Warga Suku Kamoro yang bermukim di sepanjang wilayah pesisir selatan Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, dari generasi ke generasi mengandalkan sagu sebagai makanan pokok.
Sistem kehidupan warga Suku Kamoro maupun suku-suku asli di wilayah pesisir selatan Papua tidak bisa dilepaskan dari `3 S` yakni Sungai, Sampan dan Sagu.
Namun perkembangan zaman turut mengubah pola konsumsi warga Kamoro. Generasi muda dewasa ini tidak lagi mengandalkan sagu sebagai satu-satunya makanan pokok mereka. Sagu sebagai makanan pokok warga Kamoro sudah beralih ke beras.
Meskipun orang Kamoro tidak pernah bercocok tanam padi, namun ketergantungan generasi mudanya terhadap beras sebagai makanan pokok masyarakat kian tak terbendung.
Apalagi makanan pokok sebagian besar orang Indonesia itu cukup mudah diperoleh, asal ada uang untuk membelinya. Berbeda dengan sagu yang proses pengolahannya untuk menjadi tepung dan makanan siap saji membutuhkan waktu dan kerja keras.
Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) sebagai lembaga nirlaba yang mengelola dana kemitraan dari PT Freeport Indonesia untuk pemberdayaan masyarakat Suku Amungme dan Kamoro serta lima suku kekerabatan lain di Kabupaten Mimika rupanya cukup tanggap dengan terjadinya perubahan pola konsumsi warga Kamoro itu.
Ketergantungan pada beras sebagai pangan dari luar bisa memicu masalah di kemudian hari. Apalagi secara perlahan pemerintah berencana menghentikan pemberian subsidi beras untuk masyarakat miskin (raskin).
Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan lokal tersebut, sejak sekitar 2011 LPMAK mempersiapkan pembangunan sebuah pabrik tepung sagu di wilayah pesisir Mimika.
Dari beberapa lokasi yang pernah disurvei, LPMAK menetapkan Kampung Kekwa, Distrik Mimika Tengah sebagai lokasi pertama (pilot project) pembangunan pabrik pembuatan tepung sagu.
Lokasi pabrik tepung sagu yang dibangun LPMAK berada beberapa kilometer dari Kampung Kekwa. Untuk menuju lokasi itu harus menggunakan perahu motor melalui alur Sungai Kekwa ke arah utara dengan waktu tempuh sekitar 15-20 menit.
Lokasi yang berada tepat di pinggiran sungai tersebut dinilai cukup ideal lantaran berada tak jauh dari kawasan hutan sagu dan bakau lebat yang menutupi seluruh wilayah pesisir selatan Mimika.
Amin, selaku mandor PT Putra Bintang Mimika yang memimpin regu pekerja membangun pabrik tepung sagu di Kekwa mengatakan pekerjaan pembangunan lokasi pabrik sudah berlangsung hampir setahun sejak April 2014.
Kawasan pabrik tersebut cukup luas dengan empat bangunan utama meliputi ruang produksi, rumah jemur dan bangunan tempat penyimpanan tepung sagu.
"Untuk pekerjaan sipil sudah mencapai 60 persen, tinggal pemasangan dinding dan keramik. Kami targetkan dua bulan ke depan sudah rampung. Mudah-mudahan tidak ada hambatan dalam penyelesaian pekerjaan ini," tutur Amin yang memimpin sekitar 40 orang pekerja.
Pembangunan pabrik tepung sagu di Kekwa itu juga melibatkan para pemuda setempat yang dikoordinasikan oleh Alexander Natuapoka.
"Saya mengawasi 22 pemuda dari kampung yang ikut membantu dalam pengerjaan pabrik ini. Nantinya kami juga akan terlibat langsung dalam pengoperasian pabrik sagu," ujar Alexander.
Ia mengaku keberadaan pabrik tepung sagu tersebut nantinya sangat berguna bagi masyarakat Kampung Kekwa dan kampung-kampung sekitar seperti Timika Pantai, Atuka, Kokonao dan lainnya.
"Tentu ini sangat berguna untuk kami. LPMAK membangun pabrik ini untuk membantu masyarakat," tutur Alexander.
Adapun mesin pabrik tepung sagu didatangkan langsung dari Kabupaten Selat Panjang, Provinsi Kepulauan Riau.
A Liong, selaku pengusaha yang mendatangkan mesin pabrik pengolahan sagu dari Selat Panjang menuturkan bahwa tugasnya hanya merakit mesin pabrik dan selanjutnya melatih masyarakat Kekwa untuk dapat mengoperasikan teknologi tersebut.
"Kami datang dari Selat Panjang untuk memasang mesin penghancur sagu untuk menghasilkan tepung. Kami melihat tanaman sagu di Papua sangat banyak. Kalau di Selat Panjang pohon sagu ditanam di lahan warga, tapi di Papua tumbuh sendiri. Kami targetkan dalam waktu satu bulan ke depan semua peralatan sudah dipasang dan pabrik sudah bisa mulai beroperasi," kata A Liong.
