Jakarta (ANTARA) - Revolusi mental melawan korupsi bukan persoalan mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Sulitnya memerangi korupsi juga dapat dilihat dari definisi korupsi yang kompleks.
Batasan korupsi di setiap negara dapat berbeda sehingga dibutuhkan definisi hukum yang pasti untuk menentukan sesuatu tindakan termasuk korupsi.
Sebut saja sebuah pemberian tertentu, misal tips, di sebuah negara dapat dikatakan sebagai hadiah, tetapi di negara lain termasuk kategori korupsi. Di Amerika Serikat hampir semua rumah makan membolehkan tips diberikan pelanggan kepada pelayan bila pekerjaan pelayan dianggap memuaskan, tetapi sebaliknya di Jepang pelayan rumah makan dilarang menerima tips.
Di Indonesia lebih kompleks karena tergantung aturan dan kesepakatan rumah makan masing-masing. Bahkan ada rumah makan yang melarang tips untuk individu, tetapi membolehkan tips yang dikumpulkan secara kolektif.
Korupsi yang berasal dari bahasa Latin 'corruptio' secara harfiah bermakna kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, dan penyimpangan dari kesucian.
Definisi korupsi menurut Transparency International (TI) adalah perilaku pejabat publik, politikus, atau pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan kekuasaan, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Sedangkan definisi menurut hukum di Indonesia, sesuai pasal 30 di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, korupsi bisa dikategorikan menjadi 7 jenis, yaitu kerugian keuangan negara, penyuapan, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, kecurangan, benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan asa, serta gratifikasi.
Dari ketujuh jenis tersebut secara rinci terdapat 30 jenis tindak pidana korupsi. Sekadar contoh yaitu menyuap pegawai negeri, memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya, dan pegawai negeri menerima suap.
Di Malaysia istilah korupsi menggunakan kata 'resuah' yang berasal dari Bahasa Arab 'risywah' yang bermakna korupsi.
Semua ulama sepakat mengharamkan risywah serta termasuk dosa besar. Demikian pula konsep negara modern di berbagai belahan dunia melarang korupsi baik yang berupa suap maupun bentuk lain yang semakin berkembang karena merusak sendi-sendi bangsa.
Tidak ada konsep tunggal mencegah korupsi karena seringkali terjadi paradoks antara hal ideal dengan realita. Paling tidak terdapat 3 konsep yang dianggap ampuh mencegah perilaku koruptif.
Konsep pertama menyatakan untuk mencegah korupsi dibutuhkan undang-undang dengan hukuman sangat berat. Faktanya banyak negara yang undang-undangnya memberi hukuman sangat berat tetapi perilaku korupsi tetap merajalela.
Konsep kedua adalah pencegahan korupsi harus dilakukan dengan pendidikan moralitas seperti pendidikan agama kepada setiap anak bangsa, tetapi kenyataannya banyak negara dengan mayoritas penduduknya memegang teguh agama tetap saja korupsi berkembang.
Konsep terakhir adalah pencegahan melalui sistem, tetapi banyak juga negara yang mengembangkan sistem antikorupsi dapat diakali sehingga korupsi tetap berjalan.
Berdasarkan kenyataan tersebut, para pegiat antikorupsi sering menyatakan secara tegas bahwa setiap negara atau organisasi yang sedang terjebak dalam wabah korupsi di segala bidang tidak boleh hanya mengandalkan konsep tunggal untuk memerangi korupsi tetapi harus melihat konteks untuk mencari dan menemukan cara mencegah korupsi yang khas, yang boleh jadi berbeda dengan pengalaman negara lain yang telah sukses mencegah korupsi.
Bingkai tersebut penting dipahami para pejuang antikorupsi di Indonesia agar tidak putus asa dalam upaya terus menerus mencegah korupsi.
Indonesia juga dapat melihat model-model penanganan korupsi di negara lain seperti di Jepang dan Singapura yang terkenal sebagai negara dengan tingkat kejahatan korupsi yang rendah.
Survey Transparency Internasional pada tahun 2012 menempatkan Jepang sebagai negara dengan peringkat 3 terbaik di Asia sebagai negara yang bersih dari korupsi setelah memperoleh CPI (Coruption Perception Index) sebesar 74.
