Hampir semua orang tahu kisah perjalanan terkutuk Titanic, tapi enam penyintas dari China luput dari perhatian buku-buku sejarah mengenai musibah kecelakaan maritim terbesar di jagat raya ini, demikian kutipan media setempat.
Meskipun hanya sedikit fakta yang tersingkap, film dokumenter baru berjudul "The Six" akan mengungkapkan apa yang terjadi pada para penyintas asal daratan Tiongkok itu.
"Siapa saja mereka? Kenapa mereka ada di atas kapal Titanic? Bagaimana mereka bisa selamat? Apa yang terjadi dengan mereka?" kata Steven Schwankert, seorang sejarawan yang memimpin tim riset The Six, seperti dikutip womenofchina.cn.
Dia bersama produser film dokumenter berkebangsaan Inggris Arthur Jones mulai melalukan riset sejak tiga tahun lalu dan tanpa sengaja menemukan sejumlah pria China yang memegang tiket sekali jalan untuk penumpang kelas tiga kapal nahas itu.
Keenam warga China itu adalah Lee Bing, Fang Lang, Chang Chip, Ah Lam, Chung Foo, dan Ling Hee. Nasib mereka lebih mujur dibanding dua rekan sekampung, Lee Ling dan Len Lam, yang tewas dalam peristiwa tenggelamnya kapal di laut dalam Atlantik Utara pada 15 April 1912 itu.
Jika melihat dari nama, mereka sepertinya berasal dari wilayah selatan China (Nanfang) yang selama ini dikenal sebagai penyumbang terbesar kaum perantau (huaqiao) ke berbagai belahan dunia sejak era 1800-an, termasuk ke Indonesia.
Tidak salah kalau akhirnya tim riset juga mengunjungi Taishan, Provinsi Guangdong, yang merupakan kampung halaman para penyintas itu.
Pada Oktober 2017, Antara berkesempatan mengunjungi Taishan yang secara administratif berada di wilayah Kota Jiangmen. Sekitar 4,5 juta jiwa penduduknya merupakan Huaqiao sukses di berbagai negara, tanpa terkecuali di daratan Eropa dan Amerika.
Fang Lang ditemukan mengapung sebelum kemudian diangkut ke perahu penyelamat bersama empat rekannya, sedangkan seorang rekannya lagi diselamatkan kapal yang lain.
Fang Lang dan lima rekannya mampu bertahan hidup di atas puing-puing kapal yang mengapung. Kemampuan mereka bertahan hidup patut diacungi jempol, apalagi jika dibandingkan dengan Jack Dawson, tokoh utama film Titanic yang diperankan Leonardo DiCaprio, yang akhirnya mati membeku di atas papan kayu yang menopang tubuh kekasihnya, Rose Dewitt Bukater, yang diperankan Kate Winslet.
Namun timbul pertanyaan, apakah para penyintas China itu penumpang gelap atau pekerja di kapal pesiar yang celaka dalam perjalanan dari Southamptoon, Inggris, menuju New York, Amerika Serikat, itu?
"Keduanya salah. Mereka menumpang dengan membayar tiket," jawab Schwankert di Beijing, belum lama ini.
Menurut dia, warga China, baik yang selamat maupun yang tewas, termasuk bagian dari 2.224 penumpang kapal pesiar termewah di zamannya.
Sebanyak 1.500 penumpang tewas setelah kapal raksasa tersebut menabrak gunung es di perariran Samudera Atlantik pada 14 April 1912 tengah malam, sedangkan 700 lainnya berhasil diselamatkan oleh kapal Carpathia keesokan harinya.
Demi menghasilkan film dokumenter yang berkualitas, Schwankert dan Jones memboyong tim risetnya itu ke AS, Inggris, dan China.
"Intinya kami menarik benang merah agar menemukan jalinan cerita ini. Jika ada indikator yang saling terkait, maka kami akan menelusurinya," ujar Schawankert.
Penderitaan keenam warga China itu belum berakhir, mekipun kapal Carpathia yang menyelamatkan mereka telah tiba di New York pada 18 April 1912.
