Jayapura (ANTARA) - Penyebaran virus HIV di Kota Jayapura mengkhawatirkan karena tingginya jumlahnya kasus HIV/AIDS di kota itu. Dari sebanyak 20.512 kasus HIV/AIDS di seluruh provinsi di Papua, ada 8.864 kasus di Jayapura.
Tingginya kasus HIV/AIDS itu membuat sejumlah lembaga keagamaan dan lembaga sosial di Jayapura berupaya membantu mengatasinya dengan memberikan edukasi melalui penyuluhan, baik kepada masyarakat yang tidak terinfeksi maupun yang sudah dinyatakan positif.
Untuk yang belum terinfeksi, kata Pendeta Dora Balubun, dalam setiap pertemuan keagamaan, termasuk khotbah di gereja, selalu diselipkan imbauan agar masyarakat menjauhi dan tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan diri serta keluarga.
Selain itu, kata dia, juga diharapkan peran serta orang tua dan keluarga untuk selalu mengawasi pergaulan anak-anaknya agar tidak melakukan pergaulan bebas.
Pengawasan orang tua memang sangat diperlukan mengingat banyak generasi muda yang sudah terinfeksi HIV ataupun penyakit infeksi menular seksual (IMS) lainnya. Data 2024, di seluruh provinsi di Papua ada sebanyak 6.805 ODHA berusia 1-25 tahun.
Sinode GKI di Tanah Papua melalui Departemen Pelayanan Kasih dan Keadilan sejak tahun 2007 aktif mengerahkan para pendeta dalam setiap kesempatan untuk memberikan imbauan agar masyarakat tidak melakukan perilaku yang menyimpang dan setia dengan pasangannya. Sinode GKI juga melakukan pendampingan.
Pendeta-pendeta itu sebelumnya telah diberi penyuluhan terkait HIV dan penyakit masyarakat lainnya oleh instansi teknis sehingga lebih memahaminya sebelum menyampaikan ke warga.
Selain itu, Gereja juga meminta agar masyarakat mengikuti pemeriksaan atau test untuk mengetahui apakah dirinya tertular atau aman dari virus itu. Bila hasilnya positif HIV maka akan diarahkan untuk langsung berobat ke rumah sakit atau puskesmas terdekat. Di fasilitas kesehatan itu sudah tersedia obat antiretroviral virus (ARV). Obat itu harus diminum oleh mereka yang terinveksi HIV secara rutin tanpa putus .
Penyuluhan dan edukasi terkait dampak seks bebas memang harus sering dilakukan terutama di lingkungan generasi muda," kata Pdt Dora Balubun.
Penyuluhan seperti itu tidak dapat hanya dikerjakan gereja atau lembaga keagamaan lainnya, juga lembaga sosial, karena ada keterbatasan tenaga maupun dana sehingga semua pihak harus terlibat serta bersama-sama berupaya mengedukasi masyarakat di setiap kesempatan.
Dora Balubun menyatakan harapannya bahwa dengan penyuluhan yang terus-menerus dilakukan diharapkan dapat mengurangi kasus HIV.
Melalui penyuluhan yang disampaikan di sela-sela pemberian firman Tuhan diharapkan masyarakat semakin waspada dan tidak melakukan perilaku menyimpang dan setia dengan pasangan hidupnya, sedangkan bagi yang belum berkeluarga juga tidak melakukan seks bebas.
Untuk menangani masyarakat yang positif HIV, Sinode GKI memiliki rumah singgah Wali Hole yang sebelumnya menjadi rumah singgah bagi mereka yang positif HIV. namun saat ini tidak beroperasi karena sedang dipersiapkan sebuah yayasan yang akan membawahi rumah singgah tersebut.
"Kita juga harus memberi penyuluhan bagi mereka yang dinyatakan positif dengan memberikan penguatan agar mereka mau meminum obat ARV tepat waktu secara rutin agar dapat hidup sehat dengan normal walaupun di dalam tubuhnya masih terdapat virus HIV," kata Pdt Dora Belubun.
Agus Adil OFM, yang memimpin rumah singgah "Surya Kasih" yang saat ini mendampingi lima orang dengan HIV (ODHA) mengakui, penanganan kasus HIV/AIDS harus dilakukan lintas sektor dengan melibatkan semua pihak.
Hal ini dilakukan karena setelah dilakukan penyuluhan yang diikuti dengan pemeriksaan, mereka yang terbukti terjangkit HIV harus diberi penguatan agar mental mereka tidak turun dan mengikuti semua saran yang diberikan kepadanya mulai dari minum obat ARV tepat waktu dan melakukan hidup sehat.