Sementara itu Wakil Sekretaris Eksekutif LPMAK Bidang Program Yohanis Arwakon mengatakan lokasi pabrik pembuatan tepung sagu di Kekwa tersebut diproyeksikan akan mulai beroperasi pada pertengahan 2015.
"Dari sisi konstruksi bangunan semuanya sudah siap, tinggal pemasangan peralatan mesin. Kami targetkan pertengahan tahun ini sudah mulai uji coba," jelas Arwakon.
Untuk mewujudkan pembangunan pabrik tepung sagu di Kekwa itu, LPMAK awalnya mendapat cukup banyak tantangan dari warga. Sebagian warga beranggapan bahwa jika pabrik tepung sagu dibangun maka itu akan mengancam keberlangsungan masa depan hutan sagu mereka.
Guna meyakinkan masyarakat soal pentingnya pabrik tepung sagu tersebut, LPMAK pernah mengikutsertakan puluhan warga dari lima kampung di wilayah pesisir Mimika melakukan studi banding tentang pabrik sagu di Kabupaten Selat Panjang, Kepulauan Riau.
Tidak itu saja, LPMAK juga melakukan foto udara untuk mengetahui kawasan potensial sagu di Mimika serta peninjauan lapangan guna membandingkan data riil dengan hasil foto udara melalui citra satelit.
"Kami terus memotivasi masyarakat untuk meningkatkan semangat yang ada. Selain itu kami mulai merencanakan penanaman bibit sagu sekalipun belum melakukan panen sagu dengan mendatangkan bibit sagu unggul dari Sentani guna menambah koleksi yang ada. Bibit sagu tambahan itu ditanam di sekitar lokasi pabrik untuk dijadikan `buffer stock`" jelas Arwakon.
Kerja sama dengan ITB
Dalam mempersiapkan masyarakat Kamoro menyambut berdirinya pabrik tepung sagu tersebut, LPMAK juga menjalin kerja sama dengan Pusat Penelitian, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor (P4W-IPB).
Kerja sama itu dalam hal melakukan survei pemetaan potensi sagu termasuk menggunakan citra satelit dan membantu menyediakan buku-buku promosi edukasi sagu bagi kalangan pelajar.
"Melalui buku-buku yang kita siapkan bisa membantu memberikan pemahaman kepada anak-anak sejak usia dini bahwa sagu sebagai makanan pokok sangat penting. Penyediaan buku-buku ini juga sebagai tanggapan atas masukan dari sekolah-sekolah di wilayah pesisir Mimika yang menghendaki adanya bahan ajar tentang sagu," ujar Arwakon.
Prof Bintoro dari P4W IPB mengungkapkan bahwa potensi sagu di Mimika sangat besar namun belum digarap maksimal. Tim IPB pernah melakukan survei di sekitar Kokonao, ibu kota Distrik Mimika Barat beberapa tahun silam.
Di lokasi itu, dalam satu hektare terdapat sekitar 160-an pohon sagu dengan prediksi tepung sagu yang bisa dihasilkan hingga mencapai 40 ton.
Meskipun potensi sagu sangat tinggi, namun sagu yang mati lantaran tidak dimanfaatkan juga tinggi.
"Yang matipun sejumlah itu setiap hektarenya karena setelah berbunga dan berbuah, pohon sagu akan mati. Dia tidak sama seperti pisang atau kelapa yang berbuah terus-menerus," tutur Bintoro.
Kondisi itu, katanya, memerlukan dukungan dan perhatian dari semua pihak untuk dapat mengelola potensi sagu yang sangat besar di Mimika dan Papua umumnya agar memberikan manfaat tidak saja bagi konsumsi utama warga setempat, tapi juga bisa dijadikan komoditi ekspor ke manca negara.
"Sungguh ironis kita membuang-buang sumber karbohidrat karena tidak tahu memanfaatkannya secara tepat guna, tapi di sisi lain kita masih impor beras dari luar negeri. Di luar negeri seperti di Afrika, Asia, Amerika Latin begitu banyak orang yang kelaparan. Sementara di negeri kita sumber karbohidrat ini tidak dimanfaatkan alias dibuang. Padahal kalau dijual, sudah berapa besar dana yang kita kumpulkan untuk membangun negeri ini," ujar Bintoro.
Belum dikelola
Dari beberapa tempat yang dikunjunginya di Papua, Bintoro menilai pemanfaatan sagu sebagai sumber karkohidrat untuk konsumsi sehari-hari masih sangat minim. Dari sekitar 40 ton tepung sagu yang dihasilkan untuk setiap hektare kawasan hutan sagu Papua, yang bisa dimanfaatkan hanya sekitar 5-10 persen.
"Paling hanya sekitar 5-10 persen. Itupun hanya sagu-sagu yang tumbuh di pinggir jalan atau pinggir sungai karena mudah diambil. Sementara yang di dalam-dalam tidak bisa diambil karena hutannya sangat rapat, apalagi ada jenis sagu yang berduri," tutur Bintoro.
