Timika (ANTARA) - Sebanyak 32 orang mahasiswa Papua yang beberapa waktu lalu eksodus dari studi mereka di Pulau Jawa, Sening siang telah kembali ke Salatiga, Jawa Tengah.
Para mahasiswa itu berangkat dari Bandara Mozes Kilangin Timika menuju Semarang menggunakan penerbangan Sriwijaya Air, setelah terlebih dahulu transit di Makassar.
Raymond Nirigi, selaku senior para mahasiswa Papua di Jawa Tengah, mengatakan pemulangan 32 mahasiswa Papua itu ke kota studi mereka di Salatiga sepenuhnya atas dukungan dari para senior dan keluarga-keluarga.
Seharusnya terdapat 45 mahasiswa yang kembali ke Semarang, namun beberapa orang diantaranya membatalkan pemberangkatan meski tiket penerbangan sudah disiapkan.
"Seharusnya hari ini ada 45 orang mahasiswa yang berangkat ke Salatiga. Mereka sudah tiga kali bolos (tidak kuliah) semester ini sehingga harus segera kembali ke tempat kuliah. Kami sudah berkomunikasi dengan pihak universitas (Universitas Kristen Satya Wacana/UKSW) bagaimana caranya agar adik-adik kita ini bisa diterima kembali untuk untuk melanjutkan perkuliahan," kata Raymond.
Ia mengatakan kepulangan para mahasiswa Papua dari berbagai kota studi ke Papua beberapa waktu lalu terjadi setelah adanya kasus penghinaan rasis yang menimpa sejumlah mahasiswa di Kota Surabaya dan Malang.
Setelah kembali ke Timika, para mahasiswa tersebut membangun Posko di depan Kantor Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme/Lemasa, Timika Indah.
Selama beberapa bulan sejak September-Oktober hingga sekarang ini, katanya, perhatian dari Pemprov Papua, Pemkab Mimika, Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro/LPMAK dan PT Freeport Indonesia sebagai penyandang program beasiswa sama sekali tidak ada.
"Ada enam orang rekan kami yang meninggal, delapan orang sudah berkeluarga, 20-an orang lainnya sekarang pengangguran dan hidup terlantar di Timika. Para pemimpin yang ada di provinsi, kabupaten sampai pelosok-pelosok tolong perhatikan generasi muda ini karena masa depan Papua ada di tangan mereka," kata Raymond.
Para mahasiswa Papua, katanya, sungguh menyadari bahwa melalui pendidikan Papua bisa terbangun dari kondisi kemiskinan, ketertinggalan, dan segala macam keterbelakangan yang terjadi hingga kini.
"Beberapa orang dan para orang tua yang anak-anaknya eksodus datang ke posko menekan kami para senior untuk segera mengembalikan anak-anak mereka ke kota studi. Makanya kami berupaya keras bagaimana caranya mendapatkan biaya untuk membeli tiket penerbangan. Syukurlah hari ini kami bisa mendapatkan 45 tiket penerbangan agar adik-adik ini segera kembali ke kota studi mereka," ujar Raymond.
Raymond menegaskan para mahasiswa tidak mau dipolitisasi oleh kepentingan-kepentingan apapun dari pihak manapun.
"Kami tidak mau diintervensi oleh pihak manapun. Kami sudah jadi korban, sudah banyak yang meninggal dan terlantar. Kami tidak mau hanya menjadi penonton di atas tanah kami, tapi kami harus jadi pelaku untuk bersaing dengan orang lain. Satu-satunya jalan hanya melalui pendidikan," ujarnya.