Jayapura, Papua (ANTARA News) - Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH Apik) Papua Betsy Pesiwarissa menyatakan keprihatinannya terhadap perburuhan anak di bawah umur yang masih banyak terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat.
"Saya melihat buruh anak ini banyak yang bekerja bukan sebagai buruh formal. Kebanyakan dari mereka bekerja di buruh informal dan pekerja lepas sehingga sangat memprihatinkan," kata Betsy kepada Antara terkait perayaan Hari Anak Nasional di Jayapura, Papua, Selasa.
Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak menyebutkan pada semester I 2013 sekitar 34,7 persen dari 4,7 juta buruh anak berada di Provinsi Papua.
Menurut Betsy kebanyakan buruh anak di Jayapura bekerja menjadi pekerja kasar, kuli pikul dan pembantu di pasar.
Betsy menjelaskan para majikan yang mempekerjakan buruh anak tanpa memperhatikan keselamatan dan kesehatan anak tersebut telah melanggar hukum.
"Anak itu boleh bekerja, namun majikan harus mengerti aturan jam istirahat, bermain dan tidak memberikan pekerjaan yang membahayakan," kata Betsy.
LBH Apik menyarankan pemerintah untuk bisa lebih berperan dalam mengatasi permasalahan buruh anak dengan memberikan kesejahteraan yang lebih merata kepada orang tua agar tidak mempekerjakan anak mereka.
"Untuk mempekerjakan anak harus mengerti waktu dan tidak mengganggu waktu sekolah serta mengutamakan keselamatan kerja," kata Betsy.
Selain itu dia mengatakan kualitas edukasi di Jayapura dan Papua umumnya belum terpenuhi dengan baik sehingga banyak warga yang memilih untuk mempekerjakan anaknya.
Direktur LBH Apik Papua mendukung pemerintah untuk mendata berapa banyak anak di bawah umur yang bekerja sebagai buruh kasar.
"Setelah diketahui mengenai data buruh anak, baru diberi edukasi dan pemerintah bisa mensosialisasikan program secara lebih luas kepada masyarakat Papua, agar jumlah perburuhan anak bisa berkurang," kata Betsy. (B019/Z003)