Jayapura (ANTARA) - Merespon kebijakan RUU Sisdiknas yang menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat menimbulkan polemik di kalangan masyarakat, akademisi dan pemerhati pendidikan. Sebagai calon Doktor Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam kami, mencoba menganalisis RUU ini dari sudut pandang kepentingan dan keilmuan IPA. Kami memfokuskan analisis terhadap BAB XIII tentang Evaluasi Pendidikan. Bab ini terdiri dari empat bagian yang dibahas, bagian pertama membahas tentang evaluasi pendidikan secara umum, bagian kedua membahas tentang evaluasi terhadap pelajar, bagian ketiga membahas tentang evaluasi terhadap sistem pendidikan dan bagian terakhir membahas tentang evaluasi terhadap akreditasi.
Banyak komponen yang berubah dan hilang dalam RUU Sisdiknas jika dibandingkan dengan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003. Salah satunya pada Bab XIII Evaluasi, Terdapat perbedaan antara UU Sisdiknas tahun 2003 Bab XVI Pasal 57 ayat 1 dan 2 dan rancangan UU Sisdiknas 2022 Bab XIII Pasal 104 ayat satu (1) dan dua (2) yang sama-sama mengatur tentang Evaluasi, perbedaan tersebut terletak pada Evaluasi terhadap pelajar bersifat tidak wajib, hal ini berawal dari kebijakan menteri pada masa pandemi COVID-19 yang dirasa perlu dan berjalan baik sehingga akan disahkan dalam bentuk undang-undang. Hal ini perlu dilakukan karena mengingat wilayah Indonesia merupakan negara kepulauan serta letak geografis dan kondisi setiap sekolah berbeda-beda.
Peniadaan Ujian Nasional ini sudah dijalankan sejak 2019 (Masa Pandemi) dan setelah dilakukan wawancara beberapa guru disimpulkan bahwa sebagian besar guru setuju dengan kondisi ini mengingat saat mengahadapi ujian nasional anak-anak menjadi stress dan khawatir terhadap soal serta hasil ujian, yang kadang tidak sesuai harapan, di mana anak yang menjuarai olimpiade atau cerdas cermat di bidang tertentu tidak lulus ujian nasional.
Namun yang menjadi perhatian di sini adalah tata cara membuat penilaian harus sesuai dengan ayat tiga (3) merujuk pada standar pencapaian yang harus jelas, transparan dijabarkan secara sistematis dan terperinci agar pendidik mudah dalam mengikuti aturan yang ada serta standar penilaian yang dibuat harus merujuk pada kegiatan praktikum agar pelajar tidak hanya mengetahui konsep namun juga terampil dalam penggunaan alat-alat laboratorium IPA.
Pada komponen ini evaluasi tidak memuat lagi penjelasan tentang sertifikasi sebagai bagian dari sebuah evaluasi. Komponen sertfikasi ini dijabarkan tersendiri pada UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sebab, evaluasi dalam pendidikan memuat tentang pelajar, sistem pendidikan dan akreditasi. Menelisik arah kebijakan evaluasi pada RUU Sisdiknas yang cukup mengganjal Pasal 105 terkait evaluasi yang dilakukan oleh lembaga mandiri. Lembaga mandiri seperti apa yang dianggap mampu menilai evalusi terhadap pelajar. Hal ini karena tidak ada ayat yang menekankan bahwasanya lembaga mandiri harus mematuhi standar evaluasi dari sistem pendidikan nasional dan pemerintah. Perlu diingat bahwasanya evaluasi sebagai bentuk indikator dari pengendalian mutu pendidikan nasional.
Pada RUU ini belum ada bab khusus mengenai ketercapaian standar nasional pendidikan. Oleh sebab itu, akuntabilitas dari lembaga mandiri di sini perlu penekanan jelas terkait pengelolaan dan pengesahan lembaga mandiri oleh siapa. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap evaluasi pendidikan ini jelas sebagai landasan pemerataan akses dan peningkatan mutu layanan pendidikan. Akreditasi merupakan salah satu bentuk evalausi yang diberikan pemerintah untuk menjaga mutu pendidikan pada jenjang sekolah hingga universitas. Namun irisan penjelasan terkait point akreditasi belum sinkron dan sejalan tentang pandangan akreditasi itu sendiri. Lembaga akreditasi yang dibentuk oleh masyarakat ini dapat menjadi celah gap terkait mutu pendidikan.
