Flores Timur (ANTARA) - Udara di kawasan pesisir Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, teramat dingin saat Hamid Bonda Atapukan (40) baru saja menyelesaikan Shalat Subuh berjamaah di Masjid Jami Al Maruf, Rabu pagi.
Jarum panjang jam belum menunjuk angka lima waktu setempat, tetapi kesibukan mulai terlihat di beberapa rumah penduduk Desa Lamhala, pesisir Laut Solor, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kompor-kompor dinyalakan, asap-asap mengepul dari dapur. Hamid menghampiri satu per satu tetangganya di lingkungan Rumah Adat Lawaha, Gang Sarajevo, Dusun 4, untuk memastikan seluruh bantuan menuju Desa Waiburak sudah siap diantar.
"Masyarakat sedang berbondong-bondong antarkan makan buat orang Waiburak. Ada nasi, lauk, minuman, kita masing-masing rumah masak buat mereka. Pagi ini kita turun (menuju Waiburak)," katanya.
Waiburak berjarak sekitar 2,5 kilometer menuju sisi timur Desa Lamhala Jaya melewati Pelabuhan dan Pasar Tradisional Waiwerang Kota.
Sudah kali ketiga penduduk di kampung Lamhala membantu sekitar 400 warga Waiburak yang terdampak bencana banjir bandang sejak Ahad (4/4).
Warga Waiburak saat ini mengungsi di Lamhala. Sebanyak 300 jiwa di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) dan 30 jiwa di kantor desa. Sebagian lainnya bertahan di Waiburak pada tempat tinggal yang masih berdiri kokoh usai dihantam luapan Kali Mati.
Bagi Hamid, para korban bencana di Waiburak seluruhnya adalah saudara. "Kalau kita runut pertalian saudara kami, pasti ketemu. Mayoritas masih satu darah dan Muslim. Walaupun sebagian ada pendatang dari Sulawesi, Jawa dan sebagian pelosok pegunungan," katanya.
Sebagian ibu-ibu dan remaja menenteng kantong kresek besar berisi bantuan makanan menuju ke Waiburak dengan berjalan kaki.
Penerima bantuan, Jabal Sila (70), senang mendapat bantuan makanan dari penduduk Lamhala. Sebab sudah tiga hari sejak terjadi bencana, pendatang dari Makassar itu belum terdata sebagai penerima bantuan dari otoritas setempat.
"Sejak awal kejadian belum ada data penerima bantuan. Baru kemarin saya dapat segelas air minum dan sebungkus mie. Saya marah, kenapa tidak didata dulu, baru dibagikan," katanya.
Berdasarkan laporan Kepolisian Sektor Adonara Timur, Rabu (7/4), dampak banjir bandang di wilayah setempat mengakibatkan 385 penduduk kehilangan tempat tinggal serta 66 rumah ambruk.
Tokoh warga setempat, Abah Gaus, mengatakan jumlah Muslim meninggal di Desa Waiburak dan Waiwerang Kota saat ini berjumlah 13 jiwa.
Negeri Lima Pantai
Rumah adat berukuran 300 meter persegi disebut Hamid sebagai Lawaha yang berarti pertama.
Atap bangunan serupa pendopo dengan pahatan kayu jati putih di bagian jendela merupakan peninggalan leluhur warga Lamhala, Sultan Fatahudin, atau yang dikenal sebagai Patipelang.
Sosok Patipelang dikisahkan warga sekitar sebagai penyebar agama Islam di pesisir Flores Timur pada zaman penjajahan Portugis di abad 16 Masehi.
Perjuangan melawan penjajah dilakukan dengan menolak pembatasan teritorial Flores Timur melalui Persekutuan Negeri Lima Pantai atau Solor Watan Lema.
Generasi ke-14 Patipelang, Hamka Wahar, mengatakan Kerajaan Solor Watan Lema dibentuk dari persekutuan Kerajaan Lohayong, Kerajaan Lamakera, Kerajaan Lamahala, Kerajaan Terong, dan Kerajaan Labala. Lima kerajaan itu tersebar di tiga pulau di antaranya Pulau Solor, Adonara, dan Lomblen.
"Pergerakan berpusat di Lamhala," katanya.
Usai menunaikan tugas menghadapi penjajah, Patipelang mewarisikan petuah kepada tiga tokoh masyarakat setempat yang mereka sebut sebagai Belatelo Tugasnya untuk mempertahankan persaudaraan di Lamhala.
"Tiga tokoh itu adalah Bela Atapukan yang diamanati tugas sebagai pemangku adat, Bela Malakalu sebagai Kepala Perang dan Bela Selolong yang bertanggung jawab pada urusan pemerintahan," kata Hamka Wahar.
Belatelo dibantu oleh sepuluh Kapitan atau pemimpin warga dalam menjalankan tugas mereka. "Kalau urusan agama, kita ada yang namanya Pegawe Lema mereka urus kegiatan di satu masjid dan 14 mushala di Lamhala. Mulai dari imam, khatib hingga pemandian jenazah," katanya.
Pria yang karib disapa Boby itu menyebutkan persaudaraan muslim di Flores Timur hingga sekarang tersisa 33 marga. Empat marga lainnya punah akibat faktor keturunan dan peleburan marga.
Hingga saat ini tidak kurang dari 5.000 kepala keluarga keturunan muslim bermukim di Lamhala. Jumlah tersebut belum termasuk di ratusan desa lainnya di Flores Timur.
"Kami menganut patrilineal yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah. Kalau anak perempuannya banyak, maka lama-lama marganya jadi punah," kata Boby.
Rumah Adat Lawaha saat ini difungsikan sebagai tempat musyawarah dan rumah bersama masyarakat yang dikelola oleh Bela Atapukan.
Toleransi
Sikap untuk menghormati adanya perbedaan pendapat, agama, ras, dan budaya pada setiap orang atau kelompok, nyatanya juga menjadi pesan khusus yang disampaikan leluhur kepada penduduk Lamhala.
Umat Islam turut terlibat dalam acara keagamaan Nasrani, begitu pula sebaliknya. "Misalnya saat Lebaran, umat Nasrani dari desa lain selalu hadir di Lamhala untuk membentuk formasi mengawal kami yang Shalat Id sampai selesai. Saat Natal pun begitu, kami datang untuk memberikan pengamanan," katanya.
Dalam acara Natal, kata Boby, muslim Lamhala menjaga keamanan Gereja Kristus Raja (Katolik) di Desa Waiwerang Kota. Selain itu, saat ada pekerjaan pembangunan atau pemugaran gereja, umat muslim pun terlibat.
Pimpinan Klinik Pratama Pulitoben Witihama, Suster Eduarda, sepakat bahwa Flores Timur bisa dijadikan contoh penerapan toleransi antarpemeluk agama di Indonesia.
Contoh lainnya adalah pengerahan bantuan pakaian dan kebutuhan rumah tangga dari warga di Kecamatan Ile Boleng pemeluk Katolik kepada korban banjir bandang Desa Waiburak.
"Saudara kita umat Muslim dalam kegiatan ini merupakan wujud kekerabatan sebagai umat beragama meski dengan perbedaan keyakinan," demikian Eduarda.