Timika (Antara Papua) - Rohaniawan Katolik Pastor Bert Hogenboorn OFM menegaskan bahwa eksploitasi kawasan hutan secara besar-besaran untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit sangat mengancam kelangsungan dan masa depan hutan Papua.
Pastor Hogenboorn saat berbicara kepada Antara di Timika, Senin, mengatakan melihat gejala kerusakan hutan Papua sama seperti yang terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan.
Dulu kawasan hutan di Sumatera dan Kalimantan sangat luas dan menjadi paru-paru dunia.
Saat ini luas hutan Sumatera dan Kalimantan tinggal beberapa persen karena sudah "disulap" menjadi area perkebunan kelapa sawit.
"Kalau dikatakan masyarakat Papua membakar hutan untuk buat kebun, saya sama sekali tidak percaya. Saya lebih cenderung menduga bahwa ada pihak lain yang dengan sengaja membakar hutan dan mungkin di kemudian hari mereka membutuhkan lahan itu untuk perkebunan kelapa sawit dan agrokultur lainnya," kata Pastor Hogendoorn.
Misionaris yang sudah berpuluh-puluh tahun berkarya di Papua semenjak 1971 itu mengatakan budaya masyarakat Papua tidak pernah membakar hutan sehingga hutan Papua masih tetap awet.
Namun kasus kebakaran hutan di wilayah Kabupaten Merauke dan Mappi tahun ini yang telah memicu bencana kabut asap hingga wilayah Provinsi Maluku dipertanyakan sebab-musababnya.
"Pada umumnya masyarakat Papua kalau membuka kebun menggunakan parang dan kapak untuk menebang kayu. Kalau dikatakan bahwa masyarakat membakar hutan untuk membuka lahan itu sama sekali tidak sesuai dengan tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun pada masyarakat Papua," katanya.
Kasus kebakaran hutan terbesar di Papua, katanya, pernah terjadi pada akhir 1970-an di wilayah Kabupaten Paniai.
Akibat dari kebakaran hutan di Paniai pada saat itu, katanya, Bandara Nabire ditutup berhari-hari lantaran gangguan kabut asap tebal.
Dengan kondisi kabut asap sudah terjadi lebih dari satu bulan dan dampaknya meluas ke sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat bahkan hingga ke Maluku, Pastor Hogenboorn meyakini kebakaran lahan dan hutan di wilayah Kabupaten Merauke dan Mappi pada 2015 ini jauh lebih dahsyat.
Ia berharap sikap konsisten Pemda di Papua untuk mau melestarikan hutan di wilayah itu.
"Kalau mau melestarikan hutan, pemerintah harus bertindak cepat. Saya belum melihat ada upaya nyata dan sungguh-sungguh dari Pemda untuk melestarikan hutan Papua. Saya ragu akan hal itu," kata Pastor Hogendoorn yang juga aktif terlibat dalam kampanye masalah HIV-AIDS dan lingkungan itu.
Menurut dia, ada banyak oknum pemerintah yang lebih mementingkan keuntungan jangka pendek daripada berupaya melestarikan hutan yang manfaatnya baru akan dirasakan dalam jangka panjang.
Dengan sikap-sikap seperti itu, katanya, kini para pejabat Pemda-pemda di Papua kini banyak memberikan rekomendasi dan izin pendirian perkebunan kelapa sawit dan agrokultur yang memberi keuntungan dari aspek finansial kepada daerah maupun kantong-kantong pribadi oknum-oknum pejabat tersebut.
Sejumlah daerah yang kini mengembangkan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar di Papua seperti di Kabupaten Keerom, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Nabire, Kabupaten Mimika dan lainnya. (*)