Jayapura (ANTARA) - Adalah Muhammad Rafli Setiawan, remaja berusia 13 tahun yang menjadi bagian dari kontingen DKI Jakarta itu menjadi atlet esport termuda di Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua.
Rafli, begitu panggilan akrabnya, mulai bermain Free Fire sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) saat dia berusia 11 tahun.
"Pertama sih saya lihat teman main game, saya jadi ingin main game," kata Rafli saat ditemui di Wisma Atlet Doyo Baru, Kabupaten Jayapura, yang masih berada pada satu kawasan arena hoki dan kriket yang menjadi tempat bertanding cabang olahraga eksibisi tersebut.
Salah seorang teman bermain Rafli yang bertempat tinggal tidak jauh dari rumahnya kemudian mengenalkan dia kepada teman-temannya yang lain. Dari situ lah terbentuk tim Free Fire yang dinamai Basreng.
Bersama tim Basreng, Rafli kemudian mulai memasuki dunia kompetitif pada 2019 dengan mengikuti beberapa turnamen offline tingkat komunitas.
Semakin serius dengan dunia esport, Rafli mulai memantapkan diri untuk menempati posisi sebagai rusher atau penyerang di timnya.
"Saya pernah melihat YouTuber menjadi rusher, setelah itu saya cara mainnya, saya latihan akhirnya saya suka. Di situ mulai atur strategi cara jadi rusher bagaimana, habis itu saya sudah mulai paham cara jadi rusher, akhirnya sampai saat ini masih jadi rusher," ujar Rafli.
Atlet esport perwakilan DKI Jakarta untuk nomor Free Fire, Muhammad Rafli Setiawan, berlatih di Wisma Atlet Doyo Baru, kabupaten Jayapura, Minggu (19/9/2021). (ANTARA/Arindra Meodia)
Berlaga di PON Papua
Memiliki usia yang tergolong lebih muda dari rata-rata para pemain esport lain, bahkan dari teman satu timnya sendiri, Rafli mengaku tidak pernah merasakan diskriminasi.
Rafli mengaku dapat mengimbangi kemampuan teman-temannya di yang memiliki usia jauh di atasnya, yakni Luthfan Aufa Faqih berusia 23 tahun dan Muladi Ahmad Yasin 20 tahun, termasuk Muhammad Haikal yang satu tahun di atasnya.
"Enggak disepelein, mereka kasih tahu aku kalau salah bagaimana. Kalau ada kesalahan-kesalahan pas main turnamen dievaluasi," kata Rafli menegaskan.
Kerja keras Rafli bersama tim yang melakukan latihan delapan jam sehari terbayarkan ketika lolos kualifikasi esport PON Papua tingkat provinsi, menjadi perwakilan DKI Jakarta untuk tim Free Fire.
Tidak hanya itu, tim tersebut bahkan mampu mengungguli provinsi-provinsi lain dalam gelaran Pra-PON dan lolos ke babak utama untuk terbang ke Papua bertanding secara offline.
"Senang bisa sampai sini bisa mewakili DKI Jakarta, latihan enggak sia-sia," ujar Rafli.
Menjadi pemain esport termuda di PON Papua juga tidak membuat Rafli gentar atau pun merasa ada beban untuk membuktikan kemampuannya.
"Main santai pokoknya musuh di depan hajar, mau lawannya sekeras apa intinya mah lawan dulu aja. Di dalam game semua sama," kata siswa SMP Negeri 181 Jakarta Pusat itu.
Namun, sebelum menginjakkan kakinya di tanah Papua, Rafli ternyata sempat terganjal restu orang tua.
Menjadi atlet esport di usia muda ternyata tidak mudah bagi Rafli, mengingat olahraga elektronik tersebut adalah cabang olahraga yang terbilang baru.
"Orang tua sih pertama marahin mulu, soalnya main game males-malesan, makan telat. Nah, kemarin pas tahu esport mewakili DKI Jakarta pertamanya enggak tahu apa itu esport, terus dijelasin sama ofisial DKI, akhirnya diizinin buat mewakili DKI Jakarta," ujar Rafli.
