Pria kelahiran Pulau Doom, Sorong, Papua Barat pada 58 tahun lalu ini masih terlihat segar dan kuat dalam memimpin latihan tim Persipura Jayapura, di Stadion Mandala, Kota Jayapura, Papua.
Nama lengkapnya Marthen Mettusala Dwaramuri, yang kini berposisi sebagai asisten pelatih Persipura Jayapura sejak 2002, ketika itu "Mutiara Hitam" silih berganti pelatih, mulai dari Hengky Heipon, Nico Dimo, dan almarhum Sem
Palapessy.
"Waktu itu Persipura mau degradasi, sejumlah pelatih dipecat terus, saya diminta tangani Persipura sebagai asisten pelatih bersama dengan Abdon Rumambar dan tidak ada pelatih kepala," ujar suami dari Sofia Paulina Afasedanya ini, sembari mengaku sudah merasakan berbagai suka-duka mendampingi sejumlah pelatih Persipura, mulai dari Rudy Keltjes, Irvan Bhakti, Raja Isa, Ivan Kolev, dan Netto.
Mettu, sapaan akrabnya, juga masih bertahan di Persipura ketika tim kebanggaan warga Kota Jayapura itu ditangani pelatih asal Metro Lampung, Coach 'RD' Rahmad Darmawan yang memberikan gelar pertama Liga Indonesia pada 2005, lalu Jacksen F Tiago yang juga beri sejumlah tropi serta tiga gelar Liga Super Indonesia hingga Oswaldo Lessa, mantan pelatih fisik yang kini membesut Boaz TE Salossa dan kawan-kawan.
Olah raga sepakbola, dikenal Mettu sejak ia kecil. Pada umur 17 tahun ia sudah bergabung dengan klub lokal Jayapura yakni Remaja Taruna (Remtar) yang bermarkas di Lapangan SPN Deplad Kanan ketika dilatih oleh almarhum Gazper Sibi.
"Ketika itu Pak HB Samsi sedang menyeleksi sejumlah pemain-pemain muda Papua dan saya berhasil lolos masuk ke Remtar," kata bapak beranak tiga ini. Selama bergabung dua tahun dengan Remtar, Mettu mendapatkan sejumlah pengalaman sehingga mengantarkan dirinya masuk ke klub kebanggaannya
Persipura Jayapura bersama Rully Nere yang kini melatih timnas wanita Indonesia.
Mettu bergabung dengan Yakobus Mobilala dan kawan-kawan (Persipura), usai tim tersebut menjuarai Suharto Cup pada 1976 dan mewakili Indonesia ikut Kings Cup di Bangkok, Thailand.
Di Persipura, Mettu berperan sebagai gelandang kiri padahal di klub asal bermain sebagai stoper.
"Pada 1979 Persipura juara perserikatan dan lolos ke Divisi Utama setelah mengalahkan Persipal Palu denganskor 4-2 saat itu pelatihnya Hengki Heipon merangkap pemain," kata Mettu yang pernah menolak tawaran bermain di klub Niac Mitra Surabaya.
Dari situ, lanjut Mettu, ia berkesempatan main di Timnas pada kejuaraan Coca Cola Cup di Daka, Bangladesh. "Saat itu saya sudah sekolah di Ragunan bersama dengan Rismanto, I Wayan Diana dan Zulham Efendi. Di Ragunan saya juga bermain di PSSI Banteng," katanya.
Hal yang tidak dilupakan oleh ayahanda dari Gilbert Dwaramuri yang kini bermain di Persija Jakarta adalah masalah gaji yang tidak jelas. "Soal gaji, saat itu biayanya masih susah, beda dengan sekarang. Jadi waktu itu dari hati kita saja apakah mau benar-benar serius, kita main sepak bola jalani apa yang ada," kata pensiunan pegawai Dirjen Keuangan (KPKN) ini.
"Gaji diberikan saat ada TC. Itu pun tidak lebih dari Rp75 ribu dan tidak kurang dari Rp50 ribu. Jadi hanya TC saja, kalau tidak ada TC yah nanti pengurus yang cari-cari, waktu itu masih ada Urbinas (almarhum), Gazper (almarhum), dan Infandi yang cari uang," lanjutnya.
Selama berkostum merah hitam, Mettu mengaku pernah bermain bersama Yakobus Mobilala, Alberth Pahelerang, Hengky Rumere, Dominggus Rawar, Sergius Doom (almarhum), dan Jimmy Piters serta sejumlah pemain lainnya. "Saat juara pada 1979, kami dihadiahi sepeda motor A100. Kalau juara pada 1976, pemain-pemain Persipura mendapatkan hadiah motor CB Gelatik," ujarnya
mengenang kejayaan masa lalu.
Mengenai polemik sepakbola di Tanah air, dimana Menpora Imam Nahrawi membekukan PSSI hingga berujung pada penghentian Liga Super Indonesia QNB, Mettu berharap agar persoalan tersebut segera selesai dengan solusi yang bijak untuk kedua kubu.
"Harapan saya, persoalan kedua kubu cepat selesai, kita punya induk olahraga itukan PSSI dan Pemerintah yang mendukung. Ada baiknya mereka selesaikan, duduk bersama, bicara bagaimana kelanjutan olah raga sepak bola tanah air kita, supaya bagaimana kompetisi ini bisa berjalan, karena banyak tim-tim yang mau berprestasi juga," katanya.
Mettu yang mempunyai motto hidup 'Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena disitulah terpancar kehidupan', mengatakan cukup banyak persoalan pernah dihadapi tetapi hal itu perlu pembuktian lewat kerja.
"Iya, begini, kita kerja itu orang menilai dari apa yang kita lakukan. Tanggung jawab, kerja tidak macam-macam, tidak melukai pemain, melukai atau merugikan tim, yang penting kita lakukan yang benar," katanya.
Bagi pemain muda Papua dan juga yang sedang bermain di Persipura, Mettu mengatakan sepak bola merupakan salah satu kunci sukses untuk meraih dan menata masa depan sehingga perlu kerja keras, komitmen, dan loyalitas.
"Persipura ini sebagai suatu batu loncatan atau pintu meraih sukses di bidang olah raga sepak bola dan masa depan. Atau suatu tempat yang bisa menata diri. Disini banyak pemain muda, tinggal kemauan dari mereka saja bagaimana untuk mengembangkan diri sehingga bisa main di Timnas, keluar negeri atau mau di klub di luar negeri," katanya. (*)