Pernyataan yang disampaikan Kyaw Moe Tun di hadapan Majelis Umum PBB di New York pada Jumat (26/2) itu merupakan seruan yang mengejutkan atas nama pemerintah Myanmar yang digulingkan, saat polisi menindak pengunjuk rasa anti junta.
"Kami membutuhkan tindak lanjut sekuat mungkin dari komunitas internasional untuk segera mengakhiri kudeta militer, untuk berhenti menindas orang-orang yang tidak bersalah, dan untuk memulihkan demokrasi," kata dia kepada 193 anggota Majelis Umum PBB.
Menerima tepuk tangan dari anggota Majelis Umum, Kyaw Moe Tun tampak emosional saat membaca pernyataan atas nama sekelompok politisi terpilih yang mewakili pemerintah yang sah dan dipimpin Aung San Suu Kyi.
Menyampaikan kata-kata terakhirnya dalam bahasa Burma, diplomat karir itu mengangkat hormat tiga jari dari pengunjuk rasa pro demokrasi dan mengumumkan "tujuan kita akan terwujud".
Para penentang kudeta memuji Kyaw Moe Tun sebagai pahlawan dan membanjiri media sosial dengan pesan terima kasih.
"Rakyat akan menang dan junta yang terobsesi dengan kekuasaan akan jatuh," tulis salah satu pemimpin protes, Ei Thinzar Maung, di Facebook.
Myanmar telah berada dalam krisis sejak tentara merebut kekuasaan pada 1 Februari dan menahan pemimpin terpilih Suu Kyi dan sebagian besar pimpinan partainya, setelah menuduh adanya kecurangan dalam pemilu November yang telah dimenangkan oleh partai Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Kudeta tersebut telah memicu ratusan ribu pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan Myanmar dan menuai kecaman dari negara-negara Barat, dengan beberapa menjatuhkan sanksi terbatas.
Utusan khusus PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener mendorong PBB untuk menyampaikan "sinyal yang jelas dalam mendukung demokrasi" dan mengatakan kepada Majelis Umum bahwa tidak ada negara yang harus mengakui atau melegitimasi junta.
Sementara itu, duta besar China tidak mengkritik kudeta tersebut dan mengatakan situasinya adalah "urusan dalam negeri" Myanmar, dengan mengatakan pihaknya mendukung diplomasi oleh negara-negara Asia Tenggara yang dikhawatirkan para pengunjuk rasa dapat memberikan kredibilitas kepada para jenderal yang berkuasa.
Sedangkan Singapura mengatakan kekerasan terhadap warga sipil tak bersenjata tidak bisa dimaafkan.
Sumber: Reuters