Jakarta (ANTARA) - Ratap duka, kesedihan, takut dan cemas yang tak berujung, mengisi hari-hari setiap orang di berbagai belahan bumi sepanjang tahun 2020.
Setiap hari dan nyaris tanpa kecuali, semua komunitas terdorong menyimak jumlah kematian dan lonjakan jumlah kasus COVID-19.
Data-data itu menjadi bukti betapa ancaman nyata yang mematikan dari musuh beridentitas virus SARS-CoV-2 itu terus mengintai, dan memaksa setiap individu harus menerapkan perlindungan diri maksimal agar tidak terinfeksi COVID-19.
Menuju akhir 2020, situasi di sejumlah negara tidak bertambah baik, termasuk juga di Indonesia.
Lonjakan kasus baru COVID-19 nyaris sulit dikendalikan. Inggris, Prancis, Jerman dan beberapa negara lain di Eropa bahkan sudah dalam fase antisipasi gelombang ketiga penularan virus corona.
Tidak ada pesta Natal 2020, pun tidak ada pesta Tahun Baru 2021 karena sebagian negara di Eropa menerapkan lockdown yang ketat. Situasi di Amerika Serikat (AS) juga tak jauh beda kendati program vaksinasi sudah dijadwalkan.
Terhitung sejak 12 Maret 2020 saat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan virus corona sebagai pandemi global, hingga Rabu (23/12), data worldometer menyebutkan bahwa total kasus COVID-19 di seluruh dunia tercatat 78.481.916, dengan total kematian 1.726.632 dan jumlah pasien yang sembuh 55.245.821 kasus.
Di dalam negeri, kasus COVID-19 juga terus bertambah. Hingga Rabu (23/12), total kasus menjadi 685.639 orang karena tambahan sebanyak 7.514 kasus baru pada hari itu.
Sedangkan total pasien sembuh tercatat 558.703 orang, sementara total kematian akibat COVID-19 di Indonesia tercatat 20.408 orang, terhitung sejak diumumkannya kasus pertama pada 2 Maret 2020. Puluhan ribu keluarga Indonesia berduka cita sepanjang tahun ini akibat COVID-19.
Maka, tahun 2020 yang akan berakhir dalam hitungan hari tak hanya bertutur tentang krisis kesehatan global, tetapi juga bercerita tentang tragedi kemanusiaan.
Setiap orang yang kini masih sehat dan bugar menjadi saksi mata dari tragedi kemanusiaan itu.
Melihat dan mencatat begitu banyak kematian, merasakan kesedihan karena kerabat atau kawan yang tertular COVID-19, dan hanya bisa prihatin melihat anak-anak dan remaja menjalani kehidupan mereka yang tidak dinamis akibat pembatasan sosial. Bahkan ibadah keagamaan berjamaah pun harus dihindari.
Derita hidup tak hanya dirasakan pasien atau keluarga yang kehilangan kerabat karena tak tertolong akibat infeksi COVID-19, puluhan juta orang lainnya juga merasakan hal yang sama karena kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan.
Pembatasan sosial untuk memutus rantai penularan COVID-19 tak hanya merusak sendi-sendi perekonomian, tetapi juga memaksa dimatikannya mesin-mesin ekonomi.
Hampir semua kegiatan produktif terhenti. Daya rusak COVID-19 memang luar biasa. Teknologi kekinian sekalipun tak mampu mencegah kerusakan itu, sehingga perekonomian dunia dan juga ekonomi Indonesia pun masuk zona resesi.
Manusia nyata-nyata dibuat tak berdaya, dan hanya bisa menyaksikan kerusakan itu sambil bertahan atau isolasi mandiri agar tidak terinfeksi virus corona.
Kendati begitu, selalu muncul kesadaran dan semangat untuk tidak membiarkan kehidupan terhenti. Untuk menolong mereka yang lemah dan miskin, negara "all out" memberi perlindungan sosial.
Negara harus menunda sebagian besar rencana kegiatan produktif 2020, karena harus dilakukan realokasi anggaran untuk membiayai perlindungan sosial.
Dari total pagu anggaran Rp234,33 triliun, realisasi perlindungan sosial telah mencapai Rp207,8 triliun atau 88,9 persen hingga akhir November 2020.
Pemulihan Ekonomi
Melalui Satuan Tugas (Satgas) Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pemerintah juga berupaya menjaga daya tahan sektor bisnis. Untuk klaster insentif dunia, dialokasikan anggaran Rp120,6 triliun.
Hingga November 2020, penyerapannya mencapai Rp44,29 triliun atau 36,7 persen. Khusus pembiayaan korporasi, baru terserap Rp2 triliun atau 3,2 persen dari pagu Rp62,2 triliun.
Alokasi anggaran untuk klaster UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) tercatat Rp114,81 triliun, dan realisasinya sudah mencapai Rp96,61 triliun atau 84,1 persen.
