Jakarta (ANTARA) - Pemerintah memutuskan untuk melanjutkan moratorium pembentukan daerah otonom baru (DOB) di 2021, baik melalui pemekaran maupun penggabungan wilayah.
Selama ini, pemerintah menilai pembentukan DOB menambah beban bagi negara, khususnya secara finansial; karena hampir seluruh daerah baru, yang dibentuk berdasarkan kesepakatan pemerintah dan DPR, masih bergantung pada dana transfer dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dalam satu dekade, sejak 1999 hingga 2009, sebanyak 205 daerah baru terbentuk yang berimbas pada penambahan belanja negara lewat dana alokasi umum (DAU) hingga mencapai Rp47,9 triliun pada 2010.
Sementara itu, dalam kurun waktu 2007-2014, sebanyak 75 DOB terbentuk yang terdiri atas satu provinsi, 67 kabupaten dan tujuh kota.
Berdasarkan kajian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Juli lalu, sebagian besar pemerintah daerah tercatat belum dapat mandiri secara fiskal.
Dari 542 pemda, hanya satu kabupaten yang mencapai level “sangat mandiri” berdasarkan kajian BPK, yakni Kabupaten Badung di Provinsi Bali. Badung mampu mendanai lebih dari 80 persen belanja daerahnya dengan menggunakan pendapatan asli daerah (PAD).
Secara keseluruhan, realisasi belanja transfer ke daerah dan dana desa pada 2019 mencapai Rp812 triliun, yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus Fisik, Dana Alokasi Khusus Non-fisik, Dana Insentif Daerah, Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Dana Otonomi Khusus dan Dana Desa.
Dengan ketergantungan finansial yang cukup tinggi tersebut, Wakil Presiden Ma’ruf Amin, selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), mengatakan pemerintah masih akan melanjutkan moratorium pembentukan DOB.
Terlebih lagi, saat ini pemerintah sedang melakukan refocusing anggaran untuk penanganan pandemi COVID-19, sehingga kondisi fiskal negara kurang mencukupi untuk membiayai pembentukan daerah baru.
Selain itu, Pemerintah juga belum memiliki rencana besar atau grand design terkait penataan daerah, padahal rencana tersebut penting untuk memprediksi jumlah daerah yang ideal bagi Indonesia. Akibat dari ketiadaan rencana besar tersebut ialah pembentukan DOB yang tidak terkendali.
Usulan Pemekaran Selektif
Meskipun pemerintah telah memutuskan moratorium, usulan-usulan terhadap pembentukan DOB masih terus saja bermunculan.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sedikitnya menerima 300 usulan pembentukan daerah baru dari para kepala daerah. Yang terbaru, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bahkan telah menandatangani persetujuan pembentukan tiga calon daerah persiapan otonom baru berupa kabupaten, yakni Sukabumi Utara, Garut Selatan dan Bogor Selatan.
Sementara itu, DPD juga terus meminta pemerintah membatalkan moratorium pembentukan daerah baru.
DPD meminta agar pemerintah mengizinkan pembentukan DOB secara selektif, berdasarkan kebutuhan mendesak di masyarakat.
Wakil Ketua DPD Nono Sampono, pada Agustus lalu, meminta kepada Wapres Ma’ruf Amin untuk mempertimbangkan pembentukan daerah baru khusus di wilayah Papua, Papua Barat dan Kalimantan.
Nono mengatakan ketiga wilayah tersebut memiliki kebutuhan serupa sehingga perlu untuk dimekarkan, yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan dan area timur.
Ketua DPD La Nyalla Mattalitti juga ikut melancarkan lobinya kepada Wapres untuk membuka keran moratorium pembentukan daerah baru, antara lain empat provinsi baru yakni Kapuas Raya di Provinsi Kalimantan Barat, Bolaang Mongondow Raya di Provinsi Sulawesi Utara, Tapanuli Raya di Provinsi Sumatera Utara, serta Madura di Provinsi Jawa Timur.
La Nyalla menyebutkan beberapa faktor mendesak terhadap usulan pemekaran empat calon provinsi tersebut, yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, peningkatan pelayanan publik, perbaikan keadilan sosial dan budaya, serta pendistribusian kekuatan politik di daerah itu.
Politisasi pemekaran daerah
Pembentukan daerah baru bisa dikatakan belum berhasil karena alasan terkait fiskal. Selain itu, alasan politis juga menjadi penyebab gagalnya tujuan pembentukan daerah baru sebagai upaya pemerataan kesejahteraan di daerah.
Berdasarkan kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kebanyakan proses pemekaran daerah ditumpangi kepentingan elite lokal dengan dalih aspirasi masyarakat.
Salah satunya, LIPI mencatat usulan pemekaran Imekko di Sorong Selatan terindikasi adanya keterlibatan elite tertentu di daerah tersebut yang menggunakan isu pemekaran daerah untuk kepentingan Pilkada 2014.
Selain itu, unsur politis juga terlihat pada pemekaran Kabupaten Pesawaran dari Kabupaten Lampung Selatan.
Penyelenggaraan pemerintahan di daerah baru, yang pembentukannya kental dengan unsur politis, juga biasanya tidak berjalan efektif.
Persoalan pemerintahan yang muncul biasanya terkait kurangnya kapasitas manajemen pemerintah, rendahnya kualitas sumber daya manusia aparat pemda dan DPRD, minimnya sarana dan prasarana pemerintahan, buruknya pelayanan publik, rendahnya kesejahteraan masyarakat, serta minimnya kualitas demokrasi lokal.
Sejak 2015, pemekaran daerah dilakukan dengan tahapan pembentukan daerah persiapan yang diatur dalam peraturan pemerintah (PP). Pembentukan daerah persiapan tersebut didasarkan pada usulan dari gubernur kepada Pemerintah melalui Kemendagri, DPR maupun DPD.
Jangka waktu keberadaan daerah persiapan tersebut antara kurun waktu tiga hingga lima tahun, untuk kemudian dilakukan evaluasi sebelum diputuskan melalui sidang DPOD yang dipimpin Wakil Presiden.
Wapres Ma’ruf Amin pun telah menyatakan bahwa Pemerintah tidak akan mengakomodasi usulan pembentukan daerah baru pada APBN Tahun 2021.
Selain dependensi daerah pada pusat, kondisi keuangan negara saat ini masih diutamakan untuk penanganan pandemi COVID-19 dan pemerataan kesejahteraan melalui program-program sosial.
Kondisi kebijakan fiskal nasional saat ini sedang difokuskan untuk penanganan COVID-29 dan pemuilihan ekonomi nasional (PEN). Sehingga, Pemerintah masih melakukan analisa secara menyeluruh terhadap dampak dan kebutuhan anggaran dari daerah persiapan, kata Ma’ruf Amin.
Porsi PAD daerah yang masih sangat kecil dibandingkan dana transfer dari Pemerintah pusat juga menjadi pertimbangan untuk menunda pembentukan daerah baru.