Jayapura (ANTARA) - Butiran emas di lokasi pertambangan emas rakyat berada di tengah hutan Korowai, Papua menjadi tempat meraup rejeki dan memberikan hidup bagi warga nusantara  di tanah air.

Suku Korowai adalah suku yang baru ditemukan keberadaannya sekitar 30 tahun silam di pedalaman Papua. Suku terasing ini hidup di rumah yang dibangun di atas pohon biasa disebut rumah tinggi.

Ketinggian rumah yang dibangun di atas pohon itu bisa mencapai 50 meter dari permukaan tanah. Suku Korowai adalah salah satu suku di daratan Papua yang tak mengenakan koteka. 

Pertambangan emas di wilayah Korowai bermula dari pembukaan jalan trans Yahukimo-Oksibil. Jalan itu menghubungkan dua kabupaten, yakni Kabupaten Yahukimo dan  Pegunungan Bintang.

Proyek jalan itu dikerjakan oleh PT.Brantas dan PT.Mika sejak 2015. Jalan itu melewati sebagian wilayah Korowai. Excavator yang digunakan, saat mengeruk gunung sekitar Korowai, keluar butiran emas. 

Namun, bos dari PT.Brantas melarang karyawannya mengambil. Emas yang ditemukan dibiarkan. Proyek jalan terus berlanjut. Pada 2016, salah satu pengusaha bernama Ungge, mulai mencari tahu lokasi emas tersebut.

Ketika mencari tahu, Ungge bertemu dua warga Korowai, mereka adalah Yulius Wikira dan Lukas Yarik. Lukas lalu mengantar Ungge menunjuk lokasi  emas ditemukan. 

Kala itu, warga Korowai tak tahu cara mendulang emas, sehingga hanya sebagai penonton. Ungge memanfaatkan ketidaktahuan warga menguasai emas yang ditemukan. Bahkan, menyuruh warga lokal mendulang emas.

Nyaris dua tahun, Ungge mengeruk emas secara diam-diam. Pada 2017 ketahuan dari aparat kepolisian kalau emas yang dikeruk ilegal, akhirnya ia ditangkap Polisi.

Setelah penangkapan, Kapolda Papua kala itu dijabat oleh Irjen Pol Boy Rafli Amar beserta rombongan terbang dari Jayapura ke Boven Digoel untuk menemui masing-masing tuan dusun/pemilik lokasi pertambangan. 

"Waktu itu rombangan Polda Papua bertemu dengan kami tuan dusun, langsung tanya mana tuan dusun, setelah mereka sampaikan ke kami bahwa pertambangan emas ini ilegal sehingga harus ditutup," kata tuan dusun Mining 33, Ben Yarik.

Mining 33 adalah salah satu wilayah pertambangan dari sejumlah lokasi pertambangan. Sejak pertemuan dengan Polda, permintaan penutupan lokasi pertambangan ditolak oleh para tuan dusun.

Tuan dusun mempertahankan pertambangan itu agar tetap beroperasi. Lukas Yarik, salah tuan dusun, meminta kepada rombongan Polda, agar tidak ditutup. Jika ditutup maka harus membiayai tiap kepala keluarga sebesar Rp1 miliar per bulan.

Dari tuntutan itu, pihak Polda Papua meminta pembentukan tim untuk mengurus surat izin beroperasi pertambangan dari Gubernur Papua.

Pada 2018 tim yang dibentuk, lalu berangkat ke Jayapura, menemui Gubernur Papua, dan Dinas Tenaga Kerja provinsi. Pada 2019, Dinas Tenaga Kerja Provinsi Papua, meminta pembentukan koperasi untuk mengkoordinir aktivitas pertambangan. Koperasi yang dibentuk bernama Koperasi Senggaup Mining.

Aktivitas penambang

Sejak 2019, wilayah pertambangan itu mulai ramai. Penambang datang dari seluruh daerah di tanah air. Bahkan, semua suku di Indonesia ada di lokasi tambang emas  tersebut.

Maduk, salah satu warga asal jawa yang datang menambang, mengatakan warga yang datang tersebar di sejumlah titik pertambangan, di antaranya lokasi mining 33, rumah empat, mining 94, mining 84 dan mining 81. 
  Aktivitas pendulangan di Korowai (ANTARA/Musa Abubar) Lokasi pertambangan ini masuk Distrik Kawinggon, Kabupaten Pegunungan Bintang. Penambang membangun rumah tinggal ala kadarnya dengan beratap tenda, berdinding papan. Tidur beralas tenda dan karung.

Demi meraih sesuap nasi dan kelanjutan hidup keluarga, kata Maduk,  mereka bekerja menambang emas dari pagi hingga sore yakni pukul 08.00 WIT hingga pukul 18.00 WIT. 

"Pagi sampai sore masyarakat mendulang emas, malam harinya mereka mencari udang dan ikan di kali,"kata Hengki Yaluwo, Kepala Bidang Personalia Koperasi Senggaup Mining.

Kebanyakan penambang, membentuk kelompok untuk mendulang. Khusus di Mining 33, penambang mendulang emas di sepanjang sungai Orof, anakan sungai daeram.

Yohanis Nius Amikatum, salah satu warga Korowai mengatakan meski mendulang di sungai, warga tetap menjaga kebersihan sungai yang digunakan untuk kebutuhan masak dan minum serta mandi setiap harinya.

Masyarakat menjaga dan merawat alam sekitar areal pertambangan rakyat itu. Tidak memakai bahan merkuri untuk mencari emas. Tidak membuang sampah sembarangan ke sungai.

