Jayapura (ANTARA) - Koalisi 16 Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) menilai akses keadilan bagi perempuan di Papua hingga kini masih minim karena aparat penegak hukum dinilai belum serius menangani isu gender.
"Kami melihat hingga kini perempuan di Papua masih mendapatkan kekerasan, baik yang terjadi secara struktural maupun kultural," kata Koordinator Koalisi 16 HAKTP Novita Opki di Jayapura, Selasa.
Menurut Novita, peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada 10 Desember 2025 menjadi momentum untuk menyerukan pentingnya pengembalian ruang aman bagi perempuan Papua.
"Momentum itu juga sebagai pengingat bahwa perempuan Papua akan terus melawan segala bentuk kekerasan," ujarnya.
Menurut Novita, banyak perempuan Papua khususnya di daerah konflik semakin kehilangan ruang aman dan aktivitas setiap hari tidak lagi aman, karena kekerasan yang terus terjadi.
"Hingga Juni 2025 kami telah menerima laporan baik daring maupun luring tentang kekerasan yang terjadi terhadap perempuan Papua sebanyak 3.025 kasus," katanya lagi.
Dia menambahkan pada peringatan 16 HAKTP akan dilaksanakan kegiatan diskusi publik, temu wicara tentang keterlibatan laki-laki dalam perjuangan perempuan, dampak militerisme, pemutaran film dokumenter, dan pemaparan hasil survei kekerasan terhadap perempuan.
Aktivis Jaringan HAM Perempuan Papua Fien Jarangga mengatakan peringatan 16 HAKTP menjadi momentum penting bagi perempuan Papua menyatakan keberadaan dan memperjuangkan hak dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan ruang hidup, serta kebebasan sipil, karena dampak dari militerisme yang terjadi sejak 1960.
"Kami berharap kampanye ini tidak sebatas peringatan tahunan, tetapi negara harus membuka ruang bagi perempuan Papua dan memastikan perlindungan hukum," katanya.