Evaluasi pendidikan adalah proses mendapatkan informasi data mengenai hasil belajar yang dialami peserta didik dan menafsirkannya ke dalam nilai yeng bersifat kualitatif atau kuantitatif sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan. Hasilnya diperlukan menentukan keputusan. Salah satu tujuannya adalah evaluasi outcom atau lulusan sebagai hasil evaluasi yang diarahkan untuk terjun di masyarakat sebagai pengabdian atau digunakan oleh pihak yeng berkepentingan (industri).
Industri memiliki peran sebagai penyerap tenaga kerja yang paling besar. Berdasarkan Pusat Data Statistik dari 2019 hingga 2021, penyerapan tenaga kerja oleh industri paling sedikit adalah sembilan (9) persen dari jumlah penduduk di Indonesia. Selanjutnya menurut data Kementerian Perindustrian, Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas akan mampu mendorong sektor industri utama dalam agenda Making Indonesia 4.0, yakni “industri makanan dan minuman, tekstil dan busana, otomotif, kimia, elektronika, farmasi, serta alat kesehatan menyerap 60 persen ”. Kontribusi ini pada 2021 sebesar 17,33 persen adalah manufaktur.
Lebih luas lagi dengan adanya pasar terbuka saat ini, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan salah satu pasar terbuka di Asia Tenggara, termasuk tenaga kerja. Dengan adanya MEA, semua negara ASEAN berkompetisi mengambil lapangan kerja yang tersedia. Negara dengan kemampuan kompetensi SDM tinggi akan mendapat kesempatan lebih unggul dalam MEA. Kita bisa mengatakan bahwa tenaga kerja terampil lain di ASEAN akan kerja di Indonesia. Masuknya tenaga kerja ke Indonesia akan menjadi ancaman sekaligus kekuatan. Menjadi ancaman apabila tenaga kerja Indonesia tidak memiliki kemampuan yang mumpuni. Akan menjadi kekuatan apabila kita mampu menumbuhkan perekonomian dengan cepat. Berdasarkan data Institute for Management Development (IMD) tenaga kerja Indonesia sangat tertinggal di ASEAN jika dibandingkan Thailand, Malaysia, dan Singapura. Hal ini belum lagi jika kita dihadapkan dengan persaingan global.
Indonesia yang masih rendah produktivitasnya tentu ada relevansinya dengan pendidikan. Salah satu persoalan rendahnya serapan tenaga kerja di Indonesia adalah pendidikan dan kebutuhan pekerjaan tidak relevan atau kurang relevan. Survei Angkatan Kerja Nasional 2020, ketidaksesuaian antara pekerjaan dengan latar pendidikan masih cukup tinggi yakni sebesar 60,52 persen. Benny Soetrisno sebagai Wakil Kepala Dinas Perindustrian juga berpendapat bahwa perlu dilakukan perluasan daya saing dan produktivitas tenaga kerja di Indonesia. Saat ini pemerintah juga fokus memperbaiki kualitas sumber daya manusia (SDM) agar mampu bersaing secara global. Salah satu solusinya adalah meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan.
Usaha pemerintah yang dilakukan untuk mengatasi daya saing tenaga kerja adalah pelatihan vokasi, pemagangan berbasis kompetensi (PKP), dan sertifikasi kompetensi. Program tersebut dicanangkan dengan tujuan pemenuhan tenaga kerja yang relevan dengan kebutuhan industri. Harapan dan usaha pemerintah mungkin sudah dievaluasi, namun apakah evaluasi yang dilakukan relevan dengan kebutuhan tenaga kerja? Apabila relevan tentu ketika lulusan akan bekerja tidak harus ada seleksi yang sifatnya adalah pengetahuan dasar dari industri pengguna.
*Tulisan ini dibuat oleh Kelompok Mahasiswa S3 Pendidikan IPA pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Kajian Pendagoik serta Ujian Tengah Semester.