Jayapura (Antara Papua) - Tradisi pembuatan gerabah di Kampung Kayu Batu, Distrik Jayapura Utara, Kota Jayapura, Papua, terancam punah karena pembuatnya menyisakan beberapa orang," kata staf peneliti Balai Arkeologi Jayapura Hari Suroto.
"Saat ini di Kampung Kayu Batu hanya, yang benar-benar terdata hanya tersisa satu orang mama pembuat gerabah dari Suku Pui, mungkin juga masih ada beberapa orang lainnya, tapi tradisi ini bakal punah jika tidak ada penerusnya," katanya di Jayapura, Rabu.
Gerabah dalam bahasa setempat disebut sempe. Pengetahuan membuat sempe merupakan warisan nenek moyang orang Kayu Batu, yaitu Suku Pui.
Pada zaman prasejarah hasil-hasil sempe dari Kayu Batu diperdagangkan ke beberapa daerah di pesisir utara Papua hingga Sarmi dan perbatasan Papua New Guinea (PNG).
"Sempe dibarter dengan kapak batu dan manik-manik. Selain penghasil sempe, terdapat juga mitos terkait keberadaan gerabah tersebut, yakni nenek moyang orang Suku Pui yang berasal dari tanah liat," katanya.
Pada setiap suku di antaranya Suku Pui, Makanuai Satu, dan Makanuai Dua, kata dia, dalam pembuatan sempe mempunyai motif tersendiri dengan gambar kadal dan buaya, Suku Makanuai Satu dengan gambar bentuk kerang laut motif gelombang, dan Suku Makanuai Dua gambar ikan.
"Pembuatan gerabah dilakukan oleh perempuan, baik proses pencarian bahan baku hingga proses pembentukan dan pembakaran. Tanah liat sebagai bahan baku diperoleh dari kebun yang tidak jauh dari Tanjung Suaja. Pasir halus didapatkan dari pesisir pantai Tanjung Suaja," katanya.
Sebelum proses pembuatan gerabah, kata dia, tanah liat yang diambil dari kebun didiamkan terlebih dahulu selama sekitar seminggu di lingkungan terbuka. Hal itu untuk mengurangi keasaman tanah.
Dalam proses pembuatannya, tanah liat diberi pasir laut halus sebagai campuran dan ditambah sedikit air guna membantu proses pembuatan adonan tanah liat.
"Gerabah bagian dasar dibuat dengan tangan, untuk bentuk selanjutnya, yaitu dinding dan badan dalam proses pembentukan dibantu oleh tatap pelandas. Pembentukan mulut dan tepian menggunakan tangan," katanya.
Dalam penyelesaian akhir, permukaaan luar gerabah dibuat dengan pemberian hiasan berupa motif kadal, ikan, atau kerang laut sesuai dengan suku yang ada atau pembuatnya.
"Guna mengurangi porositas gerabah, maka setelah selesai gerabah dibakar, permukaan luar gerabah digosok dengan buah bakau. Bentuk gerabah yang dihasilkan berupa tempayan yang berfungsi untuk menyimpan air," katanya.
Hari menyarankan tradisi pembuatan gerabah Kayu Batu perlu dilestarikan, agar tidak tergerus oleh wadah plastik. Hal itu perlu didukung oleh masyarakat Kayu Batu, dinas terkait, dan konsumen gerabah.
"Perlu dilakukan penelitian dan pendokumentasian yang mendetail dan lengkap tentang tradisi pembuatan gerabah di Kayu Batu," katanya. (*)
"Saat ini di Kampung Kayu Batu hanya, yang benar-benar terdata hanya tersisa satu orang mama pembuat gerabah dari Suku Pui, mungkin juga masih ada beberapa orang lainnya, tapi tradisi ini bakal punah jika tidak ada penerusnya," katanya di Jayapura, Rabu.
Gerabah dalam bahasa setempat disebut sempe. Pengetahuan membuat sempe merupakan warisan nenek moyang orang Kayu Batu, yaitu Suku Pui.
Pada zaman prasejarah hasil-hasil sempe dari Kayu Batu diperdagangkan ke beberapa daerah di pesisir utara Papua hingga Sarmi dan perbatasan Papua New Guinea (PNG).
"Sempe dibarter dengan kapak batu dan manik-manik. Selain penghasil sempe, terdapat juga mitos terkait keberadaan gerabah tersebut, yakni nenek moyang orang Suku Pui yang berasal dari tanah liat," katanya.
Pada setiap suku di antaranya Suku Pui, Makanuai Satu, dan Makanuai Dua, kata dia, dalam pembuatan sempe mempunyai motif tersendiri dengan gambar kadal dan buaya, Suku Makanuai Satu dengan gambar bentuk kerang laut motif gelombang, dan Suku Makanuai Dua gambar ikan.
"Pembuatan gerabah dilakukan oleh perempuan, baik proses pencarian bahan baku hingga proses pembentukan dan pembakaran. Tanah liat sebagai bahan baku diperoleh dari kebun yang tidak jauh dari Tanjung Suaja. Pasir halus didapatkan dari pesisir pantai Tanjung Suaja," katanya.
Sebelum proses pembuatan gerabah, kata dia, tanah liat yang diambil dari kebun didiamkan terlebih dahulu selama sekitar seminggu di lingkungan terbuka. Hal itu untuk mengurangi keasaman tanah.
Dalam proses pembuatannya, tanah liat diberi pasir laut halus sebagai campuran dan ditambah sedikit air guna membantu proses pembuatan adonan tanah liat.
"Gerabah bagian dasar dibuat dengan tangan, untuk bentuk selanjutnya, yaitu dinding dan badan dalam proses pembentukan dibantu oleh tatap pelandas. Pembentukan mulut dan tepian menggunakan tangan," katanya.
Dalam penyelesaian akhir, permukaaan luar gerabah dibuat dengan pemberian hiasan berupa motif kadal, ikan, atau kerang laut sesuai dengan suku yang ada atau pembuatnya.
"Guna mengurangi porositas gerabah, maka setelah selesai gerabah dibakar, permukaan luar gerabah digosok dengan buah bakau. Bentuk gerabah yang dihasilkan berupa tempayan yang berfungsi untuk menyimpan air," katanya.
Hari menyarankan tradisi pembuatan gerabah Kayu Batu perlu dilestarikan, agar tidak tergerus oleh wadah plastik. Hal itu perlu didukung oleh masyarakat Kayu Batu, dinas terkait, dan konsumen gerabah.
"Perlu dilakukan penelitian dan pendokumentasian yang mendetail dan lengkap tentang tradisi pembuatan gerabah di Kayu Batu," katanya. (*)