Jayapura (Antara Papua) - Majelis Rakyat Papua (MRP) berharap perayaan 1 Mei 2015 di Tanah Papua tidak membias ke persepsi yang keliru sehingga mengarah kepada tindak kekerasan yang menelan korban jiwa.
"Perayaan 1 Mei itu menyangkut sudut pandang. Di pihak tertentu di Papua 1 Mei itu diasumsi sebagai aneksasi, dan di pihak lainnya termasuk Pemerintah Indonesia merupakan peristiwa kembalinya Papua ke NKRI," kata Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP) Hofni Simbiak, di Jayapura, Jumat.
Ia mengatakan, perbedaan pemahaman itu perlu dibicarakan dan didiskusikan dengan baik dan benar tanpa ada rasa saling menuduh atau paling benar satu sama lain.
Karena, jika hal itu tidak pernah diluruskan atau diklarifikasi dengan bijak dan arif, maka akan selalu timbul korban ditengah masyarakat yang seharusnya mendapatkan penjelasan.
"Ini menyangkut sudut pandang, yang beberapa diantaranya berdiri pada masing-masing posisinya. Kelompok Papua katakan pada waktu ini adalah perayaan aneksasi, sementara Indonesia mengatakan apa yang ada adalah sah," katanya.
Untuk itu, perayaan 1 Mei tiap tahunnya perlu penjelasan. "Nah ini perlu diingatkan agar kita menggunakan bahasa-bahasa yang sopan dan mendidik dan membangunn, sehingga kita memberikan pelajaran sejarah yang benar, contoh soal, kembalinya Papua kedalam NKRI," katanya.
Karena menurut Hofni, dalam sejarah kembalinya Papua dalam NKRI itu tidak pernah ada.
"Papua tidak pernah keluar dari Indonesia, jadi untuk menjelaskan hal ini perlu padanan kata atau bahasa yang tepat untuk menjelaskan atau menggambarkan sehingga masyarakat luas di Papua paham," katanya.
Contoh lain, lanjut Hofni, seperti beberapa spanduk atau baliho yang terpasang di sejumlah titik di Kota Jayapura dan sekitarnya.
Pada spanduk atau baliho itu tertulis bahwa masuknya Papua ke NKRI menghilangkan kebodohan dan sebagainya, padahal itu paradoks.
"Jadi menyampaikan atau membahasakannya harus baik dan benar, sebagaimana yang ada kenyataanya. Kita membangun, mengisi kemerdekaan sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam UU itu. Merdeka sesungguhnya yaitu kesejahteraan," katanya.
Oleh karena itu, Hofni berharap kepada aparat keamanan yang bertugas menjaga kedaulatan bangsa dan negara dalam menyikapi persoalan anak bangsa bisa dilakukan dengan persuasif, bahwa ada sesuatu yang belum tepat dan butuh penjelasan yang baik dan benar sehingga orang bisa paham.
"Kita perlu melepas baju kita masing-masing, yang saya maksud adalah melepas pola pandang kita msing-masing, mari kita duduk dan membicarakannya sehingga tidak menimbulkan konflik pada kelompok tertentu. Karena dikelompok tertentu menganggap saya harus mempertahankan wilayah saya, ada begitu," katanya.
"Kerena nanti yang korban adalah masyarakat. Sementara kelompok Papua katakan saya lakukan karena ada sesuatu yang salah dalam proses. Kan kita lihat banyak anak muda yang jadi korban dan seharusnya tidak perlu. Intinya butuh pendekatan yang tepat, duduk bersama dan kita diskusikan dengan kepala dingin, terkait 1 Mei. Intinya pendekatan kesejahteraan," tambahnya. (*)

