Timika (ANTARA) - Rabu (26/9) pagi kondisi cuaca di Ilaga, ibukota Kabupaten Puncak dan kawasan sekitarnya yang berada di wilayah ketinggian Papua, terlihat cukup cerah.
Empat personel Basarnas Timika terdiri atas Yulius Oktovianus Silubun, Ivan Bayu Aji, Philipus Tepa dan Adrian N Wondiwoe lengkap dengan peralatan mountenerring sudah siap terbang dengan helikopter Bell SA-315 B Lama PK IWV milik PT Intan Angkasa Air menuju lokasi kecelakaan pesawat Twin Otter DHC6 PK CDC di kawasan pegunungan Distrik Hoeya, Kabupaten Mimika.
Pagi itu mereka menerima amanah dari pimpinannya untuk mengevakuasi jenazah empat korban kecelakaan pesawat Twin Otter PK CDC.
Ke-empat korban yakni Kapten Pilot Dasep Ishak Sobirin, Copilot Yudra, mekanik Ujang Suhendar, serta seorang penumpang atas nama Bharada Hadi Utomo, anggota Resimen II Koorps Brimob Polri yang baru mulai bertugas di Papua untuk melakukan kegiatan pengamanan di Kabupaten Puncak.
Mengingat kapasitas angkut helikopter Bell SA-315 terbatas, pengankutan personel Basarnas ke titik lokasi kecelakaan pesawat Twin Otter PK CDC harus dilakukan dua kali sorti penerbangan, setiap penerbangan hanya bisa mengangkut dua personel Basarnas.
Perjalanan dari Ilaga menuju lokasi kecelakaan pesawat Twin Otter PK CDC menggunakan helikopter ditempuh sekitar 15 menit.
Medan sangat terjal
Yulius Oktovianus Silubun yang biasa disapa Yongky selaku komandan regu menuturkan kondisi medan di lokasi jatuhnya pesawat Twin Otter PK CDC itu sangat terjal, berada pada ketinggian sekitar 4.558 meter di atas permukaan laut.
"Medan di sana memang sangat terjal. Jarak dari lokasi kami mendarat ke serpihan pesawat hanya sekitar 60 meter, tapi untuk menjangkau lokasi serpihan pesawat butuh waktu sekitar dua jam. Kami harus turun ke bawah, lalu naik dan turun lagi baru sampai di lokasi serpihan pesawat," kata Yongky menggambarkan ekstrimnya medan yang harus mereka lalui.
Mengingat kondisi medan tidak memungkinkan untuk pendaratan helikopter, personel Basarnas menggunakan teknik fast-roping (Fast Rope Insertion Extraction System) yaitu turun ke lokasi serpihan pesawat menggunakan bantuan tali.
Sebelum mengangkat jenazah para korban, terlebih dahulu personel Basarnas memasang tali carmantel untuk jalur evakuasi di tebing terjal bebatuan tersebut.
"Kami tiba di lokasi pukul 06.20 WIT. Lalu, kami membuat jalur evakuasi untuk bisa mengevakuasi jenazah para korban," kata Yongky.
Begitu sampai di lokasi serpihan pesawat, personel Basarnas terlebih dahulu mencari jasad para korban yang terpencar satu sama lain akibat kerasnya benturan pesawat saat menabrak tebing terjal di dekat lokasi itu.
Gerak cepat
Yongky menuturkan semua pekerjaan tersebut dilakukan dengan gerak cepat namun tetap hati-hati mengingat kondisi cuaca di lokasi itu cepat sekali berubah atau tertutup kabut.
"Kami memang sudah dilatih untuk melakukan penyelamatan dan pencarian korban di medan seperti itu. Kendala yang kami temui medannya sangat berat, kondisi cuaca cepat berubah sehingga kami harus berburu dengan waktu. Tapi syukurlah semua korban ditemukan," ujar Yongky.
Setelah semua jenazah korban dimasukkan dalam kantong jenazah, selanjutnya jenazah para korban dievakuasi ke Ilaga bersama personel Basarnas Timika.
Selanjutnya jenazah para korban dievakuasi ke Timika menggunakan penerbangan pesawat DHC6 PK CDJ milik PT Carpediem untuk dilakukan proses identifikasi oleh Tim DVI Polda Papua dan Mabes Polri bertempat di kamar jenazah RSUD Mimika.
Direktur Operasi Basarnas Brigjen TNI (Mar) Budi Purnomo terlihat antusias menyambut kedatangan empat personel Basarnas Timika saat tiba di Bandara Mozes Kilangin Timika pada Rabu (25/6) sekitar pukul 11.00 WIT usai sukses menjalankan misi kemanusiaan mengevakuasi jenazah para korban kecelakaan pesawat Twin Otter PK CDC.
"Sampai dengan hari ke-delapan operasi SAR, kita mengucap syukur kepada Tuhan karena telah selesai melaksanakan tugas pertama yaitu mengevakuasi korban ke Timika," kata Brigjen Budi.
Tertutup awan tebal
Menurut dia, pencarian pesawat Twin Otter PK CDC yang hilang kontak dalam penerbangan dari Timika menuju Ilaga pada Rabu (18/9) itu memakan waktu cukup lama karena kondisi cuaca di lokasi kecelakaan pesawat itu tidak mendukung lantaran selalu tertutup awan tebal disertai hembusan angin kencang hingga 30 knots.
