Jakarta (ANTARA) - Sederhana tapi memiliki pesan dalam, demikian pengamat mode sekaligus perancang busana dari Indonesian Fashion Chamber (IFC) Lisa Fitria menilai kesan yang muncul saat melihat Presiden Joko Widodo mengenakan busana adat Suku Baduy luar pada Sidang Tahunan MPR, Sidang Bersama DPR-DPD RI di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin ini.
"Kita lihat baju itu sangat sederhana, di samping nyaman karena desainnya simpel sekali, memiliki makna cukup dalam," kata Lisa pada ANTARA pada Senin.
Dari sisi visual, busana bernama "Jamang Sangsang" ini terdiri dari atasan yang dilengkapi kancing pada bagian depannya, berlengan panjang dan celana dengan dominasi warna hitam. Busana ini berbahan serat alam seperti katun atau linen.
Busana Jamang Sangsang ini berbeda dengan Suku Baduy dalam yang masih mempertahankan pakem yakni baju tanpa kancing, jahitan dan didominasi warna putih. Ikat kepala pun berwarna putih.
"Bagian leher sampai dada tidak menggunakan kerah, tanpa kantong dan kancing itu pakem aslinya. Tetapi yang dikenakan Bapak, busana Baduy luar sudah ada kancingnya, sudah modifikasinya," ujar dia.
Sebagian orang menyebut Jamang Sangsang Suku Baduy luar sebagai baju "kampret" karena sudah tidak lagi mengikuti pakem awalnya.
Kemudian, seperti halnya masyarakat Baduy luar yang bisa ditemui di Desa Kanekes, Leuwidamar, Banten, Presiden juga mengenakan telekung atau ikat kepala yang juga disebut "koncer" berwarna biru tua dan hitam dengan motif batik.
Motif batik ini didapatkan dari flora atau tanaman yang tumbuh di sekitar masyarakat tinggal.
Presiden juga mengenakan tas yang disebut "koja" atau "jarog". Tas ini menjadi benda yang tidak terpisahkan dari Suku Baduy luar, berfungsi sebagai tempat menyimpan perlengkapan yang mereka butuhkan.
Sebagai alas kaki, Presiden mengenakan sendal tali. Pada masyarakat Baduy, sendal ini biasanya terbuat dari tanaman eceng gondok, pelepah pisang atau memanfaatkan tumbuhan yang mereka tanam atau ada di sekitar mereka.
Berbicara kesan, Lisa berpendapat, wibawa Presiden terpancar melalui busana ini. Beliau juga tampak nyaman dengan rancangan yang sederhana namun memiliki makna cukup dalam.
"Wibawa bapak luar biasa, jadi dengan begini terlihat lebih sakral. Sampai merinding. Kesederhanaan itu membuat bapak jadi lebih religius. Dari sisi spiritual bisa terlihat kharismanya," kata dia.
Pesan melalui busana
Ini bukan kali pertama Presiden mengenakan busana adat suku bangsa di Indonesia saat menghadiri Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD RI.
Setahun lalu, Presiden Jokowi mengenakan pakaian adat Sabu dari Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan nuansa berwarna emas dan hitam untuk kemeja dan celana. Warna senada juga digunakan untuk ikat kepala.
Lisa menilai kala itu penampilan Presiden terlihat berkharisma dan gagah. Pemilihan dasar warna dan motif membuat busana beliau tampak mewah dengan cara pakai yang tetap patuh pada pakem.
Sementara pada tahun 2019, Presiden menggunakan setelan jas biru berpadu dasi merah dan peci hitam saat berpidato di Sidang Tahunan MPR, lalu beliau mengganti busananya dengan baju adat Sasak, Nusa Tenggara Barat (NTB) atau disebut pegon saat Sidang Bersama DPR-DPD.
Busana pegon yang Presiden kenakan saat itu juga berwarna keemasan dengan ikat kepala berwarna senada. Ada keris yang diselipkan pada kain songket atau disebut leang.
Kali ini, Presiden memilih busana Suku Baduy luar yang sederhana. Bukannya tanpa alasan, Jamang Sangsang yang disiapkan Tetua Adat Masyarakat Baduy sekaligus Kepala Desa Kanekes, Banten, Jaro Saija ini dinilai memiliki rancangan yang sederhana.
Beliau mengenakan ini sekaligus sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan pada keluhuran nilai-nilai adat dan budaya suku yang tinggal di yang tinggal di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten itu.
"Busana yang saya pakai ini adalah pakaian adat Suku Baduy. Saya suka karena desainnya yang sederhana, simpel dan nyaman dipakai," kata Presiden pada akhir penyampaian pidato kenegaraannya dalam Sidang Tahunan MPR R dan Sidang Bersama DPR-DPD RI.
Menurut Presiden, ini sekaligus menunjukkan Indonesia sebagai bangsa majemuk yang memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Kemajemukan ini dikatakan kekuatan yang maha dahsyat untuk mencapai Indonesia Maju.
Dari sisi pesan, menurut Lisa, Presiden seakan menyampaikan harapan agar masyarakat Indonesia mencontoh masyarakat Baduy yang menghargai alam dan budaya.
Dia juga mengatakan, di masa pandemi COVID-19 yang sudah lebih dari setahun ini, masyarakat juga diminta untuk kembali mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa, menghidupkan sisi spiritual yang mungkin sedikit terpinggirkan.
Apa yang dilakukan Suku Baduy nyatanya berbuah manis. Selain alam yang masih lestari, di sana pun tak ditemukan kasus COVID-19. seperti halnya di wilayah tanah air lainnya.
"Makna-makna itu semoga tersampaikan dan masyarakat juga bisa otomatis mengikuti karena bapak menjadi panutan," tutur dia.
Hal serupa juga diungkapkan Pakar gestur dan mikroekspresi dari Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR), Monica Kumalasari. Dia, dalam kesempatan terpisah mengatakan pakaian adat yang dikenakan Presiden disebut pasemon yaitu simbol untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu kepada masyarakat.
Monica juga mengatakan baju Baduy ini melambangkan kesederhanaan yang berbuah nol kasus COVID-19. Menurut dia, masyarakat di sana mengikuti dan menghormati pada Ketua Adat. Mereka juga dalam kehidupannya dekat dengan alam dan terisolasi seperti kondisi semua orang di masa pandemi sekarang ini.
Selain itu, masyarakat Baduy juga cenderung mengikuti pola hidup sehat. Tidak adanya listrik membuat masyarakat bisa tidur cukup.
"Ini merupakan hal-hal yang ingin disampaikan untuk masyarakat agar mencontoh kepada masyarakat Baduy," demikian kata dia.