif menghindari penularan. Jika semua orang mematuhi protokol kesehatan, diyakini bahwa kasus COVID-19 bisa ditekan hingga jumlah terkecil, atau bahkan rantai penularannya bisa diputus. Kalau keduanya terwujud, kerja memulihkan semua aspek kehidupan praktis menjadi lebih mudah.
Semua orang tak perlu lagi takut berlebihan ketika berada di ruang publik, termasuk di kantor, kampus atau sekolah.
Keempat, keberhasilan menekan jumlah kasus COVID-19 tidak hanya menyehatkan dan menyelamatkan banyak orang, tetapi juga akan membentuk persepsi positif untuk negara-bangsa. Sekadar contoh pembanding, masyarakat Eropa kini membuat pembatasan bagi warga AS untuk berkunjung ke benua itu, karena persepsi tentang AS dalam konteks COVID-19 tidak begitu bagus.
Kendati pandemi COVID-19 masih akan berlangsung, semua elemen masyarakat tentu berharap persepsi komunitas global tentang Indonesia tidak akan seburuk seperti persepsi tentang AS atau Brasil.
Karena itu, kepatuhan pada protokol kesehatan sebaiknya jangan ditawar-tawar lagi. Kepatuhan pada protokol kesehatan akan memampukan semua orang menerapkan dan beradaptasi dengan pola hidup baru.
Hanya dengan pendekatan itulah masyarakat akan dimampukan menyiasati pandemi ini. Bukankah durasi pandemi COVID-19 belum bisa dihitung?
Namun, penerapan pola hidup baru itu sebaiknya tidak harus dipaksakan jika proses dan skala penularan COVID-19 masih seperti periode Juni-Juli 2020 sekarang ini. Masih adanya kelompok-kelompok masyarakat yang belum mematuhi protokol kesehatan menjadi dilema.
Mengacu pada pengalaman buruk Eropa dan kegagalan Amerika Serikat (AS) serta Brasil meredam penularan COVID-19, disarankan kepada semua pemerintah daerah untuk semakin bijaksana dan lebih mengutamakan aspek kehati-hatian dalam melonggarkan ketentuan pembatasan sosial atau menerapkan pola hidup baru.
Kalau pelanggaran protokol kesehatan masih marak sebagaimana terlihat pada sejumlah kota di Pulau Jawa, itu berarti pemerintah daerah masih gagal sehingga sebagian masyarakatnya belum berkesadaran penuh akan pentingnya mematuhi dan melaksanakan protokol kesehatan.
Maraknya pelanggaran protokol kesehatan masih terlihat di Jakarta dan sejumlah kota di Jawa Timur, dan kecenderungan itu tercermin dari lonjakan kasus baru di Jakarta maupun Jawa Timur. Jika ketidakpatuhan pada protokol kesehatan masih marak, lonjakan kasus baru COVID-19 seperti yang terjadi sekarang akan berkelanjutan.
Kecenderungan seperti itu sudah barang tentu akan membuat banyak orang takut dan ragu untuk menerapkan pola hidup baru di ruang publik. Lonjakan kasus baru yang berkelanjutan pun bisa berakibat fatal, sebagaimana terjadi di Eropa, AS hingga Brasil.
Sebagaimana dilaporkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Jumat (24/7), Eropa sedang mencatat peningkatan kasus COVID-19 dalam dua minggu terakhir. Dari sekitar 15 juta kasus COVID-19 di seluruh dunia, seperlimanya tercatat di Eropa dengan total kematian 207.118.
Lonjakan kasus di benua itu terjadi akibat kelalaian warga Eropa melaksanakan protokol kesehatan selama fase pelonggaran. Sejak pekan lalu, Prancis, Jerman, Austria dan Inggris mulai memperketat lagi pelaksanaan protokol kesehatan, utamanya penggunaan masker, serta menerapkan denda bagi siapa saja yang tidak mengenakan masker.
Sementara itu, dampak pandemi COVID-19 di AS dan Brasil bahkan lebih parah lagi.
