Jakarta (ANTARA) - Akhir November 2015 adalah titik awal bagi Made Ery Mertha Aryawan yang harus meninggalkan zona nyamannya untuk terbang ke Oksibil, Papua, mengabdikan diri sebagai petugas pengatur lalu lintas penerbangan (ATC) Perum Lembaga Penyelenggara Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) atau Airnav Indonesia.
Tidak lama bagi pria asal Bali itu untuk memenuhi panggilan tugas di Oksibil setelah menamatkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug, Tangerang.
Oksibil merupakan Ibu Kota Kabupaten Pegunungan Bintang, di mana jaraknya hanya 30 kilometer jika ditarik garis lurus ke perbatasan Papua Nugini. Oleh karena itu puls, Oksibil masuk dalam kategori wilayah Terluar, Terdepan dan Tertinggal (3T).
Bukan hal mudah bagi Made untuk melakukan tugas pertamanya sebagai ATC di Papua yang wilayahnya dikelilingi pegunungan ditambah dengan perubahan cuaca yang sangat cepat.
“Tantangan terberat itu cuaca, itu 'musuh' kita, di mana kondisi cuaca tidak bisa ditebak dan dalam hitungan menit sudah berubah,” ujarnya.
Ditambah dengan kondisi bandara yang dikelilingi gunung setinggi 10.000 hingga 15.000 kaki dan hanya ada satu sisi sebagai “pintu” untuk mendarat dan lepas landas membuat penerbangan di Oksibil sangat menantang.
Made menceritakan pengalamannya saat memandu Pesawat Pilatus berkapasitas sembilan penumpang yang kesulitan saat akan mendarat karena tertutup kabut sekitar dua bulan lalu.
Pesawat tersebut sempat berputar di atas langit karena tidak menemukan celah untuk mendarat dan berbahaya apabila dalam keadaan holding terlalu lama bisa menghabiskan bahan bakar.
Kemudian, pilot menghubungi menara ATC untuk meminta bantuan pemanduaan pendaratan pesawat karena dalam penerbangan menggunakan visual, pilot baru benar-benar melihat ground contact untuk bisa mendarat.
“Dengan Bahasa Inggris standar internasional yang saya pelajari, saya arahkan pilot ke Barat Daya karena di situ ada celah hole blue sky, langsung menurunkan ketinggian dan mendarat dengan selamat,” ujarnya.
Dari pengalaman itu, Ia menyadari bahwa peran ATC sangat krusial, bahkan dalam penerbangan hitungannya per detik, jika satu detik lengah, taruhannya adalah keselamatan dan nyawa manusia.
“Untuk menunjang keselamatan dalam penerbangan itu yang dipakai hitungan detik, satu detik itu sangat berharga,” ujarnya.
Meskipun awalnya dihadapkan kondisi yang sangat sulit di Oksibil, mulai dari kebutuhan pokok, seperti listrik dan air, ayah satu anak itu bertekad untuk mengabdikan diri menjaga langit di ujung negeri.
Memastikan Penegakan Aturan
Salah satu misinya adalah menegakkan aturan penerbangan hingga ke wilayah perbatasan yang selama ini dinilai kurang mendapat pengawasan jika dibandingkan dengan penerbangan di pulau-pulau lainnya, seperti pulau Jawa.
“Saya ingin menegakkan aturan yang berlaku internasional ke pelosok negeri, walaupun itu ke pelosok-pelosok, aturan tetap harus ditegakkan. Saya bekerja sesuai dengan aturan demi terciptanya keselamatan penerbangan di ujung langit Timur Indonesia,” ujarnya.
Bukan hanya terkait pemanduan lalu lintas penerbangan, melainkan juga penerbitan Notice to Airmen (Notam) hingga izin penerbangan pesawat tanpa awak (drone) yang harus sesuai aturan.
Ia pun menceritakan pengalamannya ketika seseorang dari lembaga pemerintah mengajukan untuk penerbangan drone.
Made pun menjelaskan prosedur yang harus diikuti apabila ingin menerbangkan drone, salah satunya harus mengurus izin ke kantor pusat Airnav Indonesia.
“Saya bilang, bagus bapak sudah berkoordinasi, saya sudah sharing bahwa yang pertama setiap penerbangan harus ada perencanaan penerbangan atau flight plan, dan harus ada izinnya,” tutur dia.
Di Bandara Oksibil sendiri, dalam sehari rata-rata ada 45 penerbangan yang didominasi penerbangan kargo dan carter (sewa).
Sementara itu, untuk penerbangan terjadwal, yakni sehari terdapat tiga penerbangan rute Sentani-Oksibil, dua penerbangan penumpang yang dioperasikan oleh Trigana Air rute Sentani-Oksibil dan satu pergerakan penerbangan kargo.
Made berharap pemerintah serta perusahaan Airnav Indonesia, terus mendukung bukan hanya dirinya, melainkan para seluruh karwayan yang harus bertugas di pelosok negeri.
“Yang pertama pemerintah dan Airnav jangan bosan-bosan mendukung kami, walaupun kami sangat terbatas, tetapi jangan pernah berhenti mendukung. Di balik gunung sana, ada orang-orang berharap kepada mereka semua. Jangan khawatir di sisi Timur ada kami,” ujarnya.
Saat ini, personel Airnav di Bandara Oksibil semakin bertambah, yakni terdapat 16 orang dari yang sebelumnya hanya enam orang di mana petugas ATC sendiri berjumlah delapan orang dan di antaranya adalah putra daerah Papua.
Membangun Kompetensi SDM Papua
Bukan hanya membangun sarana navigasi dengan memasang Automatic Dependent Surveillance–Broadcast (ASDB) di tujuh wilayah Papua pada 2018, Airnav juga menggelontorkan Rp2,5 miliar pada 2018 atau meningkat dari Rp1,1 miliar pada 2017 untuk program pemenuhan SDM melalui pemberdayaan masyarakat Papua.
Besiswa tersebut diberikan kepada masyarakat Papua untuk pendidikan bidang navigasi penerbangan bekerja sama dengan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan (BPSDMP) Kementerian Perhubungan.
Setelah lulus pendidikan, para peraih beasiswa tersebut akan diangkat dan diterima sebagai karyawan Airnav Indonesia dan ditempatkan di lokasi asal untuk membangun transportasi Papua.
“Program beasiswa ini juga mendorong masyarakat Papua dan masyarakat sekitar untuk meningkatkan kemampuan, khususnya di bidang navigasi penerbangan,” kata Manajer Humas Airnav Indonesia Yohanes Sirait.
Para calon penerima beasiswa ini pun harus melalui proses seleksi terlebih dahulu, sebelum kuliah di sekolah-sekolah yang telah dikerjasamakan dengan Kemenhub, seperti Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan (ATKP) Makassar dan Politikenik Penerbangan Jayapura.
“Selain itu, kita juga support untuk memberikan short course kepada teman-teman untuk teknik dasar penerbangan dan aviation security,” ujar Yohanes.
Untuk peningkatan alat navigasi penerbangan pun terus ditingkatkan, yakni penambahan ADSB dari tujuh pada tahun menjadi 11 unit tahun ini.
ADSB berfungsi untuk menangkap frekuensi yang tidak terdeteksi oleh radar karena terhalang oleh pegunungan, terutama untuk lapisan udara di bawah di mana rata-rata pesawat terbang rendah di Papua.
“Dengan peningkatan ADSB ini, artinya kita bertanggung jawab lebih tinggi lagi untuk meningkatkan pelayanan sekaligus memastikan pesawat terbang sesuai rutenya,” ujar Yohanes.