Sentani (Antara Papua) - Pengunjung menilai situs Megalitik Tutari yang masuk dalam benda cagar budaya nasional dan yang terletak di Kampung Doyo Lama, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura, Papua, butuh perhatian dan perawatan.
"Situs Tutari butuh perhatian. Terutama perawatannya, karena ada sejumlah lukisan di batu yang sudah tertutup lumut," kata Mustari, seorang pengunjung di Situs Tutari Kabupaten Jayapura, Papua, Kamis.
Menurut Mustari, seorang guru yang mengajar bidang studi IPS di SMP Negeri 2 Kota Jayapura, benda-benda prasejarah itu perlu dilakukan perawatan sehingga terhindar dari kepunahan.
"Ini harus dirawat, kalau tidak anak cucu kita tidak akan tahu tentang prasejarah," kata Mustari yang merupakan peserta `workshop` lapangan dari Balai Arkeologi Jayapura.
Sementara itu, Erlin Novita Ijde Djami, ketua `workshop` dari Balai Arkeologi Jayapura mengatakan pihaknya menyelenggarakan kegiatan tersebut dengan mengajak pesertanya untuk mengunjungi dan melihat lebih dekat benda-benda prasejarah khususnya di Situ Megalitik Tutari.
`Workshop` lapangan yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Jayapura itu bertujuan agar benda-benda budaya peninggalan nenek moyang masyarakat Papua dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pembelajaran, pembentukan karakter bagi anak-anak sekolah, khususnya bagi anak-anak Papua.
"Dengan harapan bapak ibu guru yang ikut workshop, bisa memberikan masukan untuk buat materi lokal. Agar anak-anak (pelajar) dapat memahami kebudayaan mereka bahkan mereka juga dapat memiliki satu ketahanan budaya hingga mereka tidak terporosok oleh kondisi perkembangan saat ini," katanya.
Erlin yang juga seorang peneliti itu menjelaskan bahwa situs Tutari merupakan situs megalitik yang berkaitan dengan aktivitas pemujaan jaman dulu di Sentani, Kabupaten Jayapura.
"Situs ini telah dibagi menjadi enam sektor yang terdiri dari bagian objek lukisan-lukisan, tempat berdirinya batu berjajar dan paling atas menhir bagian puncak, tempat sakral dimana ada 110 menhir yang masih tetap berdiri," kata.
Kini, situs Megalitik Tutari, kata dia, mulai terjadi penurunan nilai prasejarahnya, karena lumut-lumut mulai menutupi sejumlah lukisan di batu, lalu ada penggusuran tanah dan pohon disekitar situs karena kepentingan pembangunan.
"Ini perlu diperhatian semua pihak, benda-benda prasejarah ini kalau tidak dirawat bisa-bisa nilainya menurun," katanya.
Balai Arkeologi Jayapura, sejak Selasa (15/12) hingga Kamis menggelar workshop arkeologi dengan tema rekonstruksi budaya masa lampau cerminan jati diri bangsa yang melibatkan 30-an guru SMP dari tiga kabupaten dan kota yakni Kota dan Kabupaten Jayapura serta Kabupaten Keerom sebagai pesertanya. (*)
Berita Terkait
Prajurit Satgas Yonif 721/Mks pererat hubungan masyarakat Papua
Sabtu, 27 April 2024 0:02
BPBD Jayapura imbau warga bersinergi untuk siaga bencana
Jumat, 26 April 2024 18:43
Pemkot Jayapura: Festival Port Numbay ajang promosi pariwisata budaya lokal
Jumat, 26 April 2024 18:27
LLDIKTI XIV pastikan kampus di Tanah Papua bebas perundungan dan perundungan
Jumat, 26 April 2024 18:26
Bawaslu Papua alokasikan Rp51 miliar untuk pengawasan tahapa1
Jumat, 26 April 2024 17:17
Peran TP PKK sangat vital motor penggerak di Jayapura
Jumat, 26 April 2024 17:15
Pemprov Papua Tengah atasi putusnya jalan trans di Paniai
Jumat, 26 April 2024 16:55
Pemerintahan kampung harap Pemkot Jayapura bangun kubus beton di Holtekamp
Jumat, 26 April 2024 15:17