Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan pihaknya tidak memiliki pakar epidemiologi yang menguasai kepakaran dalam menangani pandemi COVID-19 sebagai bentuk bencana non alam.
"Kami (BNPB) hanya punya satu dokter, itu pun dokter umum. Karena itu, kami mengumpulkan para pakar, termasuk pakar epidemiologi yang saat ini diketuai Prof Wiku Adisasmito," kata Doni dalam rapat kerja bersama Komisi VIII DPR yang diikuti secara daring melalui siaran TVR Parlemen di Jakarta, Selasa.
Doni mengatakan setelah dia ditunjuk untuk mengetuai Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 segera mengumpulkan para pakar dan berkoordinasi dengan berbagai pihak, terutama Kementerian Kesehatan.
Doni mengakui Indonesia cukup gagap pada masa awal pandemi COVID-19, misalnya dalam hal ketersediaan laboratorium yang bisa menguji spesimen COVID-19. Saat itu, hanya ada satu laboratorium yang tersedia.
"Hanya ada laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Spesimen dari Papua pun harus diperiksa di sana. Akhirnya jumlah laboratorium bertambah empat, ditambah dari Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman," tuturnya.
Kini sudah ada lebih dari 200 laboratorium yang bisa memeriksa spesimen COVID-19, meskipun Doni mengakui sebarannya belum merata di seluruh Indonesia.
"Saat ini rata-rata spesimen yang diperiksa per hari mencapai lebih 20 ribu spesimen yang diikuti dengan jumlah penambahan kasus yang menunjukkan masih ada penularan di masyarakat," katanya.
Karena itu, Doni mengatakan kampanye pencegahan penularan COVID-19 harus dilakukan terus menerus dengan melibatkan pemerintah daerah menggunakan bahasa-bahasa yang mudah dimengerti masyarakat.
"Kami mengajak pemerintah daerah untuk menggunakan bahasa lokal, terutama bahasa daerah dalam berkampanye. Tidak semua masyarakat mengerti social distancing, physical distancing, apalagi new normal," katanya.
Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto sepakat bahwa kampanye penerapan protokol kesehatan harus diperluas agar normal baru tidak menjadi awal bencana yang lebih besar.
"Masyarakat anggap new normal itu sudah normal, bebas ke mana saja, tidak menjaga jarak, dan berkerumun. Hal ini kalau tidak ditangani bisa menjadi awal bencana yang lebih besar," katanya.*