Pekan lalu, AS sudah mencatatkan empat (4) juta lebih kasus dengan total kematian 144.167. Sedangkan Brasil sudah mencatat kasus 2,2 juta dengan total kematian 82.771. Dua negara ini sejak awal cenderung tidak percaya akan adanya pandemi COVID-19. Bahkan para pemimpinnya hanya bisa beretorika.
Dengan menghadirkan contoh-contoh itu beserta kecenderungannya, semua pemerintah daerah diharapkan lebih mengedepankan aspek kehati-hatian. Masyarakat harus terus menerus diajak dan didorong untuk patuh dan melaksanakan protokol kesehatan jika ingin menerapkan pola hidup baru.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa sudah mengakui bahwa penyebab lonjakan kasus COVID-19 di Jawa Timur adalah ketidakpatuhan sebagian masyarakat pada protokol kesehatan.
Di Jakarta pun kecenderungannya hampir sama. Aparatur Pemprov DKI sudah mencatat 27 ribu lebih kasus pelanggaran warga yang tidak menggunakan masker.
Fakta itu menjadi penanda bahwa Jakarta, Jawa Timur dan beberapa kota lainnya memang belum siap menerapkan pola hidup baru. Karena itu, jangan dipaksakan karena risikonya cukup besar.
*) Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI
Pasalnya, belum semua elemen masyarakat patuh pada protokol kesehatan. Fakta ini menjadi dilema untuk keinginan bersama beradaptasi dengan pola hidup baru.
Lonjakan kasus selama beberapa pekan terakhir menjadi bukti ketidakpatuhan sebagian masyarakat pada protokol kesehatan.
Pekan ini, jumlah kasus COVID-19 di dalam negeri sudah menembus level 100.000 kasus. Laju penambahannya pun terkesan makin cepat dan terus membesar. Banyak yang mulai cemas karena belum jelas benar kapan kecenderungan seperti sekarang bisa dikendalikan.
Apalagi, klaster baru mulai bermunculan di sejumlah tempat. Di Jakarta, sepanjang pekan ini saja, sudah terdeteksi 613 klaster baru. Bahkan komunitas pekerja kantoran yang sebelumnya diasumsikan lebih prudent, justru juga menjadi klaster yang mencatatkan ratusan kasus baru.
Benar bahwa persentase jumlah pasien yang sembuh juga cukup besar. Tetapi, fakta itu tidak boleh menjadi alasan untuk menganggap remeh urgensi mematuhi protokol kesehatan.
Alasan pertama dan utama adalah virus corona (SARS-CoV-2) ini masih mewabah sehingga masih berpotensi menginfeksi atau menyakiti banyak orang, sekarang dan di kemudian hari.
Para ahli sekali pun tidak bisa menghitung durasi pandemi ini. Jika jumlah kasus terus bertambah, potensi kematian juga meningkat sebagaimana terjadi Amerika Serikat (AS) maupun Brasil. Kedua, klaim tentang vaksin penangkal virus ini oleh beberapa negara masih dalam tahap uji coba, sehingga belum akan tersedia untuk umum dalam jangka dekat.
Ketiga, karantina mandiri hingga penerapan protokol kesehatan menjadi cara yang cukup efektif menghindari penularan. Jika semua orang mematuhi protokol kesehatan, diyakini bahwa kasus COVID-19 bisa ditekan hingga jumlah terkecil, atau bahkan rantai penularannya bisa diputus. Kalau keduanya terwujud, kerja memulihkan semua aspek kehidupan praktis menjadi lebih mudah.
Semua orang tak perlu lagi takut berlebihan ketika berada di ruang publik, termasuk di kantor, kampus atau sekolah.
Keempat, keberhasilan menekan jumlah kasus COVID-19 tidak hanya menyehatkan dan menyelamatkan banyak orang, tetapi juga akan membentuk persepsi positif untuk negara-bangsa. Sekadar contoh pembanding, masyarakat Eropa kini membuat pembatasan bagi warga AS untuk berkunjung ke benua itu, karena persepsi tentang AS dalam konteks COVID-19 tidak begitu bagus.
Kendati pandemi COVID-19 masih akan berlangsung, semua elemen masyarakat tentu berharap persepsi komunitas global tentang Indonesia tidak akan seburuk seperti persepsi tentang AS atau Brasil.
