Timika (ANTARA) - Kegiatan ekspor kepiting bakau dari Timika ke negara tetangga Singapura dan Malaysia akhir-akhir ini cukup tersendat lantaran terjadinya perubahan rute penerbangan pesawat Garuda Indonesia yang sebelumnya melalui jalur Denpasar-Jakarta ke jalur Makassar-Jakarta.
Pimpinan UD Putri Desi Timika Hartati kepada Antara di Timika, Minggu, mengatakan selama masa pandemi COVID-19 kegiatan ekspor kepiting bakau ke Singapura tetap berjalan, hanya saja tidak selancar sebelumnya.
"Kami tetap ekspor, tapi jalannya tersendat-sendat. Ini lebih disebabkan karena penerbangan terlalu lama, yang seharusnya paling lama 12 jam sudah sampai di pembeli di Singapura, tapi sekarang bisa sampai 36 jam. Dengan kondisi seperti itu, kami kesulitan melakukan ekspor, kecuali dalam keadaan terpaksa, dalam arti pembeli di Singapura menghendaki barang dikirim saja meskipun lama," jelas Hartati.
Selama 2021 ini, UD Putri Desi hanya empat sampai lima kali mengekspor kepiting bakau ke Singapura, dimana terakhir kegiatan ekspor dilakukan pada Oktober lalu sebanyak 150 kilogram.
Padahal sebelumnya sejak 2016, UD Putri Desi bisa melakukan ekspor kepiting bakau hampir setiap hari ke Singapura dan Kuala Lumpur, Malaysia, dengan jumlah 1 sampai 2 ton kepiting bakau per hari.
Hartati menceritakan sebelum pandemi COVID-19, kepiting bakau dari Timika dikirim melalui penerbangan pesawat Garuda ke Denpasar dan selanjutnya bertukar pesawat untuk dibawa langsung ke Singapura.
"Dulu pesawat Garuda dari Timika ke Denpasar jam 10 pagi. Begitu sampai di Denpasar tukar pesawat dan sampai di Singapura sekitar jam 7 malam. Jadi, waktunya tidak sampai 10 jam. Tapi sekarang pesawat Garuda yang melalui rute Makassar tiba malam di Jakarta. Barang baru bisa dibawa ke Singapura melalui penerbangan esok sore harinya jam 4 atau jam 5 sore. Jadi, waktu tempuh di perjalanan bisa sampai 36 jam," jelasnya.
Dengan waktu tempuh yang sangat lama di perjalanan itu, kualitas kepiting bakau yang diespor akan menurun lantaran tingkat kematian kepiting selama perjalanan bisa di atas 10 persen.
"Kalau kepiting yang kami kirim angka matinya di atas 10 persen maka pembeli di Singapura yang pusing karena mereka di sana susah untuk pembuangan limbahnya," ujar Hartati.
Menurut dia, kepiting bakau yang diekspor ke Singapura kebanyakan berukuran 700 gram hingga 1-2 kilogram per ekor. Sementara untuk tujuan ekspor Malaysia kebanyakan permintaannya yang berukuran 300 gram hingga 500 gram.
Kepiting bakau setelah tiba di Singapura dibeli seharga Rp280.000 per kilogram, sementara jika dikirim ke Malaysia dihargai Rp210.000-Rp220.000 per kilogram.
Hartati berharap rute penerbangan dari Timika ke Denpasar bisa dibuka lagi secara rutin agar kegiatan ekspor kepiting bakau dari Timika bisa kembali bergairah.
Saat ini potensi kepiting bakau Timika berasal dari wilayah pesisir barat Kabupaten Mimika mulai dari Amar hingga Potowayburu dan juga pesisir timur Mimika hingga ke Asmat.
Sebagian lagi kepiting bakau tersebut didatangkan dari Dobo, Kepulauan Aru, Maluku.
"Kalau kepiting dari Dobo lebih cepat dikirim ke Timika dengan kapal karena waktu tempuhnya hanya 18 jam, sementara ke Ambon waktu tempuhnya bisa 38 jam," kata Hartati.