Isi dari Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) tampaknya masih menuai polemik di kalangan masyarakat.
Belum lama ini, Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara uji materi terkait hak angket oleh DPR yang diatur dalam UU MD3, di mana putusan ini menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Namun selang beberapa minggu, undang-undang ini kembali digugat oleh sejumlah pihak karena beberapa pasal di dalam undang-undang ini dinilai berpotensi melanggar hak asasi manusia dan bertentangan dengan demokrasi.
Adapun pasal-pasal yang dipermasalahkan dalam UUD MD3 kali ini adalah Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan c, Pasal 73 ayat (5), Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3.
Mahkamah Konstitusi mencatat terdapat tujuh perkara yang menggugat pasal-pasal tersebut.
Tujuh perkara ini diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI), Presidium Rakyat Menggugat, dan tiga perkara lainnya diajukan oleh perserorangan warga negara Indonesia.
Empat dari tujuh permohonan uji materi ini diajukan kepada MK hanya berselang beberapa hari setelah DPR menyetujui ketentuan ini untuk disahkan oleh pemerintah.
Dalam berkas perkara yang diterima MK, para pemohon menyebutkan pasal-pasal dalam UU MD3 tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan tidak adil di hadapan hukum bagi masyarakat, bahkan pelanggaran hak asasi manusia.
Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan c, dan ayat (5) menyatakan bahwa DPR berhak melakukan pemanggilan paksa melalui pihak kepolisian, bila ada pejabat, badan hukum, atau warga negara yang tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut oleh DPR.
Sementara Pasal 73 ayat (5) menyebutkan bahwa dalam menjalankan panggilan paksa tersebut Polri diperbolehkan menyandera setiap orang paling lama 30 hari.
Pemohon menilai Pasal 122 huruf k telah bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, karena dalam pasal tersebut memuat ketentuan bahwa DPR akan melakukan langkah hukum bagi siapapun yang merendahkan martabat dan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Hal ini kemudian dinilai para pemohon merupakan upaya pembungkaman suara rakyat dalam memberikan kritik kepada penguasa legislatif, yang kemudian bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan demokrasi.
Sedangkan Pasal 245 ayat (1) memuat bahwa setiap anggota DPR memiliki hak imunitas secara luas, sehingga hal ini mengancam kepastian hukum yang adil, juga mengancam adanya diskriminasi di hadapan hukum.
Melindungi
Dalam sidang lanjutan perkara pengujian UU MD# di Mahkamah Konstitusi, anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan memberikan keterangan mewakili pihak DPR terkait gugatan tersebut.
Arteria menyebut ketentuan-ketentuan tersebut bertujuan untuk melindungi anggota parlemen dari tekanan yang tidak semestinya.
Hak imunitas membolehkan anggota parlemen untuk bebas berbicara dan mengekspresikan pendapat mereka tentang keadaan politik tertentu tanpa rasa khawatir akan mendapatkan tindakan balasan atas dasar motif politik pula, atau motif politik tertentu, kata Arteria.
Kendati demikian, pelaksanaan hak imunitas tersebut harus tetap dalam koridor ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.
Arteria menjelaskan juga tentang aturan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang dapat mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Kewenangan tersebut dikatakan Arteria bertujuan untuk penguatan DPR RI dalam rangka menjaga marwah dan martabat parlemen.
"Karena kepentingan menjaga kehormatan DPR RI dan anggota DPR RI bukan ditujukan untuk melindungi kepentingan DPR dan anggota DPR RI semata, tetapi untuk melindungi kepentingan rakyat, menjaga daulat rakyat, tetapi untuk rakyat yang secara umum," ujar Arteria.
Pengawasan
Pakar hukum tata negara Univeristas Gajah Mada Zainal Arifin Mochtar menilai kewenangan DPR yang tertuang dalam pasal-pasal di atas seharusnya dikaitkan dengan fungsi pengawasan yang secara konsepsi ditujukan kepada pemerintah.
Menurut Zainal, jika ketentuan tersebut dimaknai bahwa setiap orang dapat dipanggil secara paksa dalam rangka DPR menjalankan wewenang dan tugasnya, justru akan membahayakan.
"Bahkan pun dimaknai dalam rangka menjalankan undang-undang, pasal ini hanya ditujukan kepada pemerintah dalam menjalankan undang-undang dalam fungsi pemerintahan," kata Zainal ketika memberikan keterangan selaku ahli yang dihadirkan pemohon.
Jika pasal-pasal tersebut akan diterapkan, Zainal berpendapat bahwa pasal tersebut hanya diterapkan terhadap orang yang sedang dilakukan upaya penyelidikan atau angket terhadapnya.
Terkait dengan konsep pemaggilan paksa dalam Pasal 73 ayat (3), (4), (5) dan (6), Zainal menyebutkan bahwa proses hukum pada pelanggar hukum adalah ranah penegak hukum.
Tentang Pasal 122 huruf I, Zainal menyebutnya sebagai pasal karet karena anggota DPR dinilai Zainal dapat menggunakan pasal ini untuk menindak secara hukum orang yang dianggap melecehkan martabat mereka.
Bila kemudian melakukan kritik kepada para wakil rakyat dinilai mengancam dan melecehkan martabat para wakil rakyat, lalu bagaimana rakyat dapat melakukan pengawasan terhadap kinerja wakilnya.
Melakukan kritik sebagai bagian dari kebebasan berpendapat dan demokrasi tentunya harus dibedakan dengan ungkapan kebencian yang mengancam atau melecehkan martabat seseorang. (*)