Jakarta (ANTARA) - National Chairman Indonesian Fashion Chamber (IFC) sekaligus pelaku industri fesyen tanah air, Ali Charisma mengatakan untuk dapat menarik pasar internasional maka para desaier harus membuat busana yang memiliki selera global meski menggunakan kain tradisional.
"Segera menggarap kain tradisional dengan taste yang lebih global. Itu tentunya bentukannya harus lebih sangat sederhana, anggap aja kayak baju yang ada di mall-mall Indonesia, brand-brand luar negeri itu di mana aja bisa survive karena taste-nya global," ujar Ali saat dihubungi ANTARA belum lama.
Ali mengatakan saat ini busana dengan kain tradisional lebih banyak dipakai oleh masyarakat Indonesia sendiri. Sebab, rata-rata konsep yang ditawarkan pun bukan busana siap pakai untuk sehari-hari, melainkan untuk acara tertentu saja.
Desainer bisa merancang busana dengan menggunakan motif kain tradisional, namun untuk potongan dan warnanya bisa mengikuti tren dunia saat ini.
"Kalau mau seperti itu, berarti kain tradisional Indonesia harus didesain dengan yang target pasar global tadi. Di Indonesia tentunya pasar global gede banget, orang yang hunting produk seperti itu banyak," kata Ali.
Ali berpendapat, sesungguhnya menggunakan motif tradisional yang di-print pada kain untuk dijadikan busana merupakan sebuah upaya dalam rangka mengejar pasar global. Yang terpenting, desainer tersebut tidak mengklaim bahwa busana buatannya merupakan produk asli.
"Anggap saja ada warna yang akan saya ikutin tapi saya menggunakan motif kawung atau motif apa tapi prosesnya bukan batik tapi print. Bukan berarti kita tidak mendukung para UKM," kata Ali.
"Untuk UKM yang menggunakan tenun dan batik tulis, itu yang limited, untuk secara ekonomis ini akan berat untuk dikejar menuju global, harga juga, konsistensi juga. Jadi menurut saya beda jika tujuannya untuk melestarikan budaya dengan meningkatkan ekonomi," lanjutnya.
Kain tradisional asli akan tetap memiliki penggemar dan pangsa pasar sendiri, khususnya kaum menengah atas dan para kolektor yang bersedia menunggu proses pembuatan hingga berbulan-bulan, bahkan membayarnya dengan harga yang tinggi.
Sedangkan untuk mengejar kelompok menengah bawah dan internasional, diperlukan sebuah inovasi khususnya dari sisi desain motif. Apalagi untuk membuat anak muda tertarik pada kain tradisional, desainnya pun harus kekinian.
"Ke depannya harus ada anak muda yang punya passion untuk membuat desain yang nantinya bisa didistribusikan ke pengrajin, pengrajin bener-bener dilatih untuk kreatif," ujar Ali.
Ali melanjutkan, "Harus ada wadah tertentu dari pemerintah atau apa yang meng-hire tekstil desainer atau tradisional desainer yang desainnya itu seirama dengan tren yang terjadi atau yang akan terjadi, jadi produk itu bisa dinikmati dan kekinian jadi tidak ketinggalan jaman."
"Segera menggarap kain tradisional dengan taste yang lebih global. Itu tentunya bentukannya harus lebih sangat sederhana, anggap aja kayak baju yang ada di mall-mall Indonesia, brand-brand luar negeri itu di mana aja bisa survive karena taste-nya global," ujar Ali saat dihubungi ANTARA belum lama.
Ali mengatakan saat ini busana dengan kain tradisional lebih banyak dipakai oleh masyarakat Indonesia sendiri. Sebab, rata-rata konsep yang ditawarkan pun bukan busana siap pakai untuk sehari-hari, melainkan untuk acara tertentu saja.
Desainer bisa merancang busana dengan menggunakan motif kain tradisional, namun untuk potongan dan warnanya bisa mengikuti tren dunia saat ini.
"Kalau mau seperti itu, berarti kain tradisional Indonesia harus didesain dengan yang target pasar global tadi. Di Indonesia tentunya pasar global gede banget, orang yang hunting produk seperti itu banyak," kata Ali.
Ali berpendapat, sesungguhnya menggunakan motif tradisional yang di-print pada kain untuk dijadikan busana merupakan sebuah upaya dalam rangka mengejar pasar global. Yang terpenting, desainer tersebut tidak mengklaim bahwa busana buatannya merupakan produk asli.
"Anggap saja ada warna yang akan saya ikutin tapi saya menggunakan motif kawung atau motif apa tapi prosesnya bukan batik tapi print. Bukan berarti kita tidak mendukung para UKM," kata Ali.
"Untuk UKM yang menggunakan tenun dan batik tulis, itu yang limited, untuk secara ekonomis ini akan berat untuk dikejar menuju global, harga juga, konsistensi juga. Jadi menurut saya beda jika tujuannya untuk melestarikan budaya dengan meningkatkan ekonomi," lanjutnya.
Kain tradisional asli akan tetap memiliki penggemar dan pangsa pasar sendiri, khususnya kaum menengah atas dan para kolektor yang bersedia menunggu proses pembuatan hingga berbulan-bulan, bahkan membayarnya dengan harga yang tinggi.
Sedangkan untuk mengejar kelompok menengah bawah dan internasional, diperlukan sebuah inovasi khususnya dari sisi desain motif. Apalagi untuk membuat anak muda tertarik pada kain tradisional, desainnya pun harus kekinian.
"Ke depannya harus ada anak muda yang punya passion untuk membuat desain yang nantinya bisa didistribusikan ke pengrajin, pengrajin bener-bener dilatih untuk kreatif," ujar Ali.
Ali melanjutkan, "Harus ada wadah tertentu dari pemerintah atau apa yang meng-hire tekstil desainer atau tradisional desainer yang desainnya itu seirama dengan tren yang terjadi atau yang akan terjadi, jadi produk itu bisa dinikmati dan kekinian jadi tidak ketinggalan jaman."