Satgas PEN juga mengalokasikan anggaran untuk menyokong sektor pendidikan yang menerapkan proses pembelajaran jarak jauh, serta menjaga kesejahteraan tenaga pendidik, utamanya komunitas guru dan dosen Non-PNS atau honorer.
Semua upaya ini, selain menggambarkan penderitaan banyak orang yang tidak terinfeksi COVID-19, juga menjadi penjelasan tidak langsung tentang adanya ragam kerusakan akibat Pandemi COVID-19.
Walaupun terbilang sangat mahal, inisiatif negara memberi perlindungan sosial, merawat sektor kesehatan dan pendidikan hingga insentif bagi sektor bisnis dan UMKM harus direalisasikan untuk dua tujuan yang ideal dan strategis, yakni merawat dan memastikan kehidupan tetap berlanjut, dan dengan stabilitas nasional yang tetap terjaga kendati kehidupan segenap warga bangsa masih berselimut pandemi COVID-19.
Rampungnya uji coba vaksin corona dan persiapan vaksinasi di beberapa negara memang memberi harapan.
Namun, kesedihan dan takut akan pandemi COVID-19 dipastikan berlanjut setidaknya hingga paruh pertama 2021 akibat ketidakseimbangan antara kapasitas produksi vaksin corona dengan kebutuhan dunia.
Dengan mengacu pada total populasi dunia yang 7,8 miliar jiwa, minimal dibutuhkan 16 miliar dosis vaksin corona. Sedangkan kapasitas produksi global hingga 2021 diperkirakan hanya 8,4 miliar dosis.
Kebutuhan riil minimum Indonesia akan vaksin corona juga cukup besar. Dengan jumlah penduduk Indonesia mencapai 268,5 juta jiwa, maka kebutuhan riil minimum akan vaksin corona adalah 350 juta dosis vaksin.
Asumsinya, 70 persen dari total penduduk Indonesia harus dua kali disuntik vaksin corona agar tercapai target kekebalan komunitas atau herd immunity.
Menuju penghujung 2020 ini, pemerintah baru mengamankan 270 juta dosis vaksin dari sejumlah produsen. Walaupun tidak mudah, semua pihak berharap pemerintah mampu memenuhi kebutuhan minimum itu.
Jelas bahwa ini bukanlah pekerjaan yang mudah karena vaksin corona kini menjadi produk kesehatan yang sangat dibutuhkan dan diperebutkan oleh semua negara.
Semua pihak pasti berharap agar target minimal dari vaksinasi --atau terhadap 70 persen penduduk-- harus terwujud.
Mengapa? Karena pencapaian itu akan membangkitkan kepercayaan diri masyarakat, sekaligus menjadi modal dasar bersama untuk segera bekerja memulihkan perekonomian keluar dari zona resesi.
UU Cipta Kerja
Selanjutnya, dengan diundangkannya RUU Cipta Kerja, Indonesia memiliki modal tambahan untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi.
Hadirnya UU Cipta Kerja mencerminkan keberanian negara, karena diundangkan pada masa-masa sulit akibat pandemi COVID-19.
Pemulihan ekonomi dan semua aspek kehidupan bersama sangat bergantung pada sukses program vaksinasi itu. Karena itu, partisipasi semua elemen masyarakat menyukseskan program vaksinasi menjadi sangat penting.
Apalagi, pemerintah sudah memutuskan pemberian hak vaksinasi kepada semua orang, tanpa kecuali dan tidak dipungut biaya alias gratis.
Sambil menunggu jadual vaksinasi, semua pemerintah daerah diharapkan segera menyosialisasikan program ini, dan memastikan kalau vaksinasi di daerah masing-masing nantinya akan berjalan dengan baik dan mencapai target.
Semua beban persoalan tahun 2020, utamanya ancaman COVID-19 dan dampak resesi ekonomi, masih akan menyelimuti kehidupan semua elemen masyarakat Indonesia setidaknya hingga sepanjang paruh pertama 2021.
Kendati sudah muncul harapan akan membaiknya keadaan berkat hadirnya vaksin corona, kewaspadaan dan kepatuhan pada protokol kesehatan (prokes) harus tetap terjaga.
Sejarah tentang pandemi global telah membuktikan bahwa tragedi kemanusiaan yang disebabkan oleh penularan virus seperti SARS-CoV-2 sekarang ini, pada waktunya nanti akan melemah dan tragedi sekarang ini akan berakhir.
Catatan tentang tragedi kemanusiaan akibat penularan flu Spanyol yang mematikan pada 1918 dinyatakan berakhir pada 1920. SARS-CoV-2 bisa saja akan tetap ada, tetapi akal budi manusia akan mampu melumpuhkan keganasan virus ini.
Tetaplah memupuk harapan. Selamat Tahun Baru 2021.
*) Bambang Soesatyo adalah Ketua MPR RI