Dalam politik, nilai sebuah kepercayaan sangat besar bahkan tak ternilai karena kepercayaan menjamin bahwa kepentingan politik bersama dalam organisasi atau institusi dapat dijalankan untuk mencapai tujuan-tujuan politik.
Sebaliknya ketika kepercayaan sudah tidak ada maka sebuah organisasi politik dipastikan bakal menghadapi persoalan dalam menjalankan agenda politik yang sudah ditetapkan, bahkan membuat agenda baru sebagai solusi.
Untuk suatu persoalan kepercayaan dalam kamus politik dikenal dengan istilah mosi tidak percaya (motion of no confidence).
Mosi merupakan keputusan rapat yang menyatakan pendapat atau keinginan para anggota rapat. Mosi tidak percaya berarti keputusan rapat yang tidak percaya pada sebuah kepemimpinan atau kebijakan.
Nah, dinamika pentas politik nasional yang baru dua pekan memasuki tahun politik ini sudah diwarnai dengan penyampaian mosi tidak percaya dari sebagian pengurus Partai Hanura kepada Ketua Umum DPP Partai Hanura Oesman Sapta Odang.
Kalau pada tahun 1974, terjadi peristiwa malari (malapetaka limabelas Januari) berupa aksi unjuk rasa besar-besaran mahasiswa bersama masyarakat, mengakibatkan kerusuhan di Jakarta, atas kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka maka hari ini terjadi "peristiwa malari" di internal Partai Hanura ketika sebagian pengurus mereka beramai-ramai rapat dan mengeluarkan mosi tidak percaya.
Bila dalam malari 1974, Presiden Soeharto ketika itu memberhentikan Panglima Kopkamtib Soemitro, Kepala Bakin Sutopo Juwono, dan membubarkan jabatan asisten pribadi presiden, serta menangkap para pelaku unjuk rasa seperti Hariman Siregar dan Syahrir, maka peristiwa malari di Hanura, antarpengurus partai saling pecat.
Oesman Sapta memecat Sekjen DPP Partai Hanura Sarifuddin Sudding dan akan memberhentikan pengurus lainnya, sedangkan Oesman Sapta diberhentikan dari jabatan ketua umum dan digantikan oleh Wakil Ketua Umum DPP Partai Hanura Marsekal Madya (Purn) Daryatmo sebagai Penjabat Ketua Umum.
Gambaran ini sama sekali bukan membandingkan peristiwa di Hanura dengan peristiwa malari pada tahun 1974, melainkan hanya karena adanya kesamaan tanggal dan bulan saja atas peristiwa yang menarik perhatian publik, di masa lalu dan pada hari ini di "zaman now".
Pada 15 Januari 2018 berlangsung dua rapat fungsionaris Hanura di dua hotel yang berbeda.
Oesman Sapta Odang, yang juga memimpin lembaga negara yakni Wakil Ketua MPR RI dan Ketua DPD RI, secara tegas menampik mosi tidak percaya terhadap dirinya, bahkan bakal menindak tegas kepada pengurus atau siapa saja telah melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai.
Mosi tidak percaya atas dirinya, hanya dilakukan oleh sebagian kecil orang yang akan merusak partai. OSO, panggilan akrabnya, mengaku sedang menertibkan internal agar dalam menjalankan roda organisasi sesuai dengan AD/ART.
Salah satu upaya penertiban internalnya soal pengelolaan keuangan harus jelas dan melalui bendahara umum. Di luar itu merupakan tanggung jawab masing-masing. Mengenai isu adanya mahar politik bagi calon peserta pilkada, kalaupun ada itu oknum sehingga menjadi tanggung jawab masing-masing. Kalau ada calon legislatif harus membayar satu sampai Rp2 miliar adalah bohong.
Sebelumnya di hotel lainnya, juga ada pertemuan dipimpin Sudding mengumumkan mosi tidak percaya yang diklaim dari dewan pembina, dewan penasihat, pengurus harian, badan-badan partai, 27 DPD tingkat provinsi, dan lebih dari 400 DPC tingkat kabupaten dan kota kepada OSO.
Mosi tidak percaya itu memberhentikan OSO dari jabatan ketua umum partai karena dia dianggap melanggar AD/ART. OSO digantikan oleh Daryatmo sebagai pelaksana tugas.
