Jakarta (ANTARA) - Menteri Riset dan Teknologi dan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Ristek/BRIN) Bambang Brodjonegoro memprediksi pengembangan vaksin COVID-19 “Merah Putih” dari Lembaga Eijkman prosesnya paling cepat yang kini sedang menyiapkan uji coba pada hewan.
“Kita harap bisa selesai dan mudah-mudahan hasilnya memuaskan pada akhir tahun ini,” katanya dalam jumpa pers daring Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, apabila sudah teruji pada hewan atau sel mamalia yang mulai dilakukan pada Oktober ini, bibit vaksin itu akan diserahkan kepada Bio Farma yang akan memproduksi skala kecil untuk dilakukan uji klinis pertama hingga ketiga.
Setelah uji ketiga berhasil, lanjut dia, kandidat vaksin Merah Putih itu akan diserahkan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang memutuskan vaksin tersebut bisa lolos atau tidak, digunakan secara massal.
Saat ini ada enam institusi yang sedang bekerja keras menemukan vaksin COVID-19 Merah Putih di Indonesia yakni LIPI, Eijkman, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung dan Universitas Airlangga.
Dia menjelaskan enam institusi itu menggunakan platform berbeda, misalnya dari Eijkman menggunakan sub unit protein rekombinan.
“Karena menggunakan platform yang beda otomatis nanti akan ada enam versi vaksin. Ini sebenarnya mirip dengan yang dilakukan banyak pihak di luar negeri,” imbuhnya.
Sinovac misalnya, kata dia, menggunakan inactivated virus, sedangkan Moderna menggunakan asam ribonukleat (RNA) namun produknya sama yakni vaksin COVID-19.
Ia menyebut kebanyakan pengembangan vaksin di dunia menggunakan inactivated virus atau protein rekombinan, sedangkan DNA dan RNA merupakan teknologi yang masih baru.
“Saat ini keenam institusi bekerja masing-masing tapi pada intinya mereka akan keluar dengan vaksin COVID-19 dan kami akan fasilitasi untuk produksinya.
Vaksin Merah Putih, lanjut dia, menggunakan isolate virus yang memang bertransmisi di Indonesia dan pengembangan bibit vaksin dikerjakan oleh para ahli Tanah Air dan akan diprduksi di dalam negeri.
Dengan begitu, maka diharapkan Indonesia mampu mandiri dalam vaksin karena nantinya mampu memproduksi dan sekaligus melakukan penelitian dan pengembangan.
“Indonesia adalah negara besar, 270 juta penduduk akan sangat riskan kalau kita terlalu bergantung kepada vaksin yang didatangkan dari luar sehingga kita harus mempunyai kemampuan tak hanya produksi tapi juga penelitian dan pengembangan,” imbuhnya.