Karena itu, kepatuhan pada protokol kesehatan sebaiknya jangan ditawar-tawar lagi. Kepatuhan pada protokol kesehatan akan memampukan semua orang menerapkan dan beradaptasi dengan pola hidup baru.
Hanya dengan pendekatan itulah masyarakat akan dimampukan menyiasati pandemi ini. Bukankah durasi pandemi COVID-19 belum bisa dihitung?
Namun, penerapan pola hidup baru itu sebaiknya tidak harus dipaksakan jika proses dan skala penularan COVID-19 masih seperti periode Juni-Juli 2020 sekarang ini. Masih adanya kelompok-kelompok masyarakat yang belum mematuhi protokol kesehatan menjadi dilema.
Mengacu pada pengalaman buruk Eropa dan kegagalan Amerika Serikat (AS) serta Brasil meredam penularan COVID-19, disarankan kepada semua pemerintah daerah untuk semakin bijaksana dan lebih mengutamakan aspek kehati-hatian dalam melonggarkan ketentuan pembatasan sosial atau menerapkan pola hidup baru.
Kalau pelanggaran protokol kesehatan masih marak sebagaimana terlihat pada sejumlah kota di Pulau Jawa, itu berarti pemerintah daerah masih gagal sehingga sebagian masyarakatnya belum berkesadaran penuh akan pentingnya mematuhi dan melaksanakan protokol kesehatan.
Maraknya pelanggaran protokol kesehatan masih terlihat di Jakarta dan sejumlah kota di Jawa Timur, dan kecenderungan itu tercermin dari lonjakan kasus baru di Jakarta maupun Jawa Timur. Jika ketidakpatuhan pada protokol kesehatan masih marak, lonjakan kasus baru COVID-19 seperti yang terjadi sekarang akan berkelanjutan.
Kecenderungan seperti itu sudah barang tentu akan membuat banyak orang takut dan ragu untuk menerapkan pola hidup baru di ruang publik. Lonjakan kasus baru yang berkelanjutan pun bisa berakibat fatal, sebagaimana terjadi di Eropa, AS hingga Brasil.
Sebagaimana dilaporkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Jumat (24/7), Eropa sedang mencatat peningkatan kasus COVID-19 dalam dua minggu terakhir. Dari sekitar 15 juta kasus COVID-19 di seluruh dunia, seperlimanya tercatat di Eropa dengan total kematian 207.118.
Lonjakan kasus di benua itu terjadi akibat kelalaian warga Eropa melaksanakan protokol kesehatan selama fase pelonggaran. Sejak pekan lalu, Prancis, Jerman, Austria dan Inggris mulai memperketat lagi pelaksanaan protokol kesehatan, utamanya penggunaan masker, serta menerapkan denda bagi siapa saja yang tidak mengenakan masker.
Sementara itu, dampak pandemi COVID-19 di AS dan Brasil bahkan lebih parah lagi.
Pekan lalu, AS sudah mencatatkan empat (4) juta lebih kasus dengan total kematian 144.167. Sedangkan Brasil sudah mencatat kasus 2,2 juta dengan total kematian 82.771. Dua negara ini sejak awal cenderung tidak percaya akan adanya pandemi COVID-19. Bahkan para pemimpinnya hanya bisa beretorika.
Dengan menghadirkan contoh-contoh itu beserta kecenderungannya, semua pemerintah daerah diharapkan lebih mengedepankan aspek kehati-hatian. Masyarakat harus terus menerus diajak dan didorong untuk patuh dan melaksanakan protokol kesehatan jika ingin menerapkan pola hidup baru.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa sudah mengakui bahwa penyebab lonjakan kasus COVID-19 di Jawa Timur adalah ketidakpatuhan sebagian masyarakat pada protokol kesehatan.
Di Jakarta pun kecenderungannya hampir sama. Aparatur Pemprov DKI sudah mencatat 27 ribu lebih kasus pelanggaran warga yang tidak menggunakan masker.
Fakta itu menjadi penanda bahwa Jakarta, Jawa Timur dan beberapa kota lainnya memang belum siap menerapkan pola hidup baru. Karena itu, jangan dipaksakan karena risikonya cukup besar.
*) Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI