Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi dua hal dalam pemeriksaan saksi kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim (SJN).
KPK pada Rabu memeriksa dua saksi untuk tersangka Sjamsul dalam penyidikan kasus itu, yakni mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glenn Muhammad Surya Yusuf dan mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi
Juru Febri Diansyah di Jakarta, Rabu menyatakan untuk saksi Glenn Muhammad Surya Yusuf didalami rangkaian proses-proses mulai dari pengambil alihan pengelolaan BDNI dan tanggung jawab Sjamsul Nursalim dalam penyelesaian kewajibannya.
"Selanjutnya, permintaan agar Sjamsul Nursalim menambah aset untuk mengganti kerugian karena adanya misrepresentasi atas kredit petambak saat itu termasuk adanya penolakan dari Sjamsul Nursalim dan informasi lain yang relevan," ucap Febri.
Sjamsul merupakan tersangka kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
Sedangkan untuk saksi Laksamana Sukardi, KPK mendalami apa yang diketahuinya dalam posisi di Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) terkait dengan proses menuju penerbitan SKL terhadap Sjamsul Nursalim.
"Pemeriksaan saksi-saksi ini untuk terus memperkuat bukti dugaan korupsi yang dilakukan SJN dan ITN (Itjih Nursalim) yang menjadi tersangka dalam kasus ini," ucap Febri.
Sjamsul Nursalim bersama istrinya Itjih Nursalim merupakan tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) selaku obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
KPK telah menetapkan keduanya sebagai tersangka pada 10 Juni 2019.
Sjamsul dan Itjih diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun.
Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Pasalnya, saat dilakukan "Financial Due Dilligence" (FDD) dan "Legal Due Dilligence" (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar.
Atas perbuatan tersebut, Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.