Jakarta (ANTARA) - Saat ini, deretan kata yang ditinggalkan warganet di media sosial jauh lebih berbahaya ketimbang timah panas yang dilontarkan para tentara di tengah peperangan. Berbeda dengan peluru yang memiliki batasan jarak tempuh, ujaran warganet dapat menjangkau berbagai pihak di berbagai belahan penjuru dunia dengan mudah.
Ketika ujaran yang ditinggalkan warganet sarat akan kebencian atau kebohongan, tidak jarang hal tersebut mengakibatkan konflik atau perpecahan dengan skala yang lebih besar. Ujaran kebencian menimbulkan isu-isu disintegrasi dan intoleransi, seperti yang saat ini sedang dialami masyarakat Indonesia.
Yang lebih mengerikan, konflik tidak hanya diakibatkan permasalahan berupa perbedaan pandangan politik maupun kepercayaan yang dianut. Bahkan, hal-hal yang menyangkut hobi dan selera, seperti perbedaan idola yang disukai dapat menimbulkan konflik yang menyerang ranah pribadi masing-masing. Korban dari konflik tersebut merupakan anak di bawah umur.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika Usman Kansong mengatakan perkembangan teknologi digital dan akses informasi menjadi tantangan bagi Indonesia. Pemerintah harus memikirkan cara terbaik untuk menanggulangi hoaks, ujaran kebencian, dan perilaku intoleran yang kini sedang marak terjadi di media sosial.
Para pengguna yang tidak mengenal batas umur menjadi salah satu tantangan pemerintah. Maraknya konten-konten bernuansa negatif serta reaksi warganet yang memperburuk keadaan diakibatkan kurangnya keterampilan masyarakat Indonesia di dunia digital.
Oleh karena itu untuk menjawab tantangan perkembangan teknologi digital dan kebebasan akses informasi, pemerintah berupaya untuk meningkatkan literasi digital masyarakat.
Literasi Digital
Usman Kansong mendefinisikan literasi digital sebagai pengetahuan dan kecakapan seseorang untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi atau jaringan, dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, serta patuh hukum untuk membina komunikasi dan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari.
Ia meyakini literasi digital dapat menjadi pertahanan terdepan masyarakat untuk menyeleksi informasi yang berpotensi memberi dampak negatif dari penggunaan media sosial. Literasi digital diharapkan dapat menjadi acuan bagi pengguna media sosial untuk memilah dan memilih informasi, seperti informasi apa yang dibutuhkan dan informasi apa yang tidak dibutuhkan.
Untuk meningkatkan literasi digital, pemerintah meluncurkan Program Transformasi Digital, yang salah satu kebijakannya mengembangkan sumber daya manusia (SDM) atau talenta digital. Kebijakan pengembangan SDM memuat tiga pelatihan kecakapan digital, yakni Gerakan Literasi Digital Nasional, Digital Talent Scholarship, dan Digital Leadership Academy.
Direktur Pemberdayaan Informatika Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Boni Pudjianto mengatakan Gerakan Literasi Digital Nasional yang dikenal dengan Siberkreasi, merupakan program pelatihan keterampilan digital yang sangat mendasar dan menargetkan 12,5 juta masyarakat Indonesia untuk bergabung dalam program tersebut.
Dalam melakukan Gerakan Literasi Digital Nasional, Kemenkominfo melibatkan sekitar 110 pemangku kepentingan yang berasal dari berbagai elemen masyarakat, seperti pemerintah, swasta, hingga LSM. Ia berharap pada tahun 2024 setidaknya terdapat 50 juta masyarakat Indonesia telah menguasai literasi digital.
Berbeda dengan Gerakan Literasi Digital Nasional yang menargetkan masyarakat Indonesia secara umum, pelatihan kecakapan digital melalui Digital Talent Scholarship ditujukan kepada lulusan sekolah menengah atas (SMA) dan perguruan tinggi untuk mengasah keterampilan dan kapasitas digital mereka.
Intensitas pelatihan Digital Talent Scholarship lebih tinggi daripada Gerakan Literasi Digital Nasional. Peserta akan diperkenalkan pada kecakapan-kecakapan baru di era digital, seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence / AI), data besar (big data), realitas virtual (virtual reality / VR), dan keterampilan teknis lainnya. Pelatihan ini menargetkan 100.000 lulusan baru di setiap tahunnya.
Selanjutnya adalah program Digital Leadership Academy (DLA) yang ditujukan untuk mempersiapkan para pemimpin di era digital dengan keterampilan teknologi tingkat lanjut. Melalui program ini, pemerintah menargetkan 300 pemimpin dari sektor publik maupun swasta.
Ketiga program tersebut bertujuan untuk mempersiapkan SDM Indonesia menghadapi tantangan perkembangan teknologi dan derasnya arus informasi. Program-program tersebut, khususnya Gerakan Literasi Digital Nasional akan mengedukasi masyarakat untuk cerdas bermedia sosial agar tidak mudah percaya pada hoaks, tidak menyebarkan hoaks, bahkan membuat hoaks.
“Kita mengajak masyarakat untuk mengisi media sosial dengan konten-konten positif,” kata Usman Kansong.
Peran aktif
Memerangi hoaks dan disinformasi membutuhkan peran aktif dari berbagai pihak, tidak hanya pemerintah, namun juga masyarakat sipil.
Melalui kanal YouTube Siberkreasi, pemerintah bersama pemangku kepentingan lain dengan aktif menyebarkan konten-konten positif, seperti mengadakan webinar terkait literasi digital, podcast, hingga video-video edukasi singkat guna meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat saat beraktivitas di dunia digital.
Pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate mengajak masyarakat untuk turut berperan aktif meningkatkan literasi digital dengan mengikuti acara dan pelatihan Gerakan Literasi Digital Nasional. Pendaftaran dapat dilakukan di event.literasidigital.id dan peserta dapat memilih pelatihan berdasarkan domisili masing-masing.
“Program ini sudah dimulai pendaftaraannya, maka ambillah kesempatan itu,” kata Johnny.
Literasi digital merupakan keterampilan krusial yang harus dimiliki masyarakat Indonesia di tengah perkembangan teknologi yang kian pesat. Keterampilan ini merupakan alat mitigasi dampak-dampak negatif yang diakibatkan aktivitas di ruang digital, terlebih kerentanan masyarakat terhadap hoaks dan disinformasi.
Intoleransi dan polarisasi masyarakat diyakini dapat dihindari dengan literasi digital.