Banyak pasien HIV yang sebelumnya sempat dirawat dan ditangani rumah singgah "Surya Kasih" masih hidup dan sehat, contohnya ada seorang anak yang tertular dari kedua orang tuanya dapat hidup sehat dan kini berusia 18 tahun. Kedua orang tuanya wafat karena HIV/AIDS.
Anak tersebut masih sekolah di SLTA dan masih meminum ARV tanpa henti walaupun virus di tubuhnya tidak terdeteksi lagi saat pemeriksaan PCR, kata Agus Adil OFM.
Pegiat HIV/AIDS Robert Sihombing mengakui, pendampingan terhadap ODHA sangat perlu dilakukan apalagi bagi mereka yang belum terbuka terhadap keluarga.
Pendampingan itu perlu dilakukan bukan saja kepada si ODHA tetapi juga kepada keluarganya. Pihak keluarga ODHA sangat diperlukan perannya agar mereka dapat membantu tanpa takut tertular. Proses pendampingan ke pihak keluarga seperti bukan pekerjaan yang mudah.
Bagi Robert, proses pendampingan merupakan bagian penting dalam menangani orang yang terinvensi HIV. Misalnya, dalam kasus ODHA hamil, adanya pendampingan memungkin bayi yang dilahirkan kecil kemungkinan terinfeksi HIV karena proses kelahirannya ditangani dengan tepat.
Untuk itu, Robert Sihombing juga mendirikan Jayapura Support Group (JSG) di tahun 2001 yang hingga kini masih terus melakukan pendampingan.
Terkait makin merebaknya kasus HIV di Kota Jayapura, Robert mengaku, hal itu tidak dapat dihindari apalagi penyebab utamanya adalah perilaku seksual sehingga pihaknya menaruh perhatian untuk mengedukasi mereka yang dinyatakan positif HIV.
Sulit memberantas kasus tersebut selama perilaku seksual yang suka berganti-ganti pasangan tidak dihentikan.
JSG saat ini masih melakukan pendampingan terhadap 50 ODHA dan terus mengedukasi agar mereka rutin mengkonsumsi ARV dan semua pihak harus bersatu untuk menanganinya agar kasus yang ada tidak bertambah.
ARV
Tidak ada jalan lain bagi mereka yang terinfeksi selain memastikannya dirinya untuk mengkonsumsi ARV agar sehat dan berkegiatan seperti biasa.
Sebutlah Irma sebagai contoh. Dia dinyatakan positif HIV pada 2002 dan merupakan ODHA pertama di Papua yang mengkonsumsi ARV. Sejak 2003, dia secara rutin menguntal ARV sesuai jadwal. Hingga kini, dia dapat beraktivitas dengan normal.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Jayapura dr Ni Nyoman Sri Antari mengatakan, petugas kesehatan yang ada di seluruh puskesmas di Kota Jayapura dikerahkan untuk memberikan penyuluhan tentang penularan dan bahaya HIV/AIDS. Juga tentang bagaimana menangani mereka yang tertular, yaitu dengan meminum obat ARV.
Dengan minum ARV sesuai jadwal dan rutin terbukti membuat jumlah virus di dalam tubuh berkurang sehingga tidak terdeteksi saat pemeriksaan melalui PCR. Bila dalam pemeriksaan tidak ada lagi terdeteksi virus HIV ditubuh ODHA, maka dia tidak lagi dapat menularkan virus.
Dalam kondisi seperti itu harus terus diingatkan bahwa ODHA tetap harus mengkonsumsi ARV secara rutin. Jika asupan ARV terhenti, virus yang masih ada dalam tubuh bisa bertambah banyak.
Ada beberapa ODHA saat ini sudah menikah dengan non-ODHA. Karena ODHA tersebut dalam pengawasan yang memungkinkan dia terus rutin minum ARV, pasangannya saat diperiksa negatif alias tidak tertular.
Irma (51 th) wanita yang sudah 22 tahun mengkonsumsi ARV mengaku di dalam tubuhnya akan selalu ada virus HIV yang menemaninya sejak tahun 2002.
Itu yang membedakan dirinya dengan manusia lainnya namun hal itu tidak membuatnya resah karena dengan meminum ARV secara rutin membuat virus yang ada dalam tubuhnya tidak terdeteksi.
"Walaupun berstatus ODHA, saya dapat tetap beraktivitas dengan normal dan berdamai dengan virus tersebut," ujar Irma seraya berharap masyarakat tidak mengucilkan ODHA.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Upaya menangani penyebaran HIV/AIDS di Kota Jayapura