Kantongi restu orang tua
Restu orang tua tentunya menjadi hal terpenting bagi Pengurus Besar Esport Indonesia (PB ESI) untuk dapat membawa Rafli terbang lebih dari 3.400km dari rumahnya di Jakarta.
"Pasti namanya orang tua apalagi ini jauh di Papua ada kekhawatiran, bagaimana keselamatannya, kesehatannya, tapi pada akhirnya kita dapat meyakinkan orang tuanya juga," kata Ketua Kontingen Esport DKI Jakarta, Michael Eprafas.
Michael mengatakan PB ESI mengeluarkan surat rekomendasi yang menyebutkan bahwa Rafli sudah terpilih dan berhak mewakili DKI Jakarta, yang seharusnya menjadi suatu kebanggaan bagi orang tua karena anaknya yang berusia muda dapat berprestasi.
"Selanjutnya kita juga jelaskan kepada orang tua bahwa PON ini suatu cabang olahraga yang resmi, turnamen nasional yang sangat besar dan resmi didukung oleh pemerintah, dari segi kesehatan, protokol kesehatan juga ketat, dari segi keselamatan juga ketat," ujar Michael.
Tidak hanya orang tua, ESI DKI Jakarta juga mengeluarkan surat izin untuk sekolah agar Rafli, dan anak-anak usia sekolah lainnya dapat mengikuti pertandingan PON di Papua.
Rafli mengaku mendapat dukungan dari sekolah, juga semangat dari guru-gurunya untuk berlaga di PON Papua dan membawa pulang medali emas.
Meski telah menjadi atlet esport, Rafli tetap mengutamakan sekolah, "pendidikan nomor satu sih, harus belajar," ujar dia.
Dia juga tidak ragu lagi untuk melangkah menggapai cita-citanya.
"Pengen jadi pemain profesional, jadi juara dunia," pungkas Rafli.
Esport merupakan cabang olahraga yang baru pertama pertama kali pertandingkan di kejuaraan terbesar di Tanah Air meski baru sebatas eksibisi. Meski demikian kontingen DKI Jakarta tetap mengirimkan atlet terbaik demi meraih hasil maksimal termasuk melalui Muhammad Rafli Setiawan.
Rafli, begitu panggilan akrabnya, mulai bermain Free Fire sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) saat dia berusia 11 tahun.
"Pertama sih saya lihat teman main game, saya jadi ingin main game," kata Rafli saat ditemui di Wisma Atlet Doyo Baru, Kabupaten Jayapura, yang masih berada pada satu kawasan arena hoki dan kriket yang menjadi tempat bertanding cabang olahraga eksibisi tersebut.
Salah seorang teman bermain Rafli yang bertempat tinggal tidak jauh dari rumahnya kemudian mengenalkan dia kepada teman-temannya yang lain. Dari situ lah terbentuk tim Free Fire yang dinamai Basreng.
Bersama tim Basreng, Rafli kemudian mulai memasuki dunia kompetitif pada 2019 dengan mengikuti beberapa turnamen offline tingkat komunitas.
Semakin serius dengan dunia esport, Rafli mulai memantapkan diri untuk menempati posisi sebagai rusher atau penyerang di timnya.
"Saya pernah melihat YouTuber menjadi rusher, setelah itu saya cara mainnya, saya latihan akhirnya saya suka. Di situ mulai atur strategi cara jadi rusher bagaimana, habis itu saya sudah mulai paham cara jadi rusher, akhirnya sampai saat ini masih jadi rusher," ujar Rafli.
Berlaga di PON Papua
Memiliki usia yang tergolong lebih muda dari rata-rata para pemain esport lain, bahkan dari teman satu timnya sendiri, Rafli mengaku tidak pernah merasakan diskriminasi.
Rafli mengaku dapat mengimbangi kemampuan teman-temannya di yang memiliki usia jauh di atasnya, yakni Luthfan Aufa Faqih berusia 23 tahun dan Muladi Ahmad Yasin 20 tahun, termasuk Muhammad Haikal yang satu tahun di atasnya.
