Jakarta (ANTARA) - Pemulangan warga negara Indonesia (WNI) yang terasosiasi dengan konflik di Suriah dan Irak telah menjadi suatu wacana yang diperdebatkan tidak hanya di kalangan publik, namun juga oleh para pengambil kebijakan.
Berdasarkan data yang dikutip dari keterangan lembaga penelitian The Habibie Center, masih ada sebanyak 639 WNI di Suriah dan Irak yang terindikasi terasosiasi dengan ISIS, mencakup para kombatan, WNI yang bekerja sebagai pegawai sipil dalam struktur administrasi ISIS, para anggota keluarga, dan mereka yang ingin tinggal di wilayah yang dikuasai ISIS.
Para kombatan asal Indonesia -- umumnya laki-laki -- saat ini sebagian besar berada di kamp-kamp tahanan.
Sementara itu, para anggota keluarga -- sebagian besar perempuan dan anak-anak -- yang terkait dengan ISIS saat ini berada di tengah kondisi yang memprihatinkan di kamp-kamp pengungsian di Suriah.
Sekitar 200 orang WNI perempuan dan anak-anak yang berada di kamp pengungsian di Al Hawl serta para kombatan yang berada di dalam tahanan yang dikelola Otoritas Kurdistan Suriah berada dalam kondisi yang sulit.
Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia didorong untuk memfasilitasi kepulangan para WNI simpatisan ISIS tersebut karena hal itu dianggap sebagai tanggung jawab negara untuk melindungi warga negara.
Namun, di sisi lain, beberapa pihak khawatir pemulangan para WNI simpatisan ISIS, khususnya mereka yang pernah menjadi kombatan, kembali ke Indonesia dapat menimbulkan ancaman keamanan di dalam negeri.
Pencabutan Kewarganegaraan
Dalam konteks perdebatan mengenai pemulangan WNI simpatisan ISIS dari Suriah, wacana mengenai pencabutan kewarganegaraan terhadap para simpatisan ISIS seringkali mengemuka.
Namun, pencabutan kewarganegaraan terhadap para WNI simpatisan ISIS dapat menjadi suatu pilihan kebijakan yang bersifat kontraproduktif, kata peneliti The Habibie Center Nurina Vidya Hutagalung.
"Pilihan kebijakan pencabutan kewarganegaraan sebagai hukuman terhadap simpatisan ISIS justru dapat menjadi kontra-produktif karena berpotensi memberikan legitimasi bagi keberadaan ISIS itu sendiri sebagai suatu entitas politik," ujar Vidya.
Dia menjelaskan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sulit untuk bisa digunakan sebagai rujukan bagi kebijakan dan tindakan pencabutan kewarganegaraan dari para WNI simpatisan ISIS tersebut.
Misalnya, pasal 23 Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia mengatur kondisi dimana seorang WNI dapat kehilangan kewarganegarannya bila "masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari presiden dan secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada atau bagian dari negara asing". Pasal tersebut memang berpotensi untuk dijadikan rujukan.
Namun, kata Vidya, status ISIS sebagai "tentara asing" atau "negara asing" tentu masih diperdebatkan. Dunia internasional tidak menganggap ISIS sebagai suatu entitas politik atau suatu negara.
Konvensi Montevideo 1933 mengatur syarat berdirinya sebuah negara, yaitu populasi permanen, wilayah yang tetap, pemerintah dengan kendali yang efektif, dan kemampuan untuk menjalin hubungan dengan negara lain.
"Pada tahun-tahun kekuasaan ISIS berada pada puncaknya, setidaknya tiga syarat pertama bisa dianggap terpenuhi. Akan tetapi, hingga saat ini tidak ada satu negara pun yang bersedia menjalin hubungan diplomatik resmi dengan ISIS, sehingga tidak mungkin ISIS berhak atas status negara," jelas Vidya.
Selain itu, pencabutan kewarganegaraan juga sulit dilakukan karena Indonesia menjamin dalam konstitusi dasarnya hak seseorang atas status kewarganegaraan sebagai salah satu hak asasi manusia.
Posisi konstitusi Indonesia itu pun sejalan dengan sejumlah perjanjian dan perangkat hukum internasional yang juga menjamin hak kewarganegaraan, seperti pasal 15 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang menegaskan bahwa "setiap orang mempunyai hak atas kewarganegaraan".
Arah Kebijakan
Selanjutnya, menentukan arah kebijakan yang tepat untuk memutuskan apakah WNI simpatisan ISIS harus diterima kepulangannya atau tidak bukanlah pilihan yang mudah bagi pemerintah Indonesia.
Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri RI, Judha Nugraha, menyebutkan tiga aspek utama yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam menentukan arah kebijakan terkait wacana pemulangan WNI simpatisan ISIS, salah satunya adalah aspek kemanusiaan.
Menurut Judha, dari aspek kemanusiaan, pemulangan para WNI simpatisan ISIS dinilai perlu dilakukan atas asas kemanusiaan. Namun, dia menambahkan bahwa pemerintah tentu perlu mempertimbangkan aspek keamanan.
Pemulangan para WNI simpatisan ISIS dikhawatirkan bisa mendatangkan ancaman keamanan. Para WNI yang pernah terlibat sebagai kombatan mungkin telah menguasai kemampuan dan keterampilan yang suatu saat dapat digunakan untuk aksi teror di dalam negeri.
Selain itu, potensi penyebaran ideologi radikal yang dianut oleh para simpatisan ISIS merupakan suatu sumber kekhawatiran lainnya.