"Sejak hari pertama hingga hari ke-empat baru bisa kita menemukan kepastian lokasi kecelakaan pesawat Twin Otter PK CDC. Selanjutnya hari ke-lima kami mengulangi pencarian untuk menentukan landing zone agar Tim SAR bisa diturunkan untuk mengevakuasi para korban," kata Brigjen Budi.
Selama operasi SAR tersebut, katanya, jajaran Basarnas Timika mendapat dukungan penuh dari jajaran TNI, Polri, Airnav, UPBU Mozes Kilangin, PT Freeport Indonesia dan sejumlah maskapai penerbangan lainnya di Timika.
Tim SAR dari jajaran TNI dan Polri (Koorps Brimob Polri) juga disiagakan di sekitar Kampung Mamontoga, Distrik Hoeya yang bertugas mendukung material logistik, peralatan komunikasi dan kesehatan serta pengamanan selama operasi SAR berlangsung.
Pencarian kotak hitam
Menurut pemilik Bintang Satu di jajaran Koorps Marinir TNI AL itu, masih ada tahapan tugas berikutnya yaitu mengevakuasi kotak hitam atau black box pesawat Twin Otter PK CDC dari lokasi kecelakaan.
Kotak hitam tersebut berisikan Voice Data Recorder/VDR dan Flight Data Recorder/FDR.
"Operasi SAR diperpanjang sampai hari Jumat (27/9). Kami dari Basarnas akan tetap membantu KNKT untuk menemukan dan mengevakuasi black box," katanya.
Adapun Investigator Komite Nasional Keselamatan Transportasi/KNKT Chaerudin mengharapkan kotak hitam (black box) pesawat Twin Otter DHC6-400 PK CDC yang jatuh di kawasan pegunungan Distrik Hoeya bisa segera ditemukan pada pencarian yang berlangsung Kamis (26/9) pagi ini.
Peralatan FDR dan VDR yang merekam penerbangan dan merekam semua pembicaraan di kokpit sangat penting untuk mengetahui penyebab pasti kecelakaan pesawat Twin Otter PK CDC.
Jika sudah ditemukan, peralatan tersebut akan dibawa ke Kantor KNKT di Jakarta untuk diunduh. Pengunduhan data yang tersimpan dalam peralatan blck box pesawat hanya membutuhkan waktu sekitar 1-2 jam, namun untuk menganalisisnya membutuhkan waktu yang cukup lama.
"Untuk download-nya hanya 1-2 jam selesai. Tapi untuk menerjemahkan apa yang ada di situ, itu butuh waktu. Peraturan internasional memberi waktu ke KNKT selama 12 bulan. Namun dalam banyak kecelakaan pesawat di tanah air sebelum 12 bulan sudah bisa kami selesaikan. Seperti saat kecelakaan pesawat Sukhoi bisa selesai dalam waktu delapan bulan, kecelakaan pesawat Air Asia pas 12 bulan. Ada yang enam bulan selesai, tapi tidak bisa hanya dalam waktu 1-2 bulan," kata Chaerudin.
Sehubungan dengan itu, Chaerudin menyatakan belum bisa menyimpulkan penyebab kecelakaan pesawat Twin Otter PK CDC pekan lalu itu.
"Kalau ditanya mengapa sampai terjadi kecelakaan pesawat ini, saya belum bisa jawab. KNKT bicara apa adanya," kata Chaerudin.
Adapun mengenai peralatan Emergency Locator Transmitter (ELT) pesawat Twin Otter PK CDC yang tidak mengeluarkan signal, Chaerudin mengatakan hal itu bisa terjadi lantaran peralatan tersebut rusak atau hancur atau antenanya terputus saat terjadi benturan.
Libatkan pendaki VRI
Untuk mencari dan menemukan kotak hitam pesawat Twin Otter PK CDC yang berisikan peralatan FDR dan VDR tersebut, Basarnas dan KNKT melibatkan dua orang pendaki gunung dinding tegak dari organisasi Vertical Rescue Indonesia/VRI yang khusus didatangkan dari Bandung.
Komandan Pangkalan TNI AU Yohanes Kapiyau Timika Letkol Penerbang Sugeng Sugiharto mengatakan pencarian kotak hitam pesawat dilakukan pada Kamis pagi ini masih menggunakan helikopter Bell SA-315 B Lama PK IWV milik PT Intan Angkasa Air.
"Untuk pengambilan black box akan menggunakan helikopter yang sama saat evakuasi jenazah para korban karena lokasinyapun sama. Setelah black box ditemukan akan digeser ke Ilaga dan selanjutnya akan digeser lagi ke Timika menggunakan penerbangan Twin Otter PK CDJ milik PT Carpediem," kata Letkol Sugeng.
Dengan selesainya evakuasi para korban, seluruh personel pendukung operasi SAR termasuk pasukan pengamanan Brimob yang ditempatkan di kampung Mamontoga telah diangkut kembali ke Timika.*
Menantang maut di pegunungan Papua demi evakuasi korban kecelakaan pesawat
Medan di sana memang sangat terjal. Jarak dari lokasi kami mendarat ke serpihan pesawat hanya sekitar 60 meter, tapi untuk menjangkau lokasi serpihan pesawat butuh waktu sekitar dua jam. Kami harus turun ke bawah, lalu naik dan turun lagi baru sampai