Timika (ANTARA) - Doktor pertama asal Suku Kamoro, Mimika, Papua, DR Leonardus Tumuka menyoroti secara khusus menurunnya kualitas pendidikan di wilayah itu yang dinilainya sudah sangat ekstrim sehingga membutuhkan dukungan dan perhatian serius dari semua pemangku kepentingan.
Ditemui ANTARA di Timika, Sabtu, Leonardus mengatakan kondisi pendidikan di sekolah-sekolah pedalaman yaitu wilayah pegunungan dan pesisir pantai Mimika dan Papua pada umumnya akhir-akhir ini sangat memprihatinkan.
Di banyak kampung, katanya, sekolah-sekolah yang tidak menggelar proses belajar-mengajar secara maksimal karena guru-guru terutama PNS banyak yang tidak pernah berada di tempat tugas, serta tidak didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang tidak memadai.
Akibatnya siswa yang rata-rata merupakan orang asli Papua dari Suku Amungme dan Kamoro tidak mendapatkan layanan dan hak menikmati pendidikan secara memadai, sehingga banyak terjadi angka 'drop out' ataupun kalau terpaksa naik kelas bahkan lulus pendidikan dasar maka sebagian besar para siswa itu belum bebas dari '3 M' yaitu membaca, menulis dan menghitung.
"Untuk daerah Mimika, tantangan yang sangat serius dan masuk dalam kategori ekstrim saat ini yaitu pendidikan generasi muda Suku Amungme dan Kamoro. Bagaimana kita bisa mengharapkan muncul generasi cerdas dan berkualitas 15-20 tahun ke depan kalau saat ini mereka lulus SD saja belum bisa baca, tulis dan menghitung," kata Leonardus.
Alumnus program studi doktoral pada University of the Philipines Los Banos, Filipina, tahun 2015 pada bidang Community Development itu membandingkan pendidikan masa lalu di Mimika dengan pendidikan masa kini.
Sejarah pendidikan di Mimika sebetulnya sudah cukup panjang, dimulai sekitar era 1930-an bersamaan dengan hadirnya misi Gereja Katolik di wilyah pesisir Mimika yang berpusat di Kokonao yang sekarang menjadi Ibu kota Distrik Mimika Barat.
Pada era terdahulu, katanya, Mimika dikenal sebagai penghasil dan pemasok tenaga guru ke berbagai tempat di wilayah Papua.
Pola pendidikan di zaman kolonial Belanda hingga era 1970-an berbasis asrama dengan disiplin yang ketat menjadikan generasi muda Suku Amungme dan Kamoro saat itu banyak menjadi orang sukses.
Sayangnya, di tengah situasi dan kondisi yang serba maju dari semua aspek, kualitas pendidikan generasi muda asli Amungme dan Kamoro saat ini justru sangat jauh tertinggal dari daerah-daerah lainnya di Papua.
Dinas Pendidikan
Leonardus menyebut Pemkab Mimika melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan seharusnya menjadi leading sektor yang dapat memainkan peran penting untuk dapat memperbaiki kualitas pendidikan di wilayah pedalaman Mimika.
"Yang terjadi justru sebaliknya, malah Dinas Pendidikan melihat sekolah-sekolah yayasan keagamaan seperti YPPK, YPK, YPPGI, Yayasan Advent, Yapis dan lain-lain itu sebagai pesaing, bahkan dianggap sebagai musuh. Ini kan sudah tidak benar. Seharusnya lembaga pendidikan yang dikelola yayasan-yayasan swasta keagamaan itu diayomi dan dirangkul untuk bersama-sama membangun dan mencerdaskan generasi muda bangsa," kata Leonardus yang saat ini bekerja di Kantor PT Freeport Indonesia Kuala Kencana itu.
Menurut dia, lembaga pendidikan yang bernaung di bawah yayasan keagamaan tidak bisa dipandang remeh atau dianggap sebelah mata oleh pemerintah, lantaran sekolah-sekolah yang bernaung di bawah yayasan-yayasan itu telah hadir jauh sebelum pemerintah ada dan memiliki andil besar dalam memanusiakan orang asli Papua.
Beberapa kebijakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Mimika yang mendapat sorotan khusus dari Leonardus seperti penarikan guru-guru PNS dari sekolah yayasan seperti YPPK baik di wilayah Kota Timika hingga di sekolah-sekolah pesisir pantai.
Beberapa tahun lalu Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Mimika juga mendirikan sekolah dasar negeri di Kokonao, sementara di lokasi itu terdapat sekolah dasar YPPK yang sudah ada sejak era 1930-an.
Mirisnya, sekolah dasar negeri yang dibangun Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Mimika itu belum memiliki gedung sekolah dan masih menumpang pada fasilitas "guest house" Pemkab Mimika, tidak memiliki meja dan kursi serta papan tulis sehingga siswa terpaksa duduk di lantai papan.
"Sangat aneh bagi kami mengapa Dinas Pendidikan Mimika bangun lagi sekolah negeri di Kokonao, sementara di sana sudah ada sekolah swasta YPPK. Toh masyarakat yang dilayani juga sama. Mengapa pemerintah tidak mendukung saja sekolah yayasan di sana supaya jauh lebih berkualitas. Ini hanya menghambur-hamburkan anggaran yang sebetulnya belum terlalu mendesak," tuturnya.
Perhatian pimpinan daerah
Ia berharap Bupati Mimika Eltinus Omaleng selaku putra asli Mimika asal Suku Amungme memberikan perhatian serius untuk membangun dan menata kembali pendidikan di wilayah pedalaman Mimika yang kini sangat terperosok ke jurang yang paling dalam.
Sebab membangun SDM yang berkualitas itu akan memberikan andil besar bagi proses perubahan dan kemajuan bangsa dan daerah ke depan.
"Kami minta pimpinan daerah tegas dalam melakukan evaluasi total kinerja Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Mimika. Kalau ada kebijakan-kebijakan yang keliru yang justru menimbulkan masalah, evaluasi dan perbaiki. Rangkul semua pemangku kepentingan untuk mencarikan formula yang tepat bagaimana menyelamatkan pendidikan generasi muda Mimika," usul Leonardus.
Namun jika pimpinan daerah tidak berani melakukan evaluasi total terhadap kinerja pimpinan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Mimika, Leonardus mempertanyakan hal itu.
"Ketika pimpinan daerah mengabaikan setiap permasalahan yang disampaikan oleh kepala distrik (camat) di bidang pendidikan di pesisir dan pedalaman ataupun berbagai laporan masyarakat maka tentu kami pertanyakan ada apa dibalik ini semua," ujarnya.
Melalui momentum Hari Kebangkitan Nasional yang akan dirayakan 20 Mei mendatang, Leonardus berharap ada kesungguhan dan keseriusan dari Pemkab Mimika terutama dari Bupati Eltinus Omaleng untuk melakukan pembenahan total penyelenggaraan pendidikan di wilayah pedalaman Mimika yang rata-rata menampung dan mendidik anak-anak asli Papua dari Suku Amungme dan Kamoro.