Jayapura (ANTARA) - Provinsi Papua terdiri atas sembilan kabupaten dan kota, yang rata-rata di daerah ini berpotensi terjadi bencana hidrometeorologi. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Papua harus memperkuat koordinasi, sosialisasi, dan konsolidasi bersama pemangku kepentingan terkait.
Bencana hidrometeorologi meliputi bencana alam yang disebabkan oleh siklus air, curah hujan, dan kaitannya dengan iklim dan cuaca.
Bencana alam yang sering terjadi di Provinsi Papua, yakni banjir, tanah longsor, gelombang laut, tsunami, gempa, serta angin puting beliung karena daerah-daerah tersebut berada di pesisir pantai. Di Kepulauan Yapen, Biak, Waropen, Keerom, dan Kota Jayapura, misalnya, sering terjadi banjir, sedangkan Jayapura berupa tanah longsor, lalu Kabupaten Sarmi dan Mamberamo Raya bencana gempa Bumi.
Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Yan Yap Ormuseray Papua menyebut memiliki sejumlah langkah terintegrasi, mulai dari merehabilitasi dan konservasi lahan dan air, melestarikan hutan, memelihara jaringan irigasi, mengedukasi masyarakat tentang menghemat penggunaan air, hingga penanaman pohon di sekitar lingkungan rumah.
“Kami sedang fokus merehabilitasi hutan dan lahan sebagai upaya penting mengatasi perubahan iklim di Bumi Cenderawasih,” katanya.
Penanaman bambu di Cagar Alam Cycloop, misalnya, guna mencegah tanah longsor di Kabupaten Jayapura. Penyelamatan Cagar Alam Cycloop merupakan konsep penyelamatan lingkungan komprehensif, bukan hanya menanam, melainkan juga menjaga dan merawatnya sehingga konsep rehabilitasi batas alam sebagai pendukung tata kelola hutan berkelanjutan di Provinsi Papua, terlihat jelas.
Selain itu menanam pohon mangrove untuk mencegah abrasi serta menjaga garis pantai di Provinsi Papua agar tetap stabil.
Pemulihan lingkungan mencakup kerja-kerja pencegahan, penanganan, dan pemulihan atau rehabilitasi dilakukan secara intensif, kontinu, dan konsisten.
Apalagi setiap kegiatan berhubungan dengan lingkungan pihaknya selalu melibatkan komunitas-komunitas tanam, baik dari masyarakat adat, gereja, masjid, perguruan tinggi, TNI, Polri, hingga kelompok pencinta alam.
Komitmen bersama menjaga lingkungan semua pihak di Provinsi Papua harus dipertahankan agar dampak bencana dapat diminimalisasi.
Di samping itu Pemprov Papua juga menyusun rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang menjadi panduan dalam pembangunan wilayah sehingga 90 persen hutan dapat dilindungi.
Pelibatan masyarakat adat sebagai penjaga hutan juga penting sebagai upaya memelihara keberlangsungan alam dan pelestarian hutan.
“Menjaga keberlangsungan ekosistem alam diperlukan perencanaan yang komprehensif,” ujarnya.
Oleh karena itu, Pemprov Papua menerbitkan larangan pengiriman kayu bulat keluar Papua. Tujuannya untuk mengendalikan penebangan kayu di wilayah setempat. Pemprov Papua pun meningkatkan program jasa lingkungan melalui ekowisata, agar masyarakat bisa menghasilkan uang dari menjaga hutan.
Pemerintah setempat juga memberikan pelatihan kepada masyarakat melalui hasil hutan bukan kayu (HHBK), seperti pengelolaan madu hutan, aneka olahan sagu, minyak kayu putih, mangrove, dan produk olahan lainnya.
Upaya yang sedang berlangsung saat ini yakni melakukan kajian terkait penyaluran dana kompensasi karbon kepada masyarakat yang telah menjaga hutan.
Dengan begitu dampak dari risiko tersebut dapat dikendalikan karena dari hulu hingga hilir bisa tertangani baik berkat kerja sama seluruh instansi dan pemangku kepentingan.
Budaya sadar bencana
Pelaksana Tugas (Plt ) Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Barkah Wisnu Raditya mengatakan budaya sadar bencana merupakan salah satu upaya untuk meminimalisasi dampak bencana alam.
Dengan meningkatkan budaya sadar bencana maka setiap warga dapat menjaga lingkungan rumah masing-masing serta mampu mengenali ancaman alam yang ada di sekitarnya.
Peningkatan budaya sadar bencana ini memang harus menjadi perhatian pemprov, pemkab, dan pemkot dengan mengalokasikan anggaran dan SDM yang memadai agar program tersebut berhasil.
Sosialisasi mitigasi dan dampak bencana harus pula dapat dipahami sepenuhnya setiap warga masyarakat.
Masyarakat harus mampu mengenali ancaman bencana dan memahami risiko bencana. Sebab penanggulangan bencana merupakan urusan bersama.
Kesiapsiagaan merupakan upaya mengantisipasi dan merespons ancaman bencana. Namun, yang perlu dibangun masyarakat sejak dini adalah kesadaran terhadap ancaman bencana di sekitar mereka.
Kesiapsiagaan warga mengantisipasi bencana menentukan besar kecilnya dampak bencana yang akan terjadi. Selain itu masyarakat harus memiliki kemampuan bertahan dan membangun kembali kehidupannya setelah terkena bencana sehingga kesiapsiagaan harus dimulai dari individu, keluarga, dan masyarakat itu sendiri.
Perlu kelompok kerja
Pemerhati lingkungan Yehuda Hamokwarong menilai kolaborasi Pemerintah, swasta, perguruan tinggi, dan masyarakat harus terjalin dengan baik sehingga diperlukan suatu wadah atau forum bersama menangani bencana alam.
Forum tersebut nantinya membahas dan menyusun panduan pencegahan dan mitigasi agar warga bisa mengeliminasi dampak bencana secara maksimal tanpa ada korban.
“Yang saya lihat belum ada forum atau kelompok kerja yang mendiskusikan tentang alam atau mencari solusi bersama untuk penanganan banjir dan kekeringan karena dua hal ini saling berkaitan sehingga butuh kerja keras lintas sektor,” kata dosen Universitas Cenderawasih itu.
Semua elemen wajib terlibat di dalamnya karena cakupan sasarannya luas, misalnya, PUPR membangun drainase yang baik karena sistem saluran ini punya peran besar dalam mendistribusikan air. Masyarakat pun wajib menjaga lingkungan, begitu pula pihak swasta.
Sebagai ekosistem, banjir dan kekeringan ini memiliki keterkaitan meski untuk wilayah Papua sendiri yang paling sering terjadi yakni bencana hidrometeorologi.
Oleh karena itu, pemerintah daerah harus melakukan revisi RTRW agar lebih ramah lingkungan, terutama pada dokumen kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).
Dokumen tersebut harus dikerjakan oleh pihak berkompeten yang menguasai permasalahan banjir sehingga ini bisa menjadi panduan dalam pembangunan.
Tentu saja dalam penyusunan dokumen itu harus pula menyerap kepentingan dan aspirasi publik, termasuk masyarakat adat setempat.
Editor: Achmad Zaenal M