Modal wajan dan mesin alkon yang dipakai untuk mencari harta karung di lokasi itu. Mesin alkon dipakai untuk menarik material dari dalam air kemudian disaring lalu diisi kedalam wajan kemudian diaduk-aduk hingga tersisa butiran emas.

Barter emas 

Emas yang didapat wajib disetor ke pemilik lahan/tuan dusun. Jika tidak disetor maka dikeluarkan dari lokasi pertambangan. Tiap minggu pemilik/tuan dusun mendapat jatah 10 gram sampai 30 gram emas. Premi dusun terhitung sejak enam hari kerja.

Selain itu, emas juga dipakai untuk menukar bahan makanan. Nilai uang di lokasi pertambangan itu tak berlaku. Penambang barter barang dengan emas. 

Rokok surya besar satu bungkus di tukar dengan emas dua kaca, susu satu kaleng juga ditukar dengan emas dua kaca.Supermi satu karton di tukar dengan emas empat gram, lima bungkus supermi ditukar dengan emas dua kaca. 

Ikan kaleng Sarden yang kecil ditukar dengan emas dua kaca, sedangkan untuk ukuran yang besar ditukar dengan emas empat kaca. Garam satu bungkus ditukar dengan emas satu kaca, gula satu kilo ditukar dengan emas satu kaca, gula setengah kilo ditukar dengan emas dua kaca, kopi juga ditukar dengan emas dua kaca. 

Rokok satu bungkus ditukar dengan emas dua kaca, satu slop rokok ditukar dengan emas satu gram. Beras satu karung 25 kilo ditukar dengan emas 27 gram. Beras ukuran 10 kilo ditukar dengan emas empat gram.

"Itu barang yang paling murah. Barang yang paling mahal itu di handphone merk samsung dan oppo ditukar dengan emas 15 gram," kata Kepala Bidang Humas Koperasi Senggaup Mining, Oktovianus Madai.

Oktovianus mengatakan, emas juga ditukar dengan bahan bakar minyak (BBM). Minyak bensin 35 liter ditukar dengan emas delapan gram sampai 10 gram.

Sebelum ada pertambangan, warga Korowai tidak mengenal makanan yang dikonsumsi orang kota serta handphone. Mereka hanya makan pisang, ubi dan sayur.

Tapi, sejak ada pertambangan itu, pola hidup warga Korowai di lokasi itu berubah mengikuti trend. Setiap hari mengkonsumsi nasi, supermi, dan ikan sarden layaknya orang kota.

Mulai dari pemuda, orang tua lanjut usia (lansia) hingga anak-anak memegang handphone android, berbagai merk. Meski di tengah hutan, ada pemasangan wifi satelit berkat penukaran emas, sehingga bisa menelpon keluarga dan kerabat dengan menggunakan voucher internet yang juga ditukar dengan emas.

Berkat penjualan emas, pemilik dusun dan koperasi menyiapkan mesin genset. Kabel dan lampu dibeli oleh masing-masing penambang. Pada malam hari, lokasi pertambangan itu terang benderang, ibarat kota kecil di tengah hutan.

Meski kehidupan berubah seperti orang kota, namun tak ada pasokan minuman keras di daerah itu, tak ada bar dan karaoke di lokasi pertambangan.

Wilayah pertambangan itu masuk Kabupaten Pegunungan Bintang. Bupati Pegunungan Bintang Costan Otemka mengatakan penambangan itu sudah diusulkan tahun lalu untuk ditutup.

Tapi, urusan penutupan penambangan ini masuk kewenangan Pemerintah Provinsi Papua, lantaran lokasi itu berada di antara Kabupaten Boven Digoel, Pegunungan Bintang, Mappi, Yahukimo dan Kabupaten Asmat.

Melalui surat Gubernur Papua nomor 540/6583/SET tertanggal 9 Juni 2020  yang ditandatangani Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal, tentang penghentian aktivitas pertambangan rakyat karena COVID-19, dalam surat itu tertera memperhatikan laporan Bupati Boven terkait corona, disampaikan bahwa wilayah pertambangan itu sudah diajukan kepada Menteri ESDM RI untuk ditetapkan sebagai wilayah pertambangan rakyat (WPR) dan hingga saat ini masih dalam proses.

Yasminta Rhidian Wasaraka, aktivitas lingkungan mengatakan aktivitas pertambangan itu akhirnya membuat sungai daeram kabur. Erosi terjadi besar-besaran di sungai itu.

"Itu kan mempengaruhi pencarian masyarakat, artinya masyarakat yang tadinya giat di dusun kemudian makan ikan, sungainya tercemar," katanya.

Sebelum sungai daeram tercemar, bukan karena logam berat tetapi air menjadi kabur karena lumpur akibat aktivitas pertambangan itu, air sungainya jernih. Masyarakat bisa menyelam untuk mencari ikan, kini sudah tidak.

Pertambangan itu sebenarnya memotong salah satu mata pencaharian masyarakat Korowai.

"Jadi kemudian, mau nggak mau warga sudah tidak bisa makan ikan, berharap pancing pun tidak mungkin di daerah lumpur seperti itu.

Masyarakat di sekitar sungai daeram, mandi, cucinya di sepanjang sungai itu, tidak mungkin masyarakat mandi kali yang kotor itu lagi, ini mempengaruhi kesehatan masyarakat.

"Jadi, secara ekonomi sudah tidak bisa menangkap ikan, secara kesehatan mandi sungai yang sudah tidak lagi jernih," ujarnya.



 

Pewarta : Musa Abubar
Editor : Muhsidin
Copyright © ANTARA 2024