Jakarta (ANTARA) - Komite Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) diharapkan bisa mengakselerasi pemulihan, sebab ada sejumlah indikator positif yang menjadi landasan bagi akselerasi itu. Namun, tantangan sekaligus prioritas pekerjaannya adalah menurunkan angka penularan COVID-19 di pusat-pusat pertumbuhan, khususnya kota-kota besar di Pulau Jawa.
Untuk merealisasikan target itu, memang harus terwujud efektivitas sinergi antara Komite Pemulihan Ekonomi Nasional dan Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Upaya pemulihan ekonomi dan meredam penularan COVID-19 harus dilakukan dalam waktu yang sama.
Karena itu, inisiatif Presiden menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2020 untuk membentuk kedua komite itu sudah benar. Dua komite itu harus koordinatif, karena skala prioritas dua pekerjaan itu sama derajat urgensinya.
Mengacu pada data dan sejumlah indikator lainnya, kecenderungan dua masalah ini (ekonomi dan pandemi COVID-19) tampak bergerak dalam arah berlawanan. Kendati masih cukup lamban, kecenderungan perekonomian nasional bergerak ke arah positif, sebagaimana sudah dikonfirmasi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Sri Mulyani melihat data kenaikan konsumsi listrik sebesar 5,4 persen per Juni 2020 sebagai sinyal pemulihan ekonomi. Soalnya, per Mei 2020, konsumsi listrik masih minus 10,7 persen.
Selain itu, pertumbuhan industri makanan-minuman juga mulai membaik. Jika per Mei 2020 hampir minus 50 persen, per Juni 2020 sudah positif di level 10 persen. Sinyal pemulihan juga diperlihatkan oleh subsektor perdagangan eceran dan perdagangan besar. Jika perdagangan eceran sempat minus 40 persen per Mei 2020, penurunannya sudah menuju ke level nol persen. Sementara pemulihan di subsektor perdagangan besar digambarkan cukup solid.
Melengkapi pemaparan Menkeu itu, layak pula untuk ditambahkan beberapa indikator lainnya. Misalnya, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS secara berkelanjutan sejak Mei 2020 merefleksikan persepsi positif tentang Indonesia. Dari penguatan rupiah itu, masuklah modal asing ke pasar uang dalam negeri.
Bank Indonesia (BI) juga menunjukkan indikator, seperti membaiknya indeks volatilitas yang mengukur ketidakpastian (uncertainty), faktor Tiongkok yang mulai memulihkan kegiatan ekspor-impor, kenaikan aktivitas bongkar muat kapal impor di pelabuhan hingga inflasi yang terkendali.
Indikator lain yang tidak bisa diabaikan begitu saja adalah penilaian Bank Dunia bahwa pendapatan nasional bruto atau GNI (gross national income) per kapita Indonesia naik, dari posisi sebelumnya 3.840 dolar AS menjadi 4.050 dolar AS. Konsekuensinya, Indonesia dikategorikan negara berpenghasilan menengah atas (upper middle income country), dari sebelumnya negara berpenghasilan menengah bawah (lower middle income country).
Jika indikator sektor ekonomi bergerak positif, kecenderungan pandemi COVID-19 justru bergerak sebaliknya. Skala lonjakan kasus baru terlihat cukup signifikan. DKI Jakarta bersama Jawa Tengah dan Jawa Timur terus mencatatkan jumlah kasus COVID-19 terbanyak. Dari 514 kabupaten/kota, 469 kabupaten/kota sudah mencatatkan kasus COVID-19.
Mengacu pada data COVID-19 akhir-akhir ini, upaya pemulihan ekonomi bukan saja tidak mudah, tapi juga sarat risiko. Sebab kerja pemulihan mensyaratkan pelonggaran pembatasan sosial.
Di dalam pelonggaran itulah terkandung risiko. Karena itulah harus dicari terobosan agar momentum positif di sektor ekonomi bisa diolah sedemikian rupa agar bernilai tambah.
Perangkap pandemi COVID-19 yang telah merusak sendi-sendi perekonomian negara sekarang ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Upaya memulai lagi semua kegiatan produktif, baik oleh masyarakat maupun pemerintah, harus dijajaki.
Tak mungkin menunggu, karena durasi pandemi COVID-19 sulit dihitung. Jutaan orang yang kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian saat ini sudah lebih dari cukup menggambarkan kerusakan di sektor ekonomi.
Terobos berbagai hambatan
Sambil terus mengupayakan cegah tangkal penularan COVID-19, pemerintah bersama masyarakat juga harus terus mencari dan menjajaki berbagai peluang pemulihan. Setelah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 23 Tahun 2020 tentang Upaya Menyelamatkan Perekonomian Nasional, pemerintah menindaklanjuti PP itu dengan membentuk Komite Pemulihan Ekonomi Nasional dan Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Dua komite ini harus dipahami sebagai upaya menerobos berbagai hambatan yang muncul akibat pandemi sekarang ini.
Kalau pemulihan ekonomi juga menjadi target, maka perhatian ekstra patut diarahkan ke kota-kota di pulau Jawa. Sebagaimana data tentang kasus COVID-19, Jakarta, Jateng, Jatim dan sebagian wilayah Jawa Barat (Bogor, Depok, dan Bekasi) masih menjadi titik-titik penularan tertinggi. Sedangkan kota-kota besar di pulau tercatat sebagai pusat pertumbuhan. Catatan Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa sektor Industri masih terpusat di Pulau Jawa karena porsinya mencapai 75 persen.
Dari survei ekonomi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016 juga menyebutkan, dari total 26,71 juta perusahaan di dalam negeri, sebanyak 60,74 persen beroperasi di Pulau Jawa. Karena itu, sangat jelas bahwa hingga akhir 2019 lalu, Pulau Jawa masih menjadi mesin utama yang memacu pertumbuhan ekonomi nasional, disusul Sumatera. Masih menurut BPS, kontribusi Pulau Jawa terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 59 persen.
Mengacu pada data-data tersebut, kedua komite itu mau tak mau memang harus memberi perhatian ekstra untuk kota-kota di Pulau Jawa, baik untuk mewujudkan target menurunkan angka penularan COVID-19, maupun untuk target pemulihan ekonomi.
Tentu saja, semua rencana dan strategi yang dirumuskan dua komite itu perlu berpijak pada data, baik data COVID-19 maupun data tentang sebaran industri dan perusahaan.
Langkah awal yang ideal adalah berkoordinasi dan membangun sinergi dengan para gubernur serta para bupati, guna merumuskan keseragaman langkah dan kebijakan dalam upaya menurunkan angka penularan COVID-19. Juga merumuskan strategi dan kebijakan yang diperlukan sektor industri dan bisnis untuk memulihkan sektor ekonomi.
Memang, upaya memulihkan perekonomian di tengah pandemi tentu saja berisiko. Namun, masyarakat harus diingatkan bahwa besar kecilnya risiko itu sangat ditentukan oleh perilaku dan kehati-hatian setiap individu menyikapi pandemi COVID-19.
Jika setiap orang selalu berhati-hati dan konsisten menjaga jarak untuk memutus rantai penularan COVID-19, dinamika kehidupan akan pulih dengan sendirinya. Sebaliknya, jika setiap orang lengah, ceroboh atau menganggap remeh pandemi wabah ini, bukan saja pemulihannya yang gagal, tetapi juga bisa menyebabkan terjadinya gelombang kedua penularan COVID-19.
*) Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI