Makassar (ANTARA) - Zakir Sabhara HW, Dekan Fakultas Teknologi Industri (FTI) Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, sangat familiar di kalangan relawan di Sulawesi Selatan karena sejak mahasiswa pada tingkatan strata satu (S1) hingga memimpin fakultas di perguruan tinggi masih aktif dalam kerja-kerja kemanusiaan.
Sejak awal merebak virus corona jenis baru ini atau Corona Virus Dissease 2019 (COVID-19) di Wuhan, China, dirinya sudah mengantisipasi kemungkinan akan terjadinya pandemi ke berbagai negara di dunia setelah adanya penularan ke beberapa negara hingga akhir 2019.
Zakir yang sedikit faham metode penularan virus ini sebelum merebaknya di Indonesia sudah memberikan perhatian khusus kepada orang-orang terdekatnya dan menyiagakan tim sukarelawannya dari gabungan tiga jurusan di FTI UMI untuk bersiap menghadapi pandemi itu.
Doktor teknik kimia ini segera menggerakkan mahasiswanya untuk bersiap menjadi sukarelawan. Padahal, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan belum mengumumkan kasus positif COVID-19 di wilayahnya. Pemprov baru mengumumkan kasus pertama positif COVID-19 pada 19 Maret 2020.
Di awal kasus penularan COVID-19 di Kota Makassar, ia langsung bergerak bersama seluruh relawannya. Langkanya kebutuhan peralatan kesehatan, seperti masker wajah dan cairan antiseptik di pasaran, membuat para sukarelawan memproduksi sendiri cairan antiseptik tersebut.
Bahkan yang paling membuatnya keheranan, bahan baku untuk pembuatan sejumlah kebutuhan dalam menangkal penularan virus corona ini juga sudah mulai langka.
"Hand sanitizer bagi anak-anak mahasiswa kami bukan hal baru, khususnya yang ada di teknik kimia. Berbagai formula dan serum lainnya sudah banyak yang diciptakan dan bahkan telah meraih penghargaan di berbagai lomba karya ilmiah," ujarnya.
Produksi massal cairan pembersih tangan ini pun dilakukannya karena kemanusiaan. Hingga saat ini, pihaknya tidak pernah memperjualbelikan semua kebutuhan kesehatan itu kepada masyarakat, melainkan membagikannya secara gratis.
"Sebenarnya membuat hand sanitizer itu mudah, semua kampus yang ada fakultas MIPA atau jurusan kimia bisa membuatnya, termasuk anak SMK, semua membuatnya dengan mudah. Yang ingin kita edukasi itu bahwa membuat hand sanitizer itu gampang dan semua masyarakat bisa membuatnya," katanya.
Ia mengatakan hand sanitizer yang diproduksinya itu untuk menjawab kelangkaan yang ada di pasaran atas respons penularan wabah virus corona atau COVID-19.
Zakir menyatakan banyak bahan-bahan untuk membuat cairan pembersih tangan sangat mudah didapatkan di toko-toko kosmetik maupun bahan kimia, bahkan di sekitar rumah, seperti lidah buaya.
"Banyak kok di pasaran dan tidak perlu panik karena langka di pasaran akibat ditimbun orang. Mendingan buat sendiri saja dan kita akan senang hati membantu untuk mengedukasi itu," katanya.
Kerja-kerja relawan ini semakin terarah dan tersusun dengan rapi, berkat kontrol langsung dari Zakir Sabhara dan bahkan turun langsung dan tinggal bersama para relawannya di posko yang telah ditetapkannya, yakni di Kampus UMI Makassar.
Tiap-tiap jurusan diberi tugas yang berbeda-beda. Mahasiswa jurusan teknik kimia diberi tugas memproduksi cairan pencucitangan dan disinfektan. Jurusan teknik industri ditugasi memproduksi pelindung wajah dan masker.
Adapun jurusan teknik pertambangan diberi tugas lapangan, yakni membagikan cairan pencuci tangan, alat pelindung diri, paket bahan pokok, dan melakukan penyemprotan cairan disinfektan.
Lebih dari 300 bangunan di Kota Makassar, Kabupaten Gowa,Maros, Pangkep, hingga ke Bone di zona merah telah mereka semprot. Bangunan itu meliputi rumah sakit, puskesmas, fasilitas umum, perkantoran, dan permukiman di zona merah.
"Semua yang kami semprot disinfektan itu bukan kami yang datang menawarkan, tetapi mereka yang bermohon ke kami. Kami pun dalam menjalankan tugas kami itu tanpa memungut sepeserpun dan alhamdulillah, kegiatan kemanusiaan kami itu beriringan dengan donasi yang terus berdatangan," katanya.
Eksistensinya dalam memerangi COVID-19 itu juga mendorong warga dan sejumlah lembaga untuk ikut andil di dalamnya. Ada yang menyumbangkan alkoholnya untuk pembuatan cairan antiseptik dan ada juga yang menyumbangkan kain spunbond atau bahan dari baju hazmat, bahkan kebutuhan pokok, seperti beras dan lainnya.
Bahkan, dirinya juga mengapresiasi sejumlah penjahit di Makassar yang begitu antusias ingin terlibat dalam kerja-kerja kemanusiaan itu. Mereka rela dibayar hanya Rp30 ribu untuk menjahit satu lembar baju hazmat untuk digunakan para medis dan relawan lainnya.
"Alhamdulillah banyak orang baik dan kami mendapat kepercayaan. Semua bantuan itu kami laporkan sebagai pertanggungjawaban kami, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga kepada masyarakat serta si pemberi bantuan tersebut. Salah satu media pertanggungjawaban kami di media sosial dan media massa. Bahkan makanan dan minuman untuk kebutuhan anak-anak kami laporkan semuanya," terangnya.
Sejak Mahasiswa
DR Ir Zakir Sabhara HW, ST, MT, IPM, ASEAN Eng sebelum menjadi "Komandan Sukarelawan" di UMI Makassar, sudah malang melintang di berbagai kegiatan sosial dan kerelawanan sejak mahasiswa di tingkat pertama (S1). Zakir yang lahir dan besar di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, 24 Mei 1975, itu banyak menghabiskan waktunya di berbagai bencana, juga membantu warga yang kurang beruntung dalam hidupnya.
Yayasan Pekabata yang dibuatnya bersama rekan-rekannya yang punya visi dan misi sama mengantarkannya pada kerja-kerja sosial. Yayasan Pekabata berposko di sekitar TPA Antang Tamangapa, Makassar. Di sekitar TPA itu, dia banyak mengajar anak-anak pemulung. Ia dan rekan-rekannya yang lain banyak berkeliling ke beberapa sudut kota karena menganggap, masih banyak anak kurang beruntung lainnya yang butuh pendidikan.
Salah satu bencana alam terbesar di era milenial atau pada 2004, yakni Tsunami Aceh, dirinya bersama relawan lainnya juga mengerahkan potensi yang dimilikinya. Hampir tidak ada bencana besar di Indonesia, yang dirinya tidak hadir di lokasi tersebut, bahkan Tsunami dan likuifaksi Palu, Sulawesi Tengah, pada 2018, juga hadir bersama para relawannya di FTI UMI Makassar.
Selain aktif di kegiatan sosial dan kerelawanan itu, dirinya tidak lupa akan fungsinya sebagai "agen perubahan" di lingkungannya menempuh pendidikan tertinggi. Dia merupakan salah satu aktivis 1998 saat lengsernya pemerintahan Orde Baru.
Garangnya Zakir dan aktivis lainnya pada masa itu, membuat dirinya mendapat berbagai tawaran. Kampus swasta terbesar di luar Pulau Sulawesi ini juga telah menawarkan pekerjaan sebagai salah satu dosen, namun tawaran itu tidak diterimanya. Dia baru mau ikut seleksi penerimaan dosen setelah orang yang sangat dihormatinya di UMI mengajaknya untuk bergabung, yakni Prof Basalamah. Seleksi berjalan dan dirinya menjadi satu dari sekian banyak dosen yang terpilih.
Pria "sombere" (ramah) ini selama lebih dari 10 tahun mengabdi sebagai dosen dan juga konsultan, diberikan amanah memimpin FTI UMI pada 2014. Dia diminta untuk menjadi dekan, tawaran itu pun tidak langsung diterimanya. Berbagai persyaratan diajukannya agar mau menerima amanah tersebut. Salah satu persyaratannya, dia ingin diberikan keleluasaan melakukan perombakan besar di FTI, mulai dari administrasi hingga pelibatan semua unsur sivitas.
Berbekal pengalamannya sebagai aktivis sosial itu, dia melihat besarnya potensi para mahasiswa sehingga dirinya mendorong anak-anaknya itu untuk mengeksplorasi jiwa sosialnya tersebut. Pria yang besar dalam lingkungan Bhayangkara ini meyakini jika pendidikan formal tidak cukup menjadi jembatan dalam mengarungi kehidupan.
"Pendidikan formal belum cukup menjadi bekal kita dalam mengarungi hidup ini, butuh aplikasi dari setiap ilmu pengetahuan yang kita miliki. Kita ini adalah makhluk sosial, kita hadir untuk memberikan manfaat bagi orang lain, bukan sebaliknya. Kelak, setelah lulus, mereka mau jadi apa dan sudah jadi apa, mereka punya jiwa kerelawanan yang bisa diaktualisasikan kembali ke sesama. Yang terpenting adalah empati, menjunjung nilai kemanusiaan, dan siap di segala situasi, termasuk kondisi bencana," pesannya kepada mahasiswanya.
Dalam mendukung kerja-kerja sosial itu, dia pun membuatkan anak-anaknya itu Cabin FTI UMI. Cabin ini terbuat dari kontainer bekas dan dibuatnya lebih hidup dengan menambahkan lukisan tiga dimensi. Di cabin ini, juga menjadi markas dari para sukarelawanan FTI UMI dan berbagai peralatan disediakan dalam mendukung kerja-kerja sosial dan kemanusiaan itu.
Berbagai bencana di Indonesia, anak-anaknya selalu hadir. Beberapa bencana itu, seperti gempa di Lombok, NTB; gempa dan likuifaksi di Palu, Sulawesi Tengah; dan banjir besar di beberapa kabupaten di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan.
Di masa pandemi COVID-19 ini, dia mengucapkan syukur karena Menteri Pendidikan Nadiem Makarim juga mengeluarkan keputusan yang tepat tentang konversi kerja kerelawanan dengan hitungan kredit atau satuan kredit semester (SKS).
"Sebelum adanya keputusan dari Mendikbud itu, anak-anak sudah berjuang keras. Saya sendiri sebagai orang tua mereka juga sudah lama memikirkan konversi kegiatan itu dan alhamdulillah, keputusan pak menteri keluar. Saya sangat bersyukur karena bisa mengonversi kegiatan anak-anak ke kredit mereka," ucapnya.