Indeks persepsi korupsi merupakan penilaian yang menggambarkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Perilaku pemerintah serta pegawai negeri yang sedang berkuasa merupakan cerminan dari masyarakat Jepang yang memiliki prinsip lebih baik mati daripada menanggung malu.
Prinsip Bangsa Jepang yang memegang teguh prinsip tersebut menyebabkan bila seorang pejabat melakukan kesalahan, termasuk korupsi, menimbulkan tekanan sosial yang tinggi.
Ketika seorang pejabat yang diduga melakukan kasus korupsi diberitakan media, maka pihak yang terlibat akan segera mengundurkan diri dari jabatan, meskipun belum tentu yang bersangkutan benar-benar korupsi untuk memperkaya pribadi.
Budaya tersebut membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah tetap terjaga sehingga indeks persepsi korupsi di Jepang tetaplah tinggi.
Yang menarik Jepang tidak memiliki undang-undang dan lembaga khusus untuk menangani korupsi. Semua tindak kejahatan korupsi ditangani dengan undang-undang pidana yang berlaku serta ditangani oleh kepolisian dan pengadilan di seluruh daerah tergantung dari skala kejahatan yang dilakukan.
Tingkat moralitas yang tinggi di Jepang merupakan hasil dari pendidikan karakter yang diajarkan sejak dini.
Pendidikan tersebut mendidik siswa mengenai kehidupan sehari-hari sejak bangun tidur hingga kembali tidur. Siswa sekolah dasar diajari tata-tertib di masyarakat seperti tata cara menyeberang jalan, tata cara naik kereta serta bersikap di dalam kereta, tata cara menggunakan eskalator. Mereka juga diajarkan bertanggung jawab dari hal yang paling kecil seperti membuang sampah di rumah, sekolah, dan ruang publik.
Demikian pula nilai-nilai seperti kejujuran untuk tidak mengambil harta milik orang lain meskipun berada di ruang publik tanpa pemiliknya.
Pendidikan tersebut disampaikan tidak hanya terbatas teori, tetapi melalui praktek dengan frekuensi tinggi dengan cara guru mengajak siswanya ke tempat umum dan mempraktikkannya. Praktek dengan frekuensi tinggi tersebut menyebabkan sikap tersebut terinternalisasi dalam setiap pribadi Bangsa Jepang termasuk malu berbuat korupsi.
Dengan kata lain pencegahan kejahatan korupsi berasal dari kesadaran pribadi yang telah terinternalisasi meskipun Jepang tidak memiliki peraturan perundang-undangan dan lembaga khusus untuk mengatasi korupsi.
Sebaliknya di Singapura, negara tersebut juga tergolong negara yang memiliki indeks persepsi korupsi tinggi di dunia, tetapi memiliki pendekatan yang berbeda dengan Jepang. Pemerintah Singapura selama kurun waktu kurang lebih 50 tahun telah membuktikan pemberantasan korupsi dengan cara menghukum pelaku korupsi dengan efektif tanpa memperhatikan status atau posisi seseorang.
Di Singapura praktik korupsi diawali dari kalangan birokrat. Para pejabat hingga pegawai negeri lazim melakukan praktik korupsi seperti suap-menyuap maupun bentuk lain yang lebih berat. Singapura kemudian kemudian membentuk badan khusus pemberantasan korupsi yang masih berada dalam institusi kepolisian.
Namun, masyarakat kehilangan kepercayaan kepada institusi tersebut karena seorang pejabat senior dari kepolisian terbukti menerima suap dari mafia candu sehingga kepolisian tidak dipercaya mampu mengatasi korupsi.
Berikutnya dibentuklah Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), lembaga pemberantasan korupsi yang independen. Meskipun awalnya CPIB bagian dari kepolisian, tetapi kemudian menjadi lembaga independen yang khusus menangani korupsi. Mirip dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia.
Perang melawan korupsi di Singapura tersebut berkat tekad kuat pemimpinnya Lee Kwan Yew yang memimpin langsung gerakan pemberantasan korupsi sejak berkuasa pada 1959. Lee mengumumkan perang melawan korupsi dengan semboyannya yang terkenal, “no one, not even top government officials are immuned from investigation and punishment for corruption.”
