Surabaya (ANTARA) - Surat imbauan dari Pemerintah Provinsi Jatim tentang Shalat Idul Fitri 1 Syawal 1441 Hijriah yang hanya ditujukan untuk Masjid Nasional Al Akbar Surabaya disesalkan banyak pihak karena dianggap memberikan kelonggaran terhadap aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
"Ketika dulu masjid ditutup ditujukan kepada Masjid Al Akbar, tapi seluruh masjid disuruh ikut tutup. Pas giliran masjid dibuka, tapi suratnya ditujukan hanya pada masjid Al Akbar. Harusnya kalau khusus jangan disebar," kata anggota DPRD Surabaya dari Fraksi PKB, Badru Tamam di Surabaya, Ahad.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim tertanggal 14 Mei 2020 telah mengeluarkan surat bernomor 451/7809/012/2020 tentang Imbauan Kaifiat Takbir dan Shalat Idul Fitri. Surat itu mengacu pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 28 Tahun 2020 tanggal 13 Mei 2020 tentang panduan kaifiat takbir dan Shalat Idul Fitri saat pandemi COVID-19.
Badru menyayangkan adanya kebijakan itu karena di saat rakyat sudah mulai patuh dengan protokol kesehatan yang diterapkan pemerintah sebagai upaya mencegah penularan COVID-19, maka di saat itu juga keluar istilah relaksasi.
Politikus PKB ini mengatakan kebanyakan orang Indonesia jika diminta menerapkan sebuah aturan biasanya untuk pertama kalinya itu tidak mau menurut atau bandel. "Tapi kalau aturan itu sudah diterapkan secara konsisten, maka mereka akan patuh," katanya.
Hal sama juga dikatakan Ketua Muhammadiyah COVID-19 Command Center (MCCC) M. Arif An. Ia mengatakan dengan adanya surat imbauan tersebut, Pemprov Jatim dinilai sudah melanggar Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 18 tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Menurut dia, pada pasal 11 Pergub 11/2020, jelas disebutkan selama pemberlakuan PSBB di Surabaya Raya, dilakukan penghentian sementara kegiatan keagamaan di rumah ibadah dan/atau di tempat tertentu.
"Ini soalnya di Surabaya kalau dibiarkan tambah banyak. Saat ini kasus posoitif COVID-19 sudah mencapai angka 1.000. Bahkan rumah sakit rujukan sudah tidak bisa melayani karena overload," kata Arif An yang juga Sekretaris Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Surabaya.
Untuk itu, lanjut dia, pihaknya khawatir akan terjadi transmisi penularan COVID-19 terhadap para jamaah jika nantinya digelar Shalat Idul fitri.
Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur Heru Tjahjono sebelumnya mengatakan bahwa surat imbauan tentang Shalat Idul Fitri 1 Syawal 1441 Hijriah hanya ditujukan untuk badan pelaksanaan pengelola Masjid Nasional Al Akbar Surabaya.
"Surat itu hanya untuk Masjid Al Akbar yang saat pelaksanaan Shalat Id harus sesuai protokol kesehatan," ujar Heru.
Ia menyampaikan ada empat hal yang wajib dipenuhi panitia penyelenggara Shalat Idul Fitri di masjid terbesar di Jatim tersebut. Pertama, kata dia, panitia penyelenggara Shalat Idul Fitri harus memastikan untuk memperpendek bacaan shalat dan pelaksanaan ibadah.
Kedua, panitia penyelenggara wajib menyediakan tempat cuci tangan dengan sabun dan air mengalir bagi para jamaah. Ketiga, setiap jamaah wajib menggunakan masker, dan keempat, panitia wajib mengatur shaf dengan jarak 1,5 hingga 2 meter.*
"Ketika dulu masjid ditutup ditujukan kepada Masjid Al Akbar, tapi seluruh masjid disuruh ikut tutup. Pas giliran masjid dibuka, tapi suratnya ditujukan hanya pada masjid Al Akbar. Harusnya kalau khusus jangan disebar," kata anggota DPRD Surabaya dari Fraksi PKB, Badru Tamam di Surabaya, Ahad.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim tertanggal 14 Mei 2020 telah mengeluarkan surat bernomor 451/7809/012/2020 tentang Imbauan Kaifiat Takbir dan Shalat Idul Fitri. Surat itu mengacu pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 28 Tahun 2020 tanggal 13 Mei 2020 tentang panduan kaifiat takbir dan Shalat Idul Fitri saat pandemi COVID-19.
Badru menyayangkan adanya kebijakan itu karena di saat rakyat sudah mulai patuh dengan protokol kesehatan yang diterapkan pemerintah sebagai upaya mencegah penularan COVID-19, maka di saat itu juga keluar istilah relaksasi.
Politikus PKB ini mengatakan kebanyakan orang Indonesia jika diminta menerapkan sebuah aturan biasanya untuk pertama kalinya itu tidak mau menurut atau bandel. "Tapi kalau aturan itu sudah diterapkan secara konsisten, maka mereka akan patuh," katanya.
Hal sama juga dikatakan Ketua Muhammadiyah COVID-19 Command Center (MCCC) M. Arif An. Ia mengatakan dengan adanya surat imbauan tersebut, Pemprov Jatim dinilai sudah melanggar Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 18 tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Menurut dia, pada pasal 11 Pergub 11/2020, jelas disebutkan selama pemberlakuan PSBB di Surabaya Raya, dilakukan penghentian sementara kegiatan keagamaan di rumah ibadah dan/atau di tempat tertentu.
"Ini soalnya di Surabaya kalau dibiarkan tambah banyak. Saat ini kasus posoitif COVID-19 sudah mencapai angka 1.000. Bahkan rumah sakit rujukan sudah tidak bisa melayani karena overload," kata Arif An yang juga Sekretaris Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Surabaya.
Untuk itu, lanjut dia, pihaknya khawatir akan terjadi transmisi penularan COVID-19 terhadap para jamaah jika nantinya digelar Shalat Idul fitri.
Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur Heru Tjahjono sebelumnya mengatakan bahwa surat imbauan tentang Shalat Idul Fitri 1 Syawal 1441 Hijriah hanya ditujukan untuk badan pelaksanaan pengelola Masjid Nasional Al Akbar Surabaya.
"Surat itu hanya untuk Masjid Al Akbar yang saat pelaksanaan Shalat Id harus sesuai protokol kesehatan," ujar Heru.
Ia menyampaikan ada empat hal yang wajib dipenuhi panitia penyelenggara Shalat Idul Fitri di masjid terbesar di Jatim tersebut. Pertama, kata dia, panitia penyelenggara Shalat Idul Fitri harus memastikan untuk memperpendek bacaan shalat dan pelaksanaan ibadah.
Kedua, panitia penyelenggara wajib menyediakan tempat cuci tangan dengan sabun dan air mengalir bagi para jamaah. Ketiga, setiap jamaah wajib menggunakan masker, dan keempat, panitia wajib mengatur shaf dengan jarak 1,5 hingga 2 meter.*