Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyebutkan setidaknya ada lima teladan Proklamator RI Soekarno yang patut ditiru oleh masyarakat Indonesia.
"Pertama, Bung Karno telah memberikan contoh bagi kita sebagaimana para pendiri bangsa dan pejuang bangsa di negeri tercinta, yakni pengkhidmatan, perjuangan, dan pengorbanan yang tanpa pamrih untuk Indonesia, baik sewaktu melawan penjajah maupun setelah Indonesia merdeka," kata Haedar dalam siaran persnya, di Jakarta, Selasa.
Bung Karno, lanjut dia, sampai harus dibuang ke Ende, Bengkulu, dan diasingkan ke berbagai tempat. Bahkan, Bung Karno pernah dipenjara di Bandung.
"Yang kedua, kita belajar dari Bung Karno adalah sosok yang bersahaja dan mencintai rakyat kecil. Sampai akhir hayatnya, kita kenal Bung Karno tidak punya harta dan materi, tetapi sejarah perjalanannya sangat mencintai rakyat kecil, lahir, dan batin," ungkapnya.
Menurut Haedar, konsep Marhaenisme adalah wujud dari pengkhidmatan Bung Karno untuk membela kaum lemah, duafa, dan rakyat jelata.
Haedar mengharapkan tindakan Bung Karno itu mengilhami para anak bangsa.
"Yang ketiga, kita belajar dari Bung Karno tentang sosok pemimpin yang cerdas, berilmu, berwawasan, dan bervisi kebangsaan yang melintas batas. Bung Karno adalah pembelajar yang selalu haus ilmu, belajar pada siapa pun, pada Tjokroaminoto, Kiai Dahlan, dan tokoh-tokoh lain yang menjadi rujukan dari sejarah perjalanannya di samping pada tokoh-tokoh dunia," paparnya.
Bung Karno, lanjut Haedar, gemar membaca dan visi kebangsaannya melampaui zaman. Bung Karno sosok yang mampu mengintegrasikan keagamaan, keislaman, dan kebangsaan atau keindonesiaan.
Menurut Haedar, ketika Piagam Jakarta kemudian dikompromikan, lalu lahir kesepakatan yang menjadi dasar dari Hari Konstitusi 18 Agustus 1945 tentang Pancasila, dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
"Ini adalah bukti Bung Karno adalah sosok yang selalu mencari titik temu tentang agama dan keindonesiaan yang merupakan keteladanan yang keempat," ujarnya.
Bahkan ketika mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 disebutkan Piagam Jakarta adalah menjiwai Undang-Undang Dasar 1945.
Dia menambahkan, Bung Karno betul-betul memberi teladan bahwa agama dan Islam bukanlah lawan dari keindonesiaan, kebangsaan. Namun, satu senyawa untuk Indonesia.
"Yang kelima kita belajar dari Bung Karno tentang kenegarawanan. Jiwa kenegarawanan Bung Karno melintas batas dan melampaui segalanya. Beliau mengutamakan kepentingan bangsa dan negara dari kepentingan diri dan kelompoknya," tambahnya.
Bahkan, Bung Karno berdialog dengan siapa saja dan tetap menjalin hubungan dengan mereka yang berpandangan politik berbeda.
Bung Karno menjadi sosok yang dalam saat-saat kritis menempatkan kepentingan rakyat dan bangsa di atas segalanya.
"Lima teladan ini di samping masih banyak teladan yang lainnya harus menjadi rujukan kita yang mengenang Bung Karno, mencintai Bung Karno, dan ingin meneruskan jejak Bung Karno sebagaimana tokoh-tokoh bangsa di republik tercinta ini. Bagaimana kita selalu berjuang tanpa pamrih bersahaja tanpa memupuk materi dan cinta rakyat kecil lahir dan batin dalam tindakan nyata," kata Haedar.
Dia meminta pihak-pihak yang mengenang Bung Karno saat ini, tidak hanya mengenal secara ritual, tetapi mengambil sari dari jejak langkah pria kelahiran 6 Juni 1901 itu.