Akhirnya praktik korupsi di birokrasi semakin terkikis karena pemerintah bertekad kuat membangun negara yang bersih dari segala macam bentuk penyelewengan.
Kepercayaan masyarakat tumbuh sehingga masyarakat juga berperan aktif mencegah seperti melaporkan jika ada indikasi penyelewengan, termasuk para pejabat negara yang kehidupannya di luar kewajaran.
Pada konteks ini kejahatan korupsi, sejatinya menjadi minimal, bukan karena kesadaran pribadi tetapi karena ada takut pada hukum yang berlaku yang berasal di luar internal pribadi.
Ilustrasi sederhananya mirip dengan orang Singapura yang takut membuang sampah, meludah, atau merokok di tempat umum karena hukuman yang tidak dapat ditawar-tawar. Sebaliknya di Jepang orang malu untuk membuang sampah, meludah, atau merokok pada tempat yang bukan peruntukkannya.
Hubungan hukum yang lain dengan individu di kedua negara tersebut juga memiliki karakter yang sama: Jepang melalui pendekatan kesadaran individu, sementara Singapura melalui pendekatan sistem dan hukum.
Yang menarik adalah bila warga negara Indonesia berada di Jepang, karakter kesadaran di ruang publik dapat menular sehingga perilaku buruk di ruang publik pun berkurang kecuali karena belum tahu. Demikian pula warga negara Indonesia yang tinggal di Singapura untuk menetap atau sementara waktu juga dapat dengan segera patuh pada sistem dan hukum di Singapura sehingga menghindari perbuatan buruk di ruang publik.
Berkaca dari pengalaman tersebut Indonesia dapat mengkombinasikan cara pencegahan korupsi ala Jepang dan ala Singapura sepanjang dilakukan konsisten dan berkesinambungan. Pendidikan antikorupsi dapat diberikan sejak dari sekolah dasar secara teoritis maupun praktik, termasuk menghindari segala bentuk pungutan liar dan gratifikasi di tingkat sekolah sejak dari sekolah dasar hingga pendidikan tinggi.
Siswa diajari budaya malu melakukan segala macam tindak korupsi seperti yang tertera dalam norma masyarakat maupun norma hukum. Pendidikan tersebut dapat diintegrasikan dalam pelajaran agama maupun diintegrasikan dalam pelajaran lain seperti di Jepang.
Di sisi lain Indonesia juga dapat secara bersamaan mengadopsi cara Singapura mencegah korupsi melalui pemberantasan korups dan sistem hukum yang berlaku tanpa pandang bulu bila terbukti ada pejabat maupun pegawai negeri melakukan tindakan upaya memperkaya diri.
Tanpa pandang bulu maksudnya berlaku untuk setiap level kekuasaan negara dan bidang kekuasaan negara baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif termasuk pihak swasta yang berhubungan. Dengan tiga cara itu revolusi mental untuk mencegah korupsi dapat dilakoni.
*) Destika Cahyana, Ketua bidang penelitian dan pengkajian DPP GEMA Mathla'ul Anwar
Berita Terkait
Penjabat Bupati Jayapura ingatkan ASN jauhi korupsi di lingkungan kerja
Rabu, 11 Desember 2024 10:46
Polda lidik dugaan korupsi dana desa Lanny Jaya tahun 2017-2024
Senin, 9 Desember 2024 21:58
Kejati Papua kembali sita uang korupsi dana PON XX Rp4 miliar
Rabu, 4 Desember 2024 23:16
Indonesia Art Movement kampanyekan mencegah korupsi
Minggu, 27 Oktober 2024 12:56
Pemkot Jayapura minta kaum ibu ingatkan suami untuk tak korupsi
Sabtu, 26 Oktober 2024 8:28
Kapolri beri materi strategi pemberantasan korupsi Kabinet Merah Putih di retret
Jumat, 25 Oktober 2024 21:17
Kejati Papua amankan dana dugaan korupsi PON XX Rp6,4 miliar
Sabtu, 12 Oktober 2024 0:11
Pemkab Mimika mencanangkan zona integritas menuju wilayah bebas korupsi
Kamis, 3 Oktober 2024 14:42