"Enggak disepelein, mereka kasih tahu aku kalau salah bagaimana. Kalau ada kesalahan-kesalahan pas main turnamen dievaluasi," kata Rafli menegaskan.
Kerja keras Rafli bersama tim yang melakukan latihan delapan jam sehari terbayarkan ketika lolos kualifikasi esport PON Papua tingkat provinsi, menjadi perwakilan DKI Jakarta untuk tim Free Fire.
Tidak hanya itu, tim tersebut bahkan mampu mengungguli provinsi-provinsi lain dalam gelaran Pra-PON dan lolos ke babak utama untuk terbang ke Papua bertanding secara offline.
"Senang bisa sampai sini bisa mewakili DKI Jakarta, latihan enggak sia-sia," ujar Rafli.
Menjadi pemain esport termuda di PON Papua juga tidak membuat Rafli gentar atau pun merasa ada beban untuk membuktikan kemampuannya.
"Main santai pokoknya musuh di depan hajar, mau lawannya sekeras apa intinya mah lawan dulu aja. Di dalam game semua sama," kata siswa SMP Negeri 181 Jakarta Pusat itu.
Namun, sebelum menginjakkan kakinya di tanah Papua, Rafli ternyata sempat terganjal restu orang tua.
Menjadi atlet esport di usia muda ternyata tidak mudah bagi Rafli, mengingat olahraga elektronik tersebut adalah cabang olahraga yang terbilang baru.
"Orang tua sih pertama marahin mulu, soalnya main game males-malesan, makan telat. Nah, kemarin pas tahu esport mewakili DKI Jakarta pertamanya enggak tahu apa itu esport, terus dijelasin sama ofisial DKI, akhirnya diizinin buat mewakili DKI Jakarta," ujar Rafli.
Kantongi restu orang tua
Restu orang tua tentunya menjadi hal terpenting bagi Pengurus Besar Esport Indonesia (PB ESI) untuk dapat membawa Rafli terbang lebih dari 3.400km dari rumahnya di Jakarta.
"Pasti namanya orang tua apalagi ini jauh di Papua ada kekhawatiran, bagaimana keselamatannya, kesehatannya, tapi pada akhirnya kita dapat meyakinkan orang tuanya juga," kata Ketua Kontingen Esport DKI Jakarta, Michael Eprafas.
Michael mengatakan PB ESI mengeluarkan surat rekomendasi yang menyebutkan bahwa Rafli sudah terpilih dan berhak mewakili DKI Jakarta, yang seharusnya menjadi suatu kebanggaan bagi orang tua karena anaknya yang berusia muda dapat berprestasi.
"Selanjutnya kita juga jelaskan kepada orang tua bahwa PON ini suatu cabang olahraga yang resmi, turnamen nasional yang sangat besar dan resmi didukung oleh pemerintah, dari segi kesehatan, protokol kesehatan juga ketat, dari segi keselamatan juga ketat," ujar Michael.
Tidak hanya orang tua, ESI DKI Jakarta juga mengeluarkan surat izin untuk sekolah agar Rafli, dan anak-anak usia sekolah lainnya dapat mengikuti pertandingan PON di Papua.
Rafli mengaku mendapat dukungan dari sekolah, juga semangat dari guru-gurunya untuk berlaga di PON Papua dan membawa pulang medali emas.
Meski telah menjadi atlet esport, Rafli tetap mengutamakan sekolah, "pendidikan nomor satu sih, harus belajar," ujar dia.
Dia juga tidak ragu lagi untuk melangkah menggapai cita-citanya.
"Pengen jadi pemain profesional, jadi juara dunia," pungkas Rafli.
Esport merupakan cabang olahraga yang baru pertama pertama kali pertandingkan di kejuaraan terbesar di Tanah Air meski baru sebatas eksibisi. Meski demikian kontingen DKI Jakarta tetap mengirimkan atlet terbaik demi meraih hasil maksimal termasuk melalui Muhammad Rafli Setiawan.