"Pertama, Bung Karno telah memberikan contoh bagi kita sebagaimana para pendiri bangsa dan pejuang bangsa di negeri tercinta, yakni pengkhidmatan, perjuangan, dan pengorbanan yang tanpa pamrih untuk Indonesia, baik sewaktu melawan penjajah maupun setelah Indonesia merdeka," kata Haedar dalam siaran persnya, di Jakarta, Selasa.
Bung Karno, lanjut dia, sampai harus dibuang ke Ende, Bengkulu, dan diasingkan ke berbagai tempat. Bahkan, Bung Karno pernah dipenjara di Bandung.
"Yang kedua, kita belajar dari Bung Karno adalah sosok yang bersahaja dan mencintai rakyat kecil. Sampai akhir hayatnya, kita kenal Bung Karno tidak punya harta dan materi, tetapi sejarah perjalanannya sangat mencintai rakyat kecil, lahir, dan batin," ungkapnya.
Menurut Haedar, konsep Marhaenisme adalah wujud dari pengkhidmatan Bung Karno untuk membela kaum lemah, duafa, dan rakyat jelata.
Haedar mengharapkan tindakan Bung Karno itu mengilhami para anak bangsa.
"Yang ketiga, kita belajar dari Bung Karno tentang sosok pemimpin yang cerdas, berilmu, berwawasan, dan bervisi kebangsaan yang melintas batas. Bung Karno adalah pembelajar yang selalu haus ilmu, belajar pada siapa pun, pada Tjokroaminoto, Kiai Dahlan, dan tokoh-tokoh lain yang menjadi rujukan dari sejarah perjalanannya di samping pada tokoh-tokoh dunia," paparnya.
Bung Karno, lanjut Haedar, gemar membaca dan visi kebangsaannya melampaui zaman. Bung Karno sosok yang mampu mengintegrasikan keagamaan, keislaman, dan kebangsaan atau keindonesiaan.
Menurut Haedar, ketika Piagam Jakarta kemudian dikompromikan, lalu lahir kesepakatan yang menjadi dasar dari Hari Konstitusi 18 Agustus 1945 tentang Pancasila, dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
"Ini adalah bukti Bung Karno adalah sosok yang selalu mencari titik temu tentang agama dan keindonesiaan yang merupakan keteladanan yang keempat," ujarnya.
Bahkan ketika mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 disebutkan Piagam Jakarta adalah menjiwai Undang-Undang Dasar 1945.
Dia menambahkan, Bung Karno betul-betul memberi teladan bahwa agama dan Islam bukanlah lawan dari keindonesiaan, kebangsaan. Namun, satu senyawa untuk Indonesia.
"Yang kelima kita belajar dari Bung Karno tentang kenegarawanan. Jiwa kenegarawanan Bung Karno melintas batas dan melampaui segalanya. Beliau mengutamakan kepentingan bangsa dan negara dari kepentingan diri dan kelompoknya," tambahnya.
Bahkan, Bung Karno berdialog dengan siapa saja dan tetap menjalin hubungan dengan mereka yang berpandangan politik berbeda.
Bung Karno menjadi sosok yang dalam saat-saat kritis menempatkan kepentingan rakyat dan bangsa di atas segalanya.
"Lima teladan ini di samping masih banyak teladan yang lainnya harus menjadi rujukan kita yang mengenang Bung Karno, mencintai Bung Karno, dan ingin meneruskan jejak Bung Karno sebagaimana tokoh-tokoh bangsa di republik tercinta ini. Bagaimana kita selalu berjuang tanpa pamrih bersahaja tanpa memupuk materi dan cinta rakyat kecil lahir dan batin dalam tindakan nyata," kata Haedar.
Dia meminta pihak-pihak yang mengenang Bung Karno saat ini, tidak hanya mengenal secara ritual, tetapi mengambil sari dari jejak langkah pria kelahiran 6 Juni 1901 itu.