Jayapura (Antara Papua) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (Apik) Papua menyatakan, penyelesaikan kasus kekerasan anak di Provinsi Papua sebagian besar masih melalui jalur adat sehingga tidak memberikan efek jera pada pelaku.
Direktur LBH Apik Papua Bethsie Pesiwarissa, di Jayapura, Selasa, mengatakan, dalam setahun terakhir, pihaknya mengadvokasi tiga hingga empat kasus kekerasan seksual kepada anak, di mana satu sudah masuk ke pengadilan dan sisanya diselesaikan secara adat.
"Jika diselesaikan menggunakan hukum maka prosesnya akan panjang dan tidak berubah-ubah sehingga pelaku akan dihukum sesuai dengan perbuatannya," katanya.
Bethsie menjelaskan, biasanya jika diselesaikan dengan menggunakan cara adat maka hanya diberlakukan denda sebagai ganti rugi atas kekerasan yang dilakukan pada anak-anak.
"Dengan membayar denda sejumlah uang atau barang, maka tidak memberikan jaminan bahwa pelaku tidak akan melakukan kekerasan pada anak lagi," ujarnya.
Dia menuturkan, penegakan hukum pada pelaku kekerasan anak di Papua jika menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak sudah dapat memberikan efek jera, sayangnya hal tersebut belum maksimal dilaksanakan.
"Dalam pantauan LBH Apik, sebenarnya ada peningkatan jumlah kasus kekerasan pada anak, namun kasus-kasus tersebut tidak banyak yang terungkap," katanya lagi.
Dia menambahkan untuk itu ke depannya, pemerintah harus lebih mengoptimalkan lagi upaya pemberian sosialisasi kepada masyarakat mengenai penyelesaian dan penegakan hukum bagi pelaku kekerasan pada anak. (*)