Daryatmo yang juga mantan Kepala Badan SAR Nasional dan Kepala Staf Umum TNI mengemban jabatan pelaksana tugas ketua umum hingga terselenggara munas luar biasa untuk memilih ketua umum baru dalam waktu dekat ini.
Nama Menkopolhukam Wiranto yang juga pendiri dan Ketua Dewan Pembina Hanura terseret dalam persoalan tersebut. Mantan Panglima TNI itu hanya berkomentar bahwa kinerja pengurus partai harus berdasarkan AD/ART.
Pengurus yang memutuskan pemberhentian OSO menyampaikan bahwa mosi tidak percaya itu didukung oleh Wiranto sedangkan OSO mengaku sudah menelepon Wiranto dan diberi tahu bahwa Wiranto tidak setuju dan menegaskan untuk menjalankan sesuai AD/ART partai.
Tidak dikenal
Meskipun dalam kamus politik dikenal istilah mosi tidak percaya, dalam sistem demokrasi pemerintahan yang presidensial sebagaimana yang berlaku di Indonesia sebenarnya tidak dikenal istilah mosi tidak percaya.
Kalaupun ada hanya berupa hak interpelasi yang dimiliki oleh lembaga perwakilan rakyat terhadap kebijakan pemerintah, selain hak budgeter dan hak angket.
Mosi tidak percaya itu dikenal di negara-negara yang menganut demokrasi parlementer, sebagaimana berlaku di Inggris dan negara-negara persemakmuran.
Di masa lalu, Indonesia pernah menganut demokrasi parlementer pada era Orde Lama sebelum kembali kepada Demokrasi Pancasila dengan sistem presidensial. Saat Indonesia menganut demokrasi parlementer atau demokrasi liberal, sejumlah perdana menteri beberapa kali berganti, antara lain karena mendapat mosi tidak percaya dari partai-partai di parlemen yang menjadi partai-partai oposisi pemerintah.
Dalam praktik demokrasi parlementer, biasanya partai-partai oposisi kerap mengajukan mosi tidak percaya kepada pemerintah atas kebijakan-kebijakannya yang dianggap tidak baik. Sebaliknya pemerintah dan partai-partai pemerintah berhak menanggapinya dengan menyatakan mosi kepercayaan atas berbagai tuduhan yang disampaikan oleh partai oposisi.
Namun praktik politik di Indonesia kerap menggunakan istilah yang sebenarnya tidak dikenal. Pada tahun 2015, misalnya, sejumlah anggota DPR RI menandatangani mosi tidak percaya atas kepemimpinan Ketua DPR RI Setya Novanto, lalu pernah juga diberitakan sejumlah anggota DPR RI mengajukan hak interpelasi sembari melakukan mosi tidak percaya kepada seorang menteri.
Bagaimanapun konflik internal partai sedikit banyaknya akan mengganggu konsolidasi partainya menghadapi Pilkada serentak di 171 daerah yang berlangsung pada tahun ini dan Pemilu serentak untuk memilih Presiden-Wapres, DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten-kota pada tahun 2019.
Bisa dikatakan bahwa yang ada di Hanura hari ini adalah terjadi dualisme kepemimpinan antara OSO dengan Daryatmo.
Berkaca pada dualisme kepemimpinan yang pernah terjadi di Partai Golkar dan PPP justru membuat kedua partai itu berada dalam konflik berkepanjangan dan mengganggu keduanya sebagai mesin politik.
Sebaiknya partai kompak dan solid, apalagi saat ini ketika setiap partai sedang menghadapi verifikasi faktual untuk menjadi peserta Pemilu 2019 dan persiapan menghadapi pemilu. Partai yang konflik akan sulit untuk sukses apalagi memenangi pemilu.
Gejolak yang terjadi di internal partai mengganggu konsolidasi internal untuk memenangkan Pemilu 2019.
Soliditas dan kerja keras bersama-sama untuk meningkatkan elektabilitas partai di seluruh daerah merupakan kunci memenangkan pemilu.
Setiap persoalan yang ada di partai seharusnya bisa diselesaikan secara baik-baik dan bijak, bukan dengan maksud menang-menangan.
Di tahun politik ini semestinya partai-partai politik berjalan dengan tingkat soliditas tinggi dan tak mudah terpecah-belah.
Bagaimana partai mendapat simpati dan suara sebanyak-banyaknya dari rakyat bila mengurus partai saja tidak menunjukkan kebersamaan? (*)