Undang-Undang AS mengenai Pengecualian Warga China yang disahkan pada 1882 menyatakan bahwa kelompok penyintas tidak diperkenankan memasuki wilayah AS.
Mereka dipaksa menumpang kapal Annetta yang keesokan harinya bertolak menuju Karibia dengan mengangkut buah-buahan dari AS.
Schwankert dan Jones pun berbeda interpretasi mengenai bagaimana para penyintas China itu diperlakukan.
Schwankert memandang undang-undang tersebut sebagai satu-satunya produk hukum dalam sejarah AS yang secara eksplisit mengecualikan kelompok atas dasar etnisitas dengan mencegah memasuki wilayah AS, namun para penyintas China itu masih diizinkan pindah ke kapal lain menuju wilayah selatan.
Sementara Jones melihat penyintas lain boleh melewati pemeriksaan imigrasii di Pulau Ellis dan mendapatkan perawatan medis, sedangkan penyintas China tidak.
"Apakah kami menyebutnya sebagai deportan atau mereka sedang transit? Saya pikir kalau mereka sedang transit, kenapa mereka diperlakukan tidak manusiawi. Mereka tidak diberi pilihan untuk tinggal. Tidak hanya mereka disuruh meninggalkan wilayah itu dalam 24 jam, melainkan juga mereka dipenjara semalaman," kata Jones sebagaimana dikutip The Washington Post pada 19 April 2018.
Namun keduanya sepakat bahwa sikap permusuhan ditunjukkan kepada warga China dan kelompok minoritas Asia lainnya.
Hal itu dapat dibuktikan dari adanya artikel di Brooklyn Daily Eagle pada 19 April 2019 yang menggambarkan para penyintas China itu diperlakukan tidak manusiawi dan dipandang sebelah mata.
"Memahami cerita mereka juga bisa membantu kita melihat apsek lain dalam kisah Titanic. Empat dari enam penyintas itu satu kapal penyelamat bersama Joseph Bruce Ismay, sang pemilik Titanic. Hal ini yang memungkinkan kami mengamati kesaksian Ismay mengenai siapa saja yang ada di kapal itu," ujar Schwankert menambahkan.
Para pembuat film dokumenter The Six yang akan tayang pada akhir tahun ini telah melacak kerabat dan ahli waris para penyintas di Taishan.
Sayangnya, diantara keturunan para penyintas di wilayah Nanfang itu tidak peduli mengenai keterkaitan mereka dengan Titanic.
Replika Rp2,1 Triliun
Meskipun bangkainya terkubur di dasar laut, nama kapal yang mendapatkan nomor registrasi dari Kesyahbandaran Liverpool, Inggris, itu masih tetap dikenang sepanjang masa.
Hal itulah yang mendorong perusahaan galangan kapal di Provinsi Sichuan membangun replikanya.
Tidak tanggung-tanggung, perusahaan yang berkedudukan di barat daya China itu telah menyiapkan investasi sebesar 1 miliar RMB (Rp2,1 triliun) untuk membangun replika kapal sepanjang 269 meter dan lebar 28 meter.
Selanjutnya replika Titanic akan ditempatkan secara permanen sebagai objek wisata di salah satu waduk di Kabupaten Daying, Provinsi Sichuan.
Mengingat di waduk itu tidak banyak air, maka replika tersebut akan diberi tulisan "Titanic tidak akan tenggelam".
Meskipun beragam keraguan dan kritikan mengemuka karena menghamburkan dana besar hanya untuk kapal tiruan, seorang manajer proyek tersebut menjelaskan bahwa replika yang sedang dibangun mampu memproduksi kembali beberapa elemen dari kemewahan kapal Titanic asli, seperti ruang pertemuan besar (ballroom), tempat pertunjukan seni, kolam renang, dan kamar-kamar kelas premium.
Selain itu, sang manajer juga mengungkapkan bahwa mereka memilih Sichuan yang bukan wilayah pantai karena kesulitan mendapatkan izin penggunaan lahan luas di kota-kota besar China, seperti Shanghai di pesisir timur. (*)