Presiden Jokowi jawab permintaan direktur WHO dengan pembentukan gugus tugas
Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo menjawab surat Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus yang meminta peningkatan mekanisme tanggap darurat menghadapi penyebaran penyakit pernafasan karena infeksi virus Corona jenis baru yang menyebabkan COVID-19.
"Sebagian besar rekomendasi dalam surat tersebut sudah dijalankan oleh Pemerintah Indonesia selama wabah COVID-19 ini. Pemerintah sudah meningkatkan penanganan COVID-19 dengan menerbitkan Keppres Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 untuk menajamkan kemampuan koordinasi pemerintah," kata Juru Bicara Kepresidenan Fadjroel Rachman saat dihubungi di Jakarta, Sabtu.
Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam surat tertanggal 10 Maret 2020 mengatakan WHO telah bekerja semaksimal mungkin untuk meneliti dan menyebarkan informasi tentang COVID-19.
Namun untuk mengatasi virus tersebut, setiap negara perlu mengambil langkah-langkah tegas untuk memperlambat penularan dan mencegah penyebaran virus tersebut.
Sayangnya, WHO melihat kasus yang tidak terdeteksi pada tahap awal wabah tersebut yang menyebabkan peningkatan signifikan terhadap jumlah kasus dan jumlah kematian di beberapa negara.
"WHO terus mendesak negara-negara fokus pada deteksi kasus dan kapasitas pengujian laboratorium, terutama di negara-negara berpopulasi besar dan dengan kemampuan sistem kesehatan yang berbeda-beda di wilayah negara tersebut," kata Tedros.
Alasannya, konfirmasi awal terhadap kasus adalah titik kritis untuk memahami penyebaran COVID-19 dan titik untuk mencegah wabah saat masih ada sedikit kasus dan klaster.
WHO pun memberikan lima poin tindakan-tindakan yang harus segera dilakukan pemerintah Indonesia untuk mencegah virus terus menyebar yaitu, pertama, meningkatkan mekanisme tanggap darurat, termasuk menyatatkan status darurat nasional
Kedua, mendidik dan berkomunikasi aktif dengan publik terkait risiko dan keterlibatan masyarakat. Ketiga, mengintensifikasi penemuan kasus, pelacakan kontak, pemantauan, karantina dan isolasi kasus.
Keempat, meningkatkan pengawasan COVID-19 menggunakan sistem pengawasan penyakit pernapasan yang ada dan pengawasan berbasis rumah sakit. Kelima, uji kasus yang dicurigai per definisi kasus WHO, kontak kasus yang dikonfirmasi, menguji pasien yang diidentifikasi melalui pengawasan penyakit pernapasan.
WHO juga khusus meminta pemerintah Indonesia membangun laboratorium dengan kapasitas yang cukup dan memungkinkan tim mengidentifikasi kelompok penularan sehingga bisa segera diambil spesimennya. Termasuk menguji yang bukan hanya kasus dengan kontak langsung pasien positif, tetapi kepada seluruh pasien yang menderita flu parah hingga sesak napas.
"Saya akan sangat berterima kasih bila pemerintah Indonesia dapat menyediakan informasi detail kepada WHO mengenai pengawasan dan uji tes, identifikasi kontak dan contact tracing serta seluruh ringkasan data COVID-19. Penting bagi WHO mendapatkan data tersebut untuk dapat memberikan penilaian komprehensif secara global dan berkolaborasi serta berkoordinasi dengan kementerian kesehatan di seluruh negara yang terinfeksi," kata Tedros.
"Sebagian besar rekomendasi dalam surat tersebut sudah dijalankan oleh Pemerintah Indonesia selama wabah COVID-19 ini. Pemerintah sudah meningkatkan penanganan COVID-19 dengan menerbitkan Keppres Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 untuk menajamkan kemampuan koordinasi pemerintah," kata Juru Bicara Kepresidenan Fadjroel Rachman saat dihubungi di Jakarta, Sabtu.
Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam surat tertanggal 10 Maret 2020 mengatakan WHO telah bekerja semaksimal mungkin untuk meneliti dan menyebarkan informasi tentang COVID-19.
Namun untuk mengatasi virus tersebut, setiap negara perlu mengambil langkah-langkah tegas untuk memperlambat penularan dan mencegah penyebaran virus tersebut.
Sayangnya, WHO melihat kasus yang tidak terdeteksi pada tahap awal wabah tersebut yang menyebabkan peningkatan signifikan terhadap jumlah kasus dan jumlah kematian di beberapa negara.
"WHO terus mendesak negara-negara fokus pada deteksi kasus dan kapasitas pengujian laboratorium, terutama di negara-negara berpopulasi besar dan dengan kemampuan sistem kesehatan yang berbeda-beda di wilayah negara tersebut," kata Tedros.
Alasannya, konfirmasi awal terhadap kasus adalah titik kritis untuk memahami penyebaran COVID-19 dan titik untuk mencegah wabah saat masih ada sedikit kasus dan klaster.
WHO pun memberikan lima poin tindakan-tindakan yang harus segera dilakukan pemerintah Indonesia untuk mencegah virus terus menyebar yaitu, pertama, meningkatkan mekanisme tanggap darurat, termasuk menyatatkan status darurat nasional
Kedua, mendidik dan berkomunikasi aktif dengan publik terkait risiko dan keterlibatan masyarakat. Ketiga, mengintensifikasi penemuan kasus, pelacakan kontak, pemantauan, karantina dan isolasi kasus.
Keempat, meningkatkan pengawasan COVID-19 menggunakan sistem pengawasan penyakit pernapasan yang ada dan pengawasan berbasis rumah sakit. Kelima, uji kasus yang dicurigai per definisi kasus WHO, kontak kasus yang dikonfirmasi, menguji pasien yang diidentifikasi melalui pengawasan penyakit pernapasan.
WHO juga khusus meminta pemerintah Indonesia membangun laboratorium dengan kapasitas yang cukup dan memungkinkan tim mengidentifikasi kelompok penularan sehingga bisa segera diambil spesimennya. Termasuk menguji yang bukan hanya kasus dengan kontak langsung pasien positif, tetapi kepada seluruh pasien yang menderita flu parah hingga sesak napas.
"Saya akan sangat berterima kasih bila pemerintah Indonesia dapat menyediakan informasi detail kepada WHO mengenai pengawasan dan uji tes, identifikasi kontak dan contact tracing serta seluruh ringkasan data COVID-19. Penting bagi WHO mendapatkan data tersebut untuk dapat memberikan penilaian komprehensif secara global dan berkolaborasi serta berkoordinasi dengan kementerian kesehatan di seluruh negara yang terinfeksi," kata Tedros.