Potensi hutan sagu di Indonesia dewasa ini diperkirakan sekitar 5,5 juta hektare, dimana 5,2 juta hektarenya berada di Provinsi Papua dan Papua Barat. Sementara hutan sagu dunia kini tinggal 6,5 juta hektare.
"Jadi 90 persen hutan sagu dunia sebetulnya ada di Papua. Makanya FAO menantang kita kapan mereka bisa membeli sagu dari Papua untuk memberi makan orang Afrika, Amerika Latin, Asia yang kelaparan karena tidak ada makanan. Dewasa ini terdapat sekitar 8,8 juta penduduk dunia yang sedang kelaparan," ujar Bintoro.
Bintoro juga menampik anggapan banyak kalangan bahwa jika pohon sagu ditebang maka itu akan mengancam potensi sagu Papua.
"Sagu itu anakannya banyak sekali sehingga perlu ditata agar bisa lebih cepat panen," ujarnya.
Khusus di Papua, katanya, tanaman sagu sangat banyak jenis atau varietasnya. Di Teminabuan, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat, terdapat 18 jenis. Sementara di Sentani, Kabupaten Jayapura, terdapat sekitar 30-an jenis. IPB belum melakukan penelitian secara akurat berapa jenis sagu yang tumbuh di wilayah pesisir selatan Papua.
"Kami yakin pasti jenisnya banyak sekali. Tapi kalau ditanya ke masyarakat, mereka hanya tahu dua jenis yaitu sagu berduri dan tidak berduri. Pengetahuan masyarakat Papua tentang sagu masih minim, padahal tanaman sagu sangat familiar di kalangan masyarakat Papua," tuturnya.
Untuk satu pohon sagu, bisa menghasilkan tepung dalam jumlah ratusan kilogram. Di Sentani Jayapura, satu batang pohon sagu bisa menghasilkan tepung sagu hingga 975 kilogram. Sementara pohon sagu di Teminabuan Sorong Selatan menghasilkan tepung sagu setiap pohon bervariasi mulai dari 160 kg hingga 400 kg.
Tanaman sagu juga memiliki banyak manfaat. Selain sebagai sumber karbohidrat dalam bentuk makanan papeda, sagu lempeng, sagu tumang dan lainnya, tepung sagu juga bisa diolah menjadi gula cair dan limbahnya bisa menjadi bahan bakar alternatif.
Bintoro meyakini jika potensi sagu di Mimika bisa dikelola dan dimanfaatkan tidak hanya terbatas untuk konsumsi warga tapi sebagai komoditas eskpor maka Indonesia tidak perlu lagi mengimpor beras bahkan gula dari luar negeri.
"Kita hanya membutuhkan kawasan hutan sagu seluas 200 ribu hektare maka kita sudah bisa swasembada pangan dan gula. Kalau ini dikelola dengan baik, kita bisa memberi makan bagi penduduk di seluruh dunia. Ironisnya, justru hingga kini kita masih mengimpor beras karena tidak memanfaatkan potensi yang ada untuk ketahanan pangan masyarakat," jelas Bintoro.
Ia menambahkan, potensi hutan sagu di Papua dan manfaatnya yang sangat besar tersebut juga belum diketahui oleh banyak orang, termasuk kalangan pemda di Papua.
Komitmen LPMAK dengan dukungan dari PT Freeport Indonesia untuk membangun industri pengolahan sagu di Kekwa yang akan disusul dengan industri serupa di kampung-kampung pesisir Mimika lainnya.
Hendaknya dapat memicu keterlibatan Pemda Mimika untuk lebih terlibat aktif dalam memberdayakan potensi daerah guna meningkatkan ketahanan pangan lokal maupun membidik pasar ekspor untuk menambah kontribusi bagi daerah maupun negara. (*)
Berita Terkait
127 orang lolos seleksi pelatihan Institut Pertambangan Nemangkawi
Jumat, 10 Mei 2024 16:56
Disnaker Mimika harap PTFI terus bina pekerja OAP
Sabtu, 4 Mei 2024 14:39
SPMP PTFI: Kompetensi dibutuhkan tingkatkan apresiasi perusahaan
Kamis, 2 Mei 2024 15:12
Presdir PTFI: 57 tahun Freeport berkarya bangun negeri
Kamis, 11 April 2024 0:43
Pemkab Mimika apresiasi layanan kesehatan gratis PT Freeport
Sabtu, 6 April 2024 21:57
PTFI-YPMAK gelar operasi katarak gratis 52 orang di Mimika
Jumat, 5 April 2024 19:54
PT Freeport Indonesia-Pemkab Mimika kerja sama pengentasan TB
Jumat, 29 Maret 2024 21:05
PTFI beri layanan kesehatan mata gratis masyarakat Mimika
Rabu, 27 Maret 2024 15:22