"Kita pasti pertimbangkan sisi kemanusiaan, apalagi yang menyangkut perempuan dan anak-anak, tetapi memulangkan (para WNI simaptisan ISIS) itu tentu punya dampak keamanan," ujar Judha.
Selanjutnya, dia mengatakan bahwa pemerintah RI juga perlu mempertimbangkan aspek penegakan hukum, terutama untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.
"Terkait masalah penegakan hukum, rasa keadilan masyarakat perlu dipenuhi. Para WNI yang ke sana untuk menjadi kombatan ISIS itu kan menyalahi undang-undang kita maka penegakan hukum harus dilakukan," ucap Judha.
Menurut peneliti The Habibie Center Nurina Vidya Hutagalung, pemerintah Indonesia memiliki setidaknya tiga opsi untuk upaya penanganan dan pemulangan para WNI simpatisan ISIS.
"Ada tiga skenario pilihan kebijakan yang dapat diambil pemerintah Indonesia terkait wacana pemulangan WNI simpatisan ISIS, yaitu pemulangan seluruhnya, pemulangan sebagian, atau sama sekali tidak ada pemulangan," ujar Vidya.
Dia memaparkan ketiga pilihan kebijakan tersebut. Pertama, pemerintah dapat berupaya memulangkan seluruh WNI yang terdata di Suriah, baik kombatan yang berada di tahanan maupun anggota keluarga perempuan dan anak-anaknya.
"Dibanding opsi yang lain, dalam jangka pendek kebijakan memulangkan seluruh WNI yang saat ini ditampung atau ditahan di Suriah akan menjadi yang paling menantang," katanya.
Untuk itu, pemerintah harus mampu menyiapkan infrastruktur di dalam negeri terkait penilaian, pemulangan, dan penampungan sementara bagi para WNI simpatisan ISIS.
Pilihan kedua, pemerintah Indonesia dapat tidak memfasilitasi dan menolak pemulangan WNI simpatisan ISIS.
"Dibandingkan opsi yang lain, dalam jangka pendek, pilihan kebijakan ini akan menjadi yang paling mudah dan murah. Namun, dalam jangka panjang, pilihan kebijakan ini akan sangat merugikan," ucap Vidya.
Dia menyebut pilihan kebijakan tersebut bersifat merugikan sebab pemerintah akan mendapat tekanan luas karena dianggap mengabaikan aspek kemanusiaan dan bertindak preventif dalam penanganan para WNI simpatisan ISIS.
"Memburuknya kondisi kemanusiaan di kamp-kamp pengungsian dan tahanan di Suriah akan menempatkan pemerintah Indonesia di posisi sulit," jelasnya.
Pilihan ketiga, pemerintah Indonesia dapat memulangkan dulu hanya perempuan dan anak-anak yang berada di kamp-kamp pengungsian dan membiarkan para kombatan asal Indonesia yang berada di tahanan untuk sementara waktu.
"Opsi ini sepertinya yang paling mungkin diambil oleh pemerintah saat ini," ucap Vidya.
Dengan memulangkan para WNI perempuan dan anak-anak dari Suriah, lanjut dia, pemerintah Indonesia tetap menjalankan tanggung jawab untuk melindungi WNI sembari meminimalisir potensi ancaman keamanan dari para WNI yang menjadi kombatan dan terasosiasi dengan ISIS, dan untuk lebih lanjut mengelola potensi ancaman itu melalui program-program rehabilitasi, deradikalisasi, reintegrasi, pemantauan serta pengawasan.
Kebijakan Repatriasi
Pemerintah Indonesia bila memilih untuk memulangkan para WNI simpatisan ISIS dari Suriah harus melaksanakan kebijakan repatriasi tersebut berdasarkan kesiapan kapasitas infrastruktur legal dan institusional di dalam negeri.
Vidya menyebutkan bahwa proses pemulangan dan penanganan para WNI eks-kombatan ISIS dan mereka yang terasosiasi ISIS tentu akan melibatkan berbagai instansi. Dalam konteks itu, koordinasi lintas kementerian/lembaga menjadi hal yang sangat penting.
Untuk itu, menurut dia, pemerintah harus memberi perhatian khusus terhadap infrastruktur dalam repatriasi WNI simpatisan ISIS melalui kerja sama dan koordinasi antara kementerian/lembaga, yakni Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri, Polri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Detasemen Khusus (Densus) 88, Badan Intelijen Negara (BIN), dan Imigrasi.
"Dalam hal ini, BNPT berperan menyiapkan program kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi. Dengan demikian, BNPT harusnya menjadi vocal point dalam proses pemulangan WNI simpatisan ISIS dari Suriah," ujar Vidya.
Sementara itu, Densus 88 dapat berperan menyelidiki dan memeriksa para WNI eks kombatan dan simpatisan ISIS serta berperan mengamankan dan mendampingi selama proses pemulangan, rehabilitasi, hingga repatriasi.
"Instansi lain yang akan memegang peran penting adalah Kementerian Sosial dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, terutama dalam konteks penanganan perempuan dan anak-anak yang terasosiasi dengan kombatan ISIS," jelasnya.
Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia Agung Nurwijoyo mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya telah memiliki pengalaman dalam repatriasi WNI eks ISIS.
Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri RI, sejak 2015 sudah ada 430 WNI yang diduga akan bergabung dengan ISIS di Suriah dipulangkan dari Turki kembali ke Tanah Air.
"Pemulangan WNI terindikasi ISIS sudah dilakukan Indonesia sejak 2015, baik dari Suriah maupun Turki," ujar Agung.
Akhirnya, penentuan nasib para simpatisan ISIS yang masih berada di Suriah tinggal menunggu keputusan politik dan